Nusantarakini.com, Jakarta –
MENGETUK PINTU HIDAYAH (2)
Setelah beberapa kami hidup dengan penuh keprihatinan, kadang cukup kadang kurang, kami tidak mengeluh. Namun yang tercermin adalah kehidupan kami yang memang sedang prihatin. Ibuku jarang tersenyum apalagi tertawa, juga beliau tidak pernah mengangis tersedu. Biasanya cuma tetesan air mata merembes di pipinya tatkala didatangi orang-orang yang menagih uang arisan, sambil membentak, malah ada yang menggedor pintu.
Dalam keadaan seperti itu, banyak yang menganjurkan agar ibuku menikah lagi agar beban hidup bisa diatasi (ibuku termasuk cantik), tapi ibuku tidak mau. Bahkan ada Mandor pabrik kecap yang mau melamar ibuku, tapi ditolak secara halus. Mungkin ini bentuk kesetiaan cinta ibuku sama bapakku.
Sampai akhirnya ada salah satu keluarga dari bapakku yang main ke rumah, terketuk hatinya untuk mempersatukan kembali bapak dan ibuku. Puncaknya kami dibawa ibu ke Sei-Pinyuh (jaraknya sekitar 55 km dari Pontianak) untuk bertemu bapak. Bahagia sekali rasanya, bertemu dengan orang yang kami rindukan selama ini.
Akhirnya bapak memutuskan kumpul kembali bersatu di rumah Pontianak. Selang beberapa tahun lahirlah adik laki-laki yang bernama Lay Jun Fie (Ajun) dan Lay Chui Ha (Achui). Dan kakak perempuan pun menikah dengan keluarga yang cukup kaya.
Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang tidak terduga. Atas permintaan perusahaan di Pangkalan Bun, bapak mengajak kami, kecuali kakak yang sudah menikah, untuk pindah ke Pangkalan Bun. Di kota inilah semuanya menjadi berubah, terutama pengaruh orang-orang Islam di sekitar kami.
Setelah tiba di Kota Pangkalan Bun (salah satu Kota Kabupaten di Kalimantan Tengah), mulailah kehidupan baru yang kami rasakan. Secara ekonomi kami sudah longgar (cukup baik-red).
Hanya saja pada awalnya, saya merasa kikuk dalam lingkungan yang baru. Dimana dulu saya merasa tidak senang dengan sikap orang Islam (ketika masih tinggal di Pontianak). Semua kesenangan kami dikecam. Senang judi dikecam, senang minum minuman beralkohol dikecam, apalagi senang makan babi bukan hanya dikecam tapi sampai meludah ke lantai. Bagi saya waktu itu merupakan sikap yang tidak simpatik.
Lebih-lebih speaker adzan yang keras bagi kami adalah gangguan. Belum lagi kalau bulan puasa, suara tadarusan di speaker sampai jam 12 malam dan suara takbir, tahmid malam Idul Fitri yang sampai subuh, bagi kami benar-benar satu gangguan yang tidak mengenakkan. Tidur terganggu gara-gara suara seperti itu. Sehingga terciptalah suasana tidak senang dengan orang Islam.
Saya pribadi waktu itu jarang berkomunikasi dengan orang-orang Islam karena sudah alergi duluan, otomatis kami tidak mau tahu terlalu dalam tentang kehidupan orang Islam. Maka sekat itulah yang memisahkan kehidupan kami (Cina) dengan kehidupan orang-orang Islam. Bahkan kalau ada yang masuk Islam karena pernikahan dianggap hina, memalukan dan banyak yang dikirimkan. Itu di era tahun 70-an sampai 90-an yang kami alami.
Ketika menginjakkan kaki di kota Pangkalan Bun, situasi berubah. Dimana lingkungan yang beraneka ragam suku, ada Suku Jawa, Banjar,Bugis, Dayak dan Cina. Serta beraneka ragam agama pula, meskipun mayoritas Islam.
Di lingkungan yang baru, Kota Pangkalan Bun ini, kami berusaha melakukan adaptasi. Karena kami merasa asing, dimana lingkungan kami jarang ada orang Cina, kami sedikit minder dan takut serta malu.
Saya sampai beberapa bulan jarang keluar rumah. Untunglah orang di lingkungan baru tidak mengucilkan kami, malah sering memberikan perhatian pada kami. Bertamu ke rumah, ngobrol kekeluargaan tanpa menyinggung masalah agama maupun makanan dan minuman kesenangan kami yang menurut Islam itu haram.
Akhirnya kami merasa makin akrab. Kami tidak merasa sendiri lagi. Banyak saudara dan teman di sana yang berbeda agama dan suku. Kehidupan tanpa sekat.
Saya sering disapa dengan akrab ketika lewat depan rumah mereka, “Apung, mau kemana?….mampir.”
Saya terharu, tersentuh hatiku. Inilah kehidupan akhlak Islam yang baik. Tapi masih sebatas itu.
Suatu hari ibu belanja ke pasar dengan perahu dayung bersama kakakku yang sulung. Jaraknya dari pasar sekitar 7 km. Kalau berangkat enak, tinggal mendayung ikuti arus saja. Tapi kalau pulang melawan arus perlu tenaga ekstra. Karena waktu itu angkot belum ada.
Setelah sampai di rumah, mendadak ibuku menari-nari seperti tarian keraton. Suasana jadi heboh. Akhirnya diketahui ibuku kerasukan penghuni Sungai Buun. Ketika lewat daerah itu membasuh muka tanpa permisi.
Penduduk sekitar datang memberikan bantuan doa-doa dan dengan berbagai cara. Sudah puluhan orang pintar diundang, tetapi belum bisa mengatasi. Timbul tenggelam kesadaran ibuku. Begitu jinnya datang, ibuku bilang, “…dah datang mengajak menari…”
Terus ibuku menari dengan luwesnya. Kami benar-benar hampir putus asa, karena dimana lagi kami haruss mencari orang “pintar”.
Disinilah kami benar-benar merasa punya keluarga yang lain, yang begitu dekat. Orang-orang di lingkungan kami yang saling bahu membahu, mencari cara mengatasinya.
Syukurlah setelah setengah harian, Jin yang merasuki ibuku bilang: “Saya mau pulang, siapkan air kembang dan pisau yang baru, taruh di atas ember yang berisi bunga….”
Kami turuti tapi juga was-was karena ada pisau. Takut kalau pisau tersebut digunakan untujk menggorok atau menikam ibuku.
Akhirnya saran sesepuh di sana, kami turuti. Barang tersebut dibawa ke pinggir sungai, diikuti ibuku dan kami. Begitu air disiramkan ke kepala ibu. Ibuku lemas tidak bertenaga. Begitu sadar, ibuku kaget…kok banyak orang di sekitarnya…..
Ini mungkin pelajaran bahwa tidak semua jin yang masuk ke tubuh harus dilawan dengan kekerasan. Ada cara tertentu yang akan saya sampaikan pada episode yang akan datang……[mrm]
Bersambung…….
*Ustadz Abdul Hadi (Lay Fong Fie), sekarang aktif mengembangkan Yayasan Hikmah Sejati Yogyakarta.
Selengkapnya
- Kisah Muallaf bagian 1
- Kisah Muallaf bagian 2
- Kisah Muallaf bagian 3
- Kisah Muallaf bagian 4
- Kisah Muallaf bagian 5
- Kisah Muallaf bagian 6
- Kisah Muallaf bagian 7
- Kisah Muallaf bagian 8
- Kisah Muallaf bagian 9
- Kisah Muallaf bagian 10
- Kisah Muallaf bagian 11
- Kisah Muallaf bagian 12
- Kisah Muallaf bagian 13
- Kisah Muallaf bagian 14