Nasional

Indopol Tak Rilis Elektabilitas: Terjadi Anomali, Survei Diwarnai Penolakan

Tingginya ”undecided voters” tunjukkan masyarakat sembunyikan pilihan atau masyarakat tak dalam kondisi bebas memilih.

Nusantarakini.com, Jakarta –

Lembaga Survei dan Konsultan Indopol tak merilis tingkat elektabilitas setiap pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) karena selama survei berlangsung menghadapi penolakan dari sejumlah kepala desa dan lurah. Penolakan itu dinilai anomali karena tak terjadi pada beberapa survei sebelumnya.

Meski demikian, dari hasil survei yang terhimpun terekam bahwa terdapat fenomena tingginya angka pemilih bimbang atau undecided voters di sejumlah wilayah.

Direktur Eksekutif Indopol Survei Ratno Sulistiyanto, di Jakarta, Rabu keamrin (24/1/2024), menjelaskan, Indopol melakukan survei nasional pada 8-15 Januari 2024. Penelitian survei dilakukan terhadap responden sebanyak 1.240 orang yang memiliki hak pilih dalam Pemilu 2024. Responden tersebar di 38 provinsi di Indonesia. Adapun margin of error berada pada tingkat 2,85 persen.

Diduga terdapat penolakan

Dari survei itu terungkap bahwa ada fenomena tingginya undecided voters atau mereka yang belum menjatuhkan pilihan, atau yang menolak mengungkapkan pilihannya. Tingginya undecided voters ini terjadi diduga karena ada penolakan masyarakat agar pilihan mereka dalam Pemilu 2024 tidak terpetakan dalam hasil survei.

Ratno mengungkap tingginya undecided voters ditemukan di sejumlah wilayah di Indonesia. Meski demikian, ia hanya merinci undecided voters antara 20 persen dan 85 persen di sejumlah daerah di Jawa Timur yang merupakan basis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Tingginya undecided voters itu terdapat di Blitar (85 persen), Kediri (40 persen), Kota Madiun (43,3 persen), Kota Malang (22,9 persen), Kota Batu (32,5 persen), Mojokerto (55 persen), dan Jombang (67,5 persen), Bondowoso (70 persen), dan Probolinggo (43,8 persen).

Ratno menyebutkan, setelah dicek kepada sejumlah peneliti lapangan, rupanya terdapat penolakan dan masalah. Di Surabaya, Kota Malang, Kota Blitar, dan Kabupaten Banyuwangi, misalnya, pihak kelurahan menolak memberikan stempel di lembar kartu keluarga (KK) untuk pihak yang menjadi responden. Alasannya, agar wilayahnya tidak terpetakan karena sudah dekat Pemilu 2024.

Selain itu, ada sejumlah ketua RT menyampaikan bahwa kesepakatan warga di wilayahnya tidak menerima survei agar wilayahnya tidak terpetakan dan tidak berimbas pada bantuan sosial. Di Kabupaten Bangkalan, beberapa kepala desa setempat menolak disurvei dengan alasan keamanan. Sementara itu, di Kabupaten Lamongan, kepala desa menolak karena trauma dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) sebelumnya terkait dengan evaluasi Program Keluarga Harapan (PKH) di daerah tersebut.

Masalah serupa, menurut Ratno, juga dijumpai di sejumlah daerah di Jawa Barat, seperti Depok, Bogor, Bandung, dan Bekasi, serta Banten, yaitu Cilegon, Kota Serang, Kabupaten Serang, dan Kabupaten Lebak. Di Jawa Barat, umumnya wilayah kelurahan menolak didatangi lembaga survei dengan dalih masalah administrasi. Di Banten, lembaga survei ditolak karena dianggap berpihak pada salah satu kandidat, ada juga beberapa organisasi kemasyarakatan (ormas) yang menolak.

”Kami anggap ini sebagai anomali karena selama ini tidak pernah ada penolakan dalam survei. Terakhir kali kami survei dua bulan lalu, tidak ada masalah. Rupanya sekarang kehadiran lembaga survei menjadi masalah untuk mereka,” katanya.

Mengingat terdapat sejumlah penolakan di masyarakat, Lembaga Survei dan Konsultan Indopol memutuskan tidak merilis angka elektabilitas capres dan cawapres. ”Kami khawatir hasil penelitian tidak menggambarkan realitas sesungguhnya,” kata Ratno.

Namun, dari survei yang terekam, menunjukkan ada sejumlah faktor perubahan pilihan dalam Pilpres 2024. ”Faktor itu, antara lain, capres-cawapres memiliki visi-misi yang lebih jelas (56,49 persen), penampilan capres-cawapres lain dalam tiga kali debat lebih baik (18,60 persen), orang lain yang menjadi panutan berubah pilihan (7,02 persen), dan karena adanya bantuan sosial (bansos) atau kiriman uang dari paslon (pasangan calon presiden-calon wakil presiden) atau tim kampanye paslon (4,21 persen),” kata Ratno.

Menonton Debat

Dalam penelitian itu juga tecermin bahwa sebanyak 70,56 persen masyarakat menonton debat. Sebanyak 66,52 persen masyarakat mengatakan bahwa debat berpengaruh dan sangat berpengaruh terhadap pasangan capres-cawapres yang akan mereka pilih dalam Pemilu 2024.

”Hasil ini menggambarkan masyarakat rasional dalam menentukan pilihan,” katanya.

Sementara itu, tokoh yang memengaruhi pilihan politik adalah ulama (16,94 persen), tokoh politik (6,37 persen), kalangan intelektual (5,24 persen), artis (4,44 persen), pemengaruh atau influencers (2,58 persen). Sebanyak 64,44 persen tidak ada atau tidak menjawab. [mc/ms/dpn]

Sumber&foto: Kompas.id.

Terpopuler

To Top