Nusantarakini.com, Yogyakarta –
MENGETUK PINTU HIDAYAH (7)
Setelah memasuki waktu siang hari, para tetangga dan yayasan kematian datang ke rumah sakit untuk mengurus prosesi pemakaman dengan cara Khong Hu Chu. Dibersihkan tapi tidak dijanjikan. Diganti pakaian baru, tapi tidak dikafani. Hal ini dilakukan di lokasi kamar mayat rumah sakit. Karena menurut kepercayaan masyarakat Cina Pontianak, kalau meninggalnya di rumah sakit maka jenazah tidak boleh dibawa pulang kerumah yang bukan rumahnya sendiri.
Pada waktu penggantian pakaian itulah kami melihat telinga, leher sampai dada kiri ibuku berwarna hitam kebiruan. Secara tidak langsung menguatkan kecurigaan kami bahwa ibu disantet “pelebur sukma”.
Melihat hal itu menimbulkan rasa sedih, pilu, marah dan dendam dalam hatiku.
Setelah prosesi pemakaman berjalan lancar dan ibu dimakamkan di TPU KM 5 dengan peti mati. Tetesan air mata dan isak tangis mengiringi timbunan tanah yang menutupi peti mati tersebut.
Setelah semuanya selesai, beberapa hari kemudian kami pulang ke Pangkalan Bun. Begitu menginjak kaki di rumah, perasaan hampa menyelimuti kami. Tapi kami tetap harus tegar. Untuk menatap kehidupan ke depan tanpa didampingi ibu.
Namun perasaan marah dan dendam karena merasa ibu disantet tetap menggelora dalam hatiku. “Saya harus membalas…harus membalas….harus membalas…..” Kata-kata itu selalu muncul di hatiku.
Akhirnya memutuskan, saya harus membalas perbuatan orang yang telah membuat ibuku sakit sampai meninggal. Langkah pertama adalah saya harus berguru dengan orang “pintar”; dan orang yang tepat untuk mengajari saya ilmu adalah beliau Haji Master yang menyembuhkan ibu dari kerasukan dengan daun sirih yang diisi beratnya 300 kg.
Malam hari pukul 20.00, saya nekat datang ke toko Haji Master. Pertama mengabarkan bahwa ibuku sudah meninggal dunia. Kedua saya mengemukakan, bahwa saya ingin belajar ilmu dengan beliau yang telah membuat saya kagum dengan ilmu 300 kg itu.
Saya merasa senang ketika beliau mengatakan kalau mau belajar sama beliau boleh-boleh saja; namun juga kecewa karena beliau bilang untuk belajar ilmunya tidak mungkin bisa, karena itu ilmu Islami sedangkan saya bukan org islam. Mendengar itu saya hanya manggut-manggut kecewa; kecewa sekali.
Masak saya harus masuk Islam dengan meninggalkan agama leluhur yang sudah turun temurun. Berat rasanya, dan rasanya tidak mungkin. Dengan rasa kecewa akhirnya saya pamit pulang.
Sejak kejadian pertemuan dengan Haji Master, kata-kata beliau selalu terngiang di telinga. “Masuk islam…tidak…..masuk islam…tidak…” Perang batin di dalam hatiku saya pendam sendiri.
Tapi diam-diam saya mencari-cari informasi tentang cara-cara kalau orang mau masuk Islam. Macam-macam informasi untuk jadi orang Islam antara lain: “Harus mengucapkan 2 kalimat syahadat. Ada yang mengatakan harus sunat dulu. Ada yang mengatakan harus sholat dulu, dan ada yang mengatakan harus baca Al-Qur’an dulu.”
Saya malah menjadi bingung. Mau jadi orang Islam saja susah. Banyak aturannya. Kata hati saya, “Mendingan tidak usah masuk Islam….tapi bagaimana saya bisa balas dendam kalau tidak punya ilmunya…??????” [mrm]
Bersambung ……
*Ustadz Abdul Hadi (Lay Fong Fie), Pakar Pengobatan Tradisional dan Ahli Spiritual, Pendiri Perguruan Tenaga Dalam “Hikmah Sejati”, Yogyakarta.
Selengkapnya
- Kisah Muallaf bagian 1
- Kisah Muallaf bagian 2
- Kisah Muallaf bagian 3
- Kisah Muallaf bagian 4
- Kisah Muallaf bagian 5
- Kisah Muallaf bagian 6
- Kisah Muallaf bagian 7
- Kisah Muallaf bagian 8
- Kisah Muallaf bagian 9
- Kisah Muallaf bagian 10
- Kisah Muallaf bagian 11
- Kisah Muallaf bagian 12
- Kisah Muallaf bagian 13
- Kisah Muallaf bagian 14