Sejarah

Memaknai Kembali Seruan Jihad Syekh Abdul Shamad Al-Falimbani di Era Kini

Nusantarakini.com, Depok –

Bangsa Indonesia tidak boleh melupakan jasa para ulama dan pejuang kemerdekaan yang telah mempertaruhkan jiwa, raga, dan harta mereka untuk memperjuangkan kemerdekaan. Di antara mereka ada satu nama ulama yang sangat legendaris, yaitu Syekh Abdul Shamad al-Falimbani.

Beliau adalah penulis kitab jihad yang sangat fenomenal: Nashihatul Muslim wa Tadzkiratul Mu’minin fi Fadhaail Jihad fi Sabiillah wa Karamatil Mujahidin fi Sabilillah. Kitab ini menjadi inspirasi masyarakat Aceh untuk berjihad melawan penjajah. Kitab ini selesai ditulis pada 23 Agustus 1772 M saat perjalanannya menuju Palembang.

Menurut ulama Palembang, Mal An Abdullah, “Dalam risalah ini Syaikh Samad mengkhususkan pemaknaan jihad sebagai qital, perang suci. Karya ini diakui oleh para pengkaji modern sebagai karya pertama jenis ini dari kalangan ulama Jawi, dan dikenal luas di Nusantara ….. dalam banyak tulisan ia sering disebut sebagai masterpice Syaikh Samad tentang jihad” (Lihat: Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani: Biografi dan Warisan Keilmuan, 2018: 73)

Karya Syekh Abdus Samad itu juga ditulis dalam bahasa Melayu dengan judul: Nashihat lil-Muslimin wa Tadzkirat lil-Mu’minin fi Fadhlil Mujahidin fi Sabilillah wa Ahkamil Jihad fi Sabilillah Rabbil Alamin. Dalam kitab ini dituliskan bahwa: “Di dalam risalah ini nasihat faqir ila Allah Ta’ala umum kepada sekalian Muslimin dan khusus kepada saudara hamba yang alim-alim dan orang yang shalih-shalih dan orang yang haji-haji yang di bawah angin, maka seyogianya bagi mereka itu memberi nasihat bagi raja-raja, dan juga bagi orang yang besar-besar dan bagi orang yang kaya-kaya itu, supaya mendirikan mereka itu akan ibadah, dan setengah daripada ibadah yang terlebih afdhal mendirikan akan perang sabilillah” (Mal An Abdullah, Syaikh Abdus-Samad Al-Palimbani…, 2018: 74-75)

Tidak hanya itu, Syekh Abdul Shamad al-Palimbani, juga berkirim surat kepada Sultan Mangkubumi (Hamengkubuwono I). Surat bertanggal 22 Mei 1772 itu berbunyi sebagai berikut: ”Tuhan telah menjanjikan bahwa para Sultan akan memasuki (surga), karena keluhuran budi, kebajikan, dan keberanian mereka yang tiada tara melawan musuh dari agama lain (sic!). Di antara mereka ini adalah raja Jawa yang mempertahankan agama Islam dan berjaya di atas semua raja lain, dan menonjol dalam amal dalam peperangan melawan orang-orang agama lain (sic!).”

Dalam suratnya yang lain kepada Pangeran Paku Alam, atau Mangkunegara, Syekh al-Palimbani juga antara lain menulis: ”Selanjutnya, Yang Mulia hendaknya selalu ingat akan ayat al-Quran, bahwa sebuah kelompok kecil akan mampu mencapai kemenangan melawan kekuatan besar. Hendaklah Yang Mulia juga selalu ingat bahwa dalam al-Quran dikatakan: ”Janganlah mengira bahwa mereka yang gugur dalam perang suci itu mati” (al-Quran 2:154, 3:169)… Alasan panji-panji ini dikirimkan kepada Anda adalah bahwa kami di Makkah telah mendengar bahwa Yang Mulia, sebagai seorang pemimpin raja yang sejati, sangat ditakui di medan perang. Hargailah dan manfaatkanlah, insya Allah, untuk menumpas musuh-musuh Anda dan semua orang kafir.” (Surat al-Palimbani dikutip dari buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, karya Prof. Dr. Azyumardi Azra, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 360-361).

Tentang hubungan antara surat al-Falimbani dengan semangat bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan, Prof. Azyumardi Azra berpendapat: ‘’… saya menerima pendapat bahwa tujuan utama surat-surat tersebut adalah mendorong penerimaannya untuk memimpin jihad. Al-Palimbani jelas menulis di sebagian besar isi surat-surat tersebut tentang kebaikan-kebaikan jihad melawan orang kafir untuk mengimbau para penguasa Jawa agar memimpin perang suci. Surat-surat itu setidak-tidaknya, sebagaimana diyakini Ricklefs, menguatkan kembali perlawanan kuat pribumi terhadap Belanda.” (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, hal. 363).

*****

Buku-buku karya Syekh Abdul Shamad Al-Falimbani yang sudah beredar di masyarakat.

Apa yang dicita-citakan oleh Syekh Abdul Shamad tentang jihad fi-sabilillah melawan penjajah itu sudah terlaksana. Kemerdekaan Indonesia pun bisa diwujudkan. Setelah itu, KH Hasyim Asy’ari juga mengeluarkan fatwa jihad untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Fatwa jihad para ulama itu pun – alhamdulillah – berhasil diwujudkan bangsa Indonesia. Penjajah gagal menjajah kembali NKRI. Bahkan, pada 3 April 1950, Mohammad Natsir menjadi pelopor kembalinya Indonesia ke dalam bentuk negara kesatuan.

Sebagaimana konsep jihad dalam ajaran Islam, maka jihad fi-sabilillah itu tidak boleh berhenti. Sebab, penjajahan dalam bentuk pemikiran, konsep pendidikan, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya, masih tetap berjalan. Ibnul Qayyim al-Jauziyah membagi tingkatan jihad menjadi empat: jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan setan, jihad melawan kaum kufar, dan jihad melawan kaum munafik.

Dalam hal ini, umat Islam dituntut terus berjuang dalam berbagai bidang kehidupan, khususnya bidang pendidikan, agar mereka menjadi umat terbaik. Dengan itu, mereka mampu menjalankan amanah jihad fi-sabilillah dengan sebaik-baiknya. Rasulullah saw bersabda: Ihrish ’alaa maa yanfa’uka, was-ta’in billah, wa laa ta’jizan.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Dalam usaha meraih segala sesuatu yang baik, Nabi Muhammad saw mengajarkan: (1) harus selalu bersemangat dan bersungguh-sungguh, (2) mintalah pertolongan kepada Allah; berdoalah selalu kepada Allah, sebab doa adalah senjata orang yang beriman, (3) dan jangan merasa lemah, jangan merasa tidak mampu, jangan lemah mental; jangan belum apa-apa sudah merasa tidak mampu. Itulah resep yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw jika ingin meraih keberhasilan dalam hidup.

Jihad sejak dulu hingga zaman kini tetap harus dijalankan sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Jihad adalah perjuangan yang komprehensif dalam berbagai bentuknya agar umat Islam menjadi umat terbaik, sehingga mampu menjalankan amanah Risalah kenabian dengan sebaik-baiknya.

Karena tantangan terberat di zaman kini adalah tantangan ilmu, maka jihad terbesar di zaman kini adalah jihad secara keilmuan atau jihad intelektual. Sebagai pengikut setia pemikiran Imam a-Ghazali, andaikan Syekh Abdul Shamad al-Falimbani masih ada, insyaAllah beliau akan berjuang secara maksimal dalam bidang keilmuan, agar umat Islam tidak tersesat dan menjadi umat terhebat. Wallahu A’lam bish-shawab. [mc]

Depok, 11 April 2024.

* Dr. Adian Husaini, peneliti di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSIST) dan Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Jakarta.

Kredit foto: Laduni.id.

Terpopuler

To Top