Tausiah

Kisah Seorang Mu’allaf Tionghoa (Bagian 12)

Nusantarakini.com, Yogyakarta – 

MENGETUK PINTU HIDAYAH (11)
PERPISAHAN YANG MENGHARUKAN
————————————-
Setelah seminggu saya mengucapkan dua kalimat syahadat, dengan semangat yang menggebu-gebu saya menemui Haji Master untuk memberitahukan bahwa saya sudah masuk Islam sesuai syarat yang dimintai untuk belajar ilmu merubah daun sirih menjadi 300 kg. Namun saya kecewa lagi ketika beliau mengatakan bahwa ilmu itu hanya bisa dipelajari orang Islam yang ibadah sholatnya tertib, artinya tidak bolong-bolong, istilahnya belang kambing, dan lancar membaca tulis Al Qur’an.

Tentunya syarat tersebut disamping membuat saya kecewa juga sekaligus membuat saya bersemangat untuk mengerjakan syarat tambahannya. Sejak itulah saya mulai belajar tata cara sholat yang benar dan rajin mencari guru ngaji.

Dari disitulah akhirnya mengantarkan saya bertemu dengan keluarga yang berhati mulia, Kak Inun orang-orang memanggilnya. Beliau mantan juara 2 Qoriah Kabupaten, dan suaminya Bang Hamid (Allahumma ghirah lahu warhamhu wa ‘aafihi wa’fu anhu). Saya menganggap mereka keluarga sendiri. Demikian juga mereka dengan saya. Malamnya, sehabis sholat Isya sering mengaji di rumah beliau. Suasana begitu akrab yang tercipta seperti keluarga saudara sekandung.

Setelah dua bulan masuk Islam, datanglah bulan yang mulia, bulan Ramadhan. Saya sempat ragu menyongsongnya karena pada waktu itu saya memang ada gejala penyakit maag. Perutku sudah terlanjur dimanja, sehingga setiap jam 10 siang harus diisi makanan. Kalau tidak diisi maka perut perih pedih dan badan lemas keringat dingin. Inilah yang membuat saya ragu-ragu ikut puasa apa tidak?

Malamnya sehabis taraweh, saya ikut teman-teman remaja masjid tadarusan di Masjid Sirojul Muhtadin di Kampung Baru (selama bulan puasa saya tidur di Masjid tersebut, karena rumah dinas pindah ke seberang sungai).

Setelah mendekati tengah malam, satu persatu teman-teman pulang ke rumah masing masing, tinggal saya sendirian. Perasaan damai dan hampa yang terjadi pada diri saya. Sepi. Detak jam dinding mengantarkan saya terlelap sebentar. Saya terbangun sekitar jam 02.00, ketika ada takmir masjid menyalakan pengeras suara dan membangunkan sahur. Saya mengharapkan ada yang mengajak makan sahur karena mu’allaf. Menit demi menit berlalu, tanpa terasa jam menunjukkan pukul 03.20. Saya termenung di depan tangga masjid dengan pandangan menghiba, mengharapkan ajakan makan sahur pada jamaah yang berdatangan untuk sholat tahajud.

Karena tidak ada yang mengajak sahur, maka saya memacu motorku ke pasar mencari makan sahur karena sudah mepet waktunya Imsak. Beruntung bertemu dengan warung yang sudah mau tutup pintu. Saya bilang minta tolong mau makan sahur. Saya disuruh masuk dan dihidangkan makanan nasi dan ayam masak merah. Begitu selesai, terdengar suara…Imsaaaaaaak……Saya merasa terharu ketika saya mau membayar tapi ditolak karena tahu saya mu’allaf..barakallah…..

Alhamdulillah peristiwa itu begitu berkesan terkenang sampai sekarang. Ternyata tanpa terasa saya bisa melewati ujian keimanan dengan baik. Sebulan penuh saya puasa tanpa terasa penyakit maag saya sembuh tidak berbekas sampai sekarang. Saya tidak percaya tapi itu nyata.

Setelah berhasil melewati bulan Ramadhan, datanglah berita yang cukup mengejutkan. Bapak dan saudara-saudaraku berniat pulang boyongan ke Pontianak. Hal ini bisa dimaklumi karena bapakku hidup sendiri tanpa ibuku, tentunya ada rasa kesepian. Juga mungkin ingin lebih dekat dengan makam ibuku di pontianak.

Saya membayangkan akan hidup sendiri di rumah itu , rumah dinas yang cukup besar. Namun semua harus terjadi. Tetesan air mataku tanpa bisa ketahanan, mengalir di pipi, ketika bapak dan saudara kandungku melambaikan tangan.

Ketika kapal tanker kecil bergerak menjauhi pelabuhan Pangkalan Bun, semakin lama semakin menjauh.
Waktu itu saya tidak tahu apakah saya bisa bertemu lagi dengan bapakku lagi atau tidak. Hatiku kosong. Pandangan mataku nanar, menatap kapal yang makin lama makin kecil dan akhirnya lenyap dalam pandangan. [mrm]

Bersambung……..

*Ustadz Abdul Hadi (Lay Fong Fie), Pakar Pengobatan Tradisional dan Ahli Spiritual, Pendiri Perguruan Tenaga Dalam “Hikmah Sejati”, Yogyakarta.

 

Selengkapnya

  1. Kisah Muallaf bagian 1
  2. Kisah Muallaf bagian 2
  3. Kisah Muallaf bagian 3
  4. Kisah Muallaf bagian 4
  5. Kisah Muallaf bagian 5
  6. Kisah Muallaf bagian 6
  7. Kisah Muallaf bagian 7
  8. Kisah Muallaf bagian 8
  9. Kisah Muallaf bagian 9
  10. Kisah Muallaf bagian 10
  11. Kisah Muallaf bagian 11
  12. Kisah Muallaf bagian 12
  13. Kisah Muallaf bagian 13
  14. Kisah Muallaf bagian 14

Terpopuler

To Top