Kisah Seorang Mu’allaf Tionghoa (Bagian 10)

Nusantarakini.com, Jakarta – 

MENGETUK PINTU HIDAYAH (10)

“Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadan rosuulullooh”. Kalimat terucap dengan perasaan tegang dan terharu……

*****

Setelah pertarungan batin yang terus bergejolak, antara melakukan ritual sesuai petunjuk guru atau berhenti sampai di situ saja. Hal itu terjadi di dalam hatiku sampai beberapa minggu. Akhirnya saya putuskan untuk tidak meneruskan setelah mendengar cerita salah seorang murid beliau, bahwa sekarang dia menyesal karena telah melakukan mempelajari dan mengamalkan persekutuan dengan makhluk halus. Itu yang membuat dirinya terikat perjanjian dan membuat hidupnya penuh perasaan was-was, karena tidak tahu kapan dia ditagih “ANCAK”.

Memang dari segi kehebatan ilmunya benar-benar terbukti. Kebunnya tidak ada yang berani mendekati, apalagi mengambil buahnya. Ini gara-gara kejadian ada yang pegang buah mangganya yang terjuntai tidak bisa bergerak. Ada juga yang perutnya buncit seperti orang hamil sembilan bulan (kena hantu kibang) gara-gara mengambil buah negaranya. Dan banyak kejadian-kejadian yang mengerikan dengan ilmunya, sehingga disegani oleh masyarakat. Tapi di balik itu ancaman untuk dirinya sendiri selalu mengintai dari makhluk peliharaannya. Bila terlambat memenuhi permintaan “ANCAK” (sesaji jajan pasar 72 macam yang basah dan ayam jantan, serta umbi rampe lainnya yang ditaruh di keranjang besar dari bambu dan digantung di rumah).

Setelah berhenti berguru di Kumai, saya pelan tapi pasti makin mantap untuk memilih Islam sebagai agama baru saya. Hal ini karena sedikit banyak dipengaruhi buku-buku Agama Islam yang saya baca terutama awalnya buku “Itiqod Ahlussunnah wal Jamaah,” karangan KH. Sirodjuddin Abbas, yang saat ini sulit dicari bukunya.

Sebagaimana diketahui sejak pertama saya pinjam baca dengan teman saat menuju Desa Nanga Mua, saya tertarik isinya. Begitu sampai di Pangkalan Bun besoknya saya cari di toko buku agama di pasar, yang pemiliknya bernama K.H.Asyiqin I.A. Beliau yang selanjutnya menjadi bapak angkat saya setelah saya nyantri di Pondok Krapyak.

Beliau merasa heran kok ada orang Cina non-Islam yang senang membeli buku-buku  agama di toko beliau. Tapi beliau tidak pernah menanyakan untuk siapa.

Walaupun saya sudah mantap untuk berpindah agama, tapi saya tidak mau sampai timbul permusuhan di dalam keluarga. Karena waktu itu banyak muallaf yang diusir, disiksa, dikucilkan dan lain-lain seperti yang dialami oleh Ustadzah Siti Qomariah. Saya harus minta izin secara baik-baik dengan bapakku.

Suatu malam yang sepi , saya dengan perasaan ragu, tegang dan sekaligus sedih menatap wajah bapakku yang sudah tua. Wajah yang menunjukkan kerinduan dengan almarhumah ibuku. Mungkin ini menjadikan beliau tetap memilih hidup menduda sampai bertahun-tahun tidak mau nikah lagi. Padahal yang mau menikah dengan bapak masih ada karena secara ekonomi mampu untuk menikah lagi. Betul-betul CINTA SEJATI…..

Ketika saya kemukakan, “Bagaimana kalau saya pindah Agama Islam?” Ternyata beliau tidak marah , sungguh luar biasa bijaknya beliau ketika mengatakan jawabannya :

“Boleh, asal jangan mempermainkan agama dengan keluar-masuk Islam. Dan jangan tanggung-tanggung atau setengah-setengah kalau masuk Islam. Pelajari dengan baik dan jangan lupa dengan keluarga.”

Setelah mendengar perkataan Bapakku, langsung saya peluk beliau. Tanpa terasa air mataku bercucuran, terharu…terharu sekali.

Besoknya saya tanya kepada K.H.Asyiqin I.A. (Alm), bagaimana caranya masuk Islam. Beliau kaget, seakan tidak percaya. Terdengar beliau berkata, “Subhanallah….Alhamdulillah….. Syukurlah ternyata kamu sudah dapat hidayah…”  Saya dipeluk sambil bacakan doa…

Sesuai pengarahan beliau saya ke Masjid Jami’ NURUL HUDA, depan pasar, untuk bertemu dengan Ketua Takmir Masjid, bapak H. Abi Kusno (alm). Lagi-lagi saya dipeluk. Diisusul dengan jamaah yang lain. Beliau bilang besok malam Jumat baca syahadatnya di Masjid Jami’ NURUL HUDA dan akan diumumkan. Karena waktu itu jika ada yang mau masuk Islam dianggap sesuatu yang istimewa…SAKRAL…

Malamnya saya latihan membaca dua kalimat syahadat di rumah Anjang, seperti org tua sendiri, di daerah Kampung Baru sampai jam satu dini hari; dan lumayan lancar dan fasih.

Malam Jum’at yang bersejarah dalam hidupku. Mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Jami’ NURUL HUDA. Disaksikan ratusan pasang mata jamaah, tentunya juga para mata para Malaikat. Saya dengan mantap mengucapkan:
“ASYHADU ANLAA ILAAHA ILALLAH..WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN RASUULULLAH….”

*Ustadz Abdul Hadi (Lay Fong Fie), Pakar Pengobatan Tradisional dan Ahli Spiritual, Pendiri Perguruan Tenaga Dalam “Hikmah Sejati”, Yogyakarta. [mrm]

Selengkapnya

  1. Kisah Muallaf bagian 1
  2. Kisah Muallaf bagian 2
  3. Kisah Muallaf bagian 3
  4. Kisah Muallaf bagian 4
  5. Kisah Muallaf bagian 5
  6. Kisah Muallaf bagian 6
  7. Kisah Muallaf bagian 7
  8. Kisah Muallaf bagian 8
  9. Kisah Muallaf bagian 9
  10. Kisah Muallaf bagian 10
  11. Kisah Muallaf bagian 11
  12. Kisah Muallaf bagian 12
  13. Kisah Muallaf bagian 13
  14. Kisah Muallaf bagian 14