Analisis SBP. Pasca Jokowi 2017 (Seri 3)

Nusantarakini.com, Jakarta –

 

Nama YLBHI/LBH Jakarta sempat besar dan menjadi perhatian dunia. Itu terjadi di zaman Bang Adnan Buyung Nasution yang dibantu para sejawatnya pada waktu itu. Tapi sesudah Abang pensiun, nama YLBHI/LBH ikut surut, bahkan sampai titik terendah, yaitu setelah ditangani anak-anak muda. Pamornya sebagai Lembaga Perjuangan Hukum dan HAM hilang.

Bahkan kasus-kasus yang ditanganinya pun nyaris tak terdengar. Beberapa kasus menarik yang menyangkut orang miskin pun berhenti di tengah jalan tak selesai. Satu-satu meninggalkan YLBHI/LBH, dengan mencoba mencari jalan lain. Lembaga Babtuan Hukum itu pun menjadi sepi. Lalu sesekali terdengar suka menjadi tempat berkumpul dan menginapnya anak-anak muda, buruh dan petani dari luar kota, dan lain-lain yang masih berusaha mencari keadilan.

Tak tertinggal juga kelompok yang terkait dengan Peristiwa 65. Mereka mendatangi YLBHI/LBH Jakarta yang tidak mungkin bisa menolak. Tidak bisa dielakkan, masyarakat mencurigai mereka sebagai kelompok Pro-PKI. Maka tidak terlalu heran kalau lalu ada rencana seminar terkait Peristiwa 1965 di YLBHI/LBH Jakarta beberapa hari lalu.

Tetapi kalau mau mengungkap tentang “Kebenaran Peristiwa 65” itu, tentu saja anak-anak muda di YLBHI/LBH itu tidak akan mampu. Peristiwa sejarah nasional yang menyangkut Presiden Pertama dan Kedua RI itu serta Negara-negara Asing dengan korban entah puluhan atau ratusan ribu itu, seharusnya ditangani oleh sebuah Lembaga Nasional Independen yang ditunjuk Negara. Tetapi sesudah MPR tidak berfungsi, sulit kiranya mendapatkan “perintah Negara” tersebut. Sedang rezim-rezim yang ada dikhawatirkan tidak satu pun yang independen.

Rezim Jokowi adalah salahsatunya. Selama pengungkap kebenaran masih cenderung membela kepentingan PKI, atau bahkan berpendapat PKI tidak terlibat dalam Peristiwa Berdarah itu, maka “kebenaran” tidak mungkin terungkap. Kenyataan, bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan penduduk mayoritas Islam tidak terbantahkan. Komunisme yang menolak paham Agama tidak mungkin mendapat tempat di Indonesia. Upaya mengungkap kebenaran yang beranggapan, bahwa PKI tidak terlibat dalam Peristiwa 65, tidak mungkin diterima. Karena itu rencana Jokowi memberi maaf dan meminta maaf kepada para korban Peristiwa 65, tanpa menjelaskan siapa yg dimaksud dengan “korban,” segera saja dimaknai sebagai Pro-PKI.

Sebenarnya, kalau umat Islam waspada sejak awal, yaitu ketika Jokowi memilih FX Rudiatmo sebagai Calon Wakil Walikota Solo untuk mendampinginya dalam Pemilihan Walikota, maka sudah diketahui siapa Jokowi sesungguhnya. Seringkali, karena sifat tolerannya yang tinggi, Umat Islam Indonesia menjadi salah pilih dan menjadi korban dari pemimpin-pemimpin yang berjiwa khianat; khianat terhadap Pancasila dan UUD 1945.

Jokowi sengaja mengulang kembali kesalahannya terhadap Islam dengan menggandeng Xong “Ahok” Wansie yang Cina dan Non-Muslim dalam Pilgub DKI 2011; dengan maksud menjadikannya Gubernur DKI Jakarta. Pada waktu sebagian besar warga DKI-Jakarta masih belum sadar (2011), kami sudah menyampaikan keprihatinan kami itu kepada Kapolri, tentang kemungkinan Jokowi-Ahok menang. Kami pun berurusan dengan Polda Metro Jaya dan Pengadilan, karena dituduh melanggar Pasal SARA, Pasal 156/KUHP, karena menolak kesenjangan Cina versus Pribumi.

Sedang Umat Islam DKI terlena oleh Jokowi-Ahok; hanya karena Jokowi mengaku Islam, sekalipun tidak memegang teguh prinsip-prinsip Islam. Mestinya, umat Islam Indonesia sudah harus sadar betul, dan tidak usah menunggu Allah SWT mengingatkan lewat Al Maidah 51.

Dengan menolak Al Maidah 51, maka masyarakat Bangka-Belitung sudah menolak Ahok dalam Pilgub beberapa tahun sebelumnya. Mestinya, masyarakat DKI Jakarta juga harus menolak Ahok sebagai Cawagub dalam Pilgub 2011. Lima tahun kemudian, barulah Allah mengingatkan umat Islam, bahkan di seluruh Indonesia, untuk tidak bermain-main dengan Islam. Barulah dengan peringatan Allah itu, Ahok dan para Ahokers dikalahkan dalam Pilgub, bahkan Ahok sendiri dipenjara karena menista Islam. Tapi masih banyak para Penista Islam lain yang diberi kebebasan untuk berkeliaran.

Tetapi, mungkin umat Islam Indonesia masih perlu diingatkan lagi tentang Jokowi. Bukankah yang membawa FX Rudiatmo dan Xong Wansie adalah Jokowi?! Atau sebaliknya, Umat Islam Indonesia harus mengingatkan Jokowi, bagaimana berperilaku sebagai muslim sejati. Jangan sampai Jokowi terbawa terus dengan memegang Trisakti-nya yang ketiga: membiarkan Gerakan Anti-Islam hidup di Indonesia.

Pertanyaannya kemudian, masihkah Jokowi bisa disadarkan untuk tidak membiarkan Gerakan Anti-Islam hidup?! Kenapa tokoh-tokoh Islam, Ulama dan Aktivis, masih dikejar-kejar terus…?! Ditangkap dan ditahan, lalu diadili dan dimasukkan ke penjara?! Padahal mereka membela Islam, yang berarti juga membela Rakyat, Bangsa, Negara dan Agama…?! Apakah Jokowi sekedar membiarkan Gerakan Anti-Islam hidup di Indonesia, atau Jokowi justru aktif sebagai pendukung Gerakan Anti-Islam?!

Sampai hari ini kelihatannya Jokowi masih bertahan dengan pendapatnya, bahwa harus ada gerakan yang melawan Islam Indonesia, sekalipun dia mengaku Islam. Bukankah semua sudah jelas di dalam Konstitusi?! Bahwa Dasar Negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Apa yang diinginkan Jokowi?! Apakah dia ingin menjadi Pemimpin Agama, Pemimpin Islam, dan mengatur serta mengendalikan Islam sesuai dengan keyakinan Islamnya?! Memangnya siapa Jokowi…?! Mungkin Jokowi bisa menundukkan beberapa tokoh Islam, tetapi tidak mungkin semua tokoh Islam bisa ditundukkannya! Soeharto pun tidak bisa, akhirnya Soeharto pun harus merangkul Islam.

Gerakan Anti Islam di Indonesia memang dilakukan secara sistimatik, serentak dan menyeluruh. Di antaranya adalah dengan kriminalisasi terhadap Ulama dan Aktivis Muslim. Seperti disebut di atas, mereka dikejar, ditangkap, ditahan dengan tuduhan yang dibuat-buat, seperti Makar Palsu dan lain-lain, lalu dipenjara. Selanjutnya adalah Kristenisasi yang telah dilakukan sejak lama, terakhir melalui gerakan Kristen Kharismatik yang dipeluk oleh kebanyakan masyarakat Etnis Cina Indonesia. Mereka merayu untuk mengkristenkan Umat Islam. Sungguh sangat jahat!

Deislamisasi juga dilakukan di sekolah-sekolah, bahkan pesantren-pesantren, lewat penyebaran opini bahwa Islam identik dengan teroris, kaum radikal dan kelompok intoleran. Sudah bukan rahasia, bahwa istilah-istilah radikal, intoleran dan teroris itu semuanya direkayasa untuk menunjuk kepada Umat Islam. Baru-baru ini Kopertis III DKI Jakarta mengumpulkan universitas-universitas dan perguruan-perguruan tinggi swasta di Universitas Katolik Indonesia (UKI) untuk membuat Deklarasi Anti Radikalisme.

Maka juga dibentuklah, antara lain, Densus 88. Mereka membunuhi terduga teroris, yang pada hakekatnya adalah Aktivis-aktivis Islam yang menyeru kepada keadilan sosial. Selain dengan memecah-belah Umat Islam, seperti mempertentangkan antara Kelompok Nahdhiyin dan Muhammadiyah, deislamisasi juga dilakukan dengan memunculkan kelompok Non-Islam yang mengaku Islam, seperti Ahmadiyah dan aliran-aliran kepercayaan lain yang bertentangan dengan Islam. Deislamisasi juga dilakukan dengan membangun hubungan dengan pihak Barat, semisal dengan mendukung keuangan Kristen Kharismatik dan Densus 88. Konon Barack Obama juga menelepon SBY untuk tidak membubarkan atau melarang Ahmadiyah.

Komunisiasi juga dilakukan untuk melawan Islam, yaitu dengan upaya membangkitkan kembali PKI atau Komunis Gaya Baru. Di antaranya melalui injeksi paham komunis melalui partai-partai politik, dan memunculkan gerakan yang berpikiran, bahwa PKI tidak melakukan Kudeta dalam Peristiwa 65 dan karenanya PKI harus dihidupkan kembali.

Cinaisasi adalah juga usaha untuk melawan Islam. Ini dilakukan, terutama oleh Mafia-Mafia Cina Indonesia, yang dengan segala cara berusaha menguasai berbagai sektor kehidupan, terutama sektor ekonomi. Cinaisasi atau Anti-Pribumisasi ini juga dilakukan dengan menggusur penduduk Pribumi dari tanah-tanah, lahan-lahan dan rumah-rumah mereka. Pembangunan Proyek-proyek Reklamasi, Meikarta dan Infrastruktur dengan menggunakan dana Cina-cina Mafia dan RRC adalah bentuk-bentuk kegiatan Cinaisasi.

Sampai di sini tentu kita perlu melanjutkan pertanyaan, kalau ada, apa motif Jokowi melawan atau menentang Umat Islam Indonesia. Atau, paling tidak, untuk apa Jokowi membiarkan Gerakan Menentang Umat Islam Indonesia. Tidak bisa diingkari, bahwa Umat Islam Indonesia adalah benteng Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak saja gerakan kemerdekaan dari penjajahan Belanda diawali oleh tokoh-tokoh Islam yang berserikat, tetapi juga berserikat dalam perang kemerdekaan. Belanda, Inggris dan Jepang mengakui itu. Ketika Belanda dan Inggris mau kembali menjajah Indonesia dengan mengerahkan Pasukan Gurkha yang Islam dari India Barat, maka Pasukan Gurkha mundur sesudah mendengar takbir Allahu Akbar dari para Mujahiddin Indonesia.

Gerakan Anti Islam yang dibiarkan bergerak leluasa di Indonesia dengan bantuan Polri dewasa ini kiranya memang dimaksudkan untuk melemahkan Umat Islam Indonesia, yang berarti melemahkan unsur pertahanan rakyat semesta NKRI. Sehingga dengan demikian, Indonesia yang kaya raya itu bisa dikuasai dan dijajah kembali oleh kekuatan Asing, baik itu dari kelompok Barat maupun Cina RRC dengan bantuan para pengkhianat dan Mafia-mafia Cina di dalam negeri. [mc]

*Sri Bintang Pamungkas, Dewan Pembina Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI).