Analisa

‘Too Good to be True,’ Hati-hati dan Waspadalah!

Nusantarakini.com, Medan –

Too good to be true, berarti terlalu bagus untuk benar, bisa juga terlalu baik untuk benar, atau dimaknai juga terlalu cantik untuk benar. Maksudnya sesuatu yang terlihat sangat baik dan bahkan terlalu baik tetapi mungkin saja sesungguhnya tidak baik, sesuatu yang terlihat cantik bahkan terlalu cantik sehingga dicurigai melebihi level cantik yang semestinya, atau bisa jadi sesuatu yang kita lihat sangat bagus bahkan terlalu bagus sehingga membuat kita berpikir sesuatu tersebut melebihi level bagus yang sewajarnya.

Orang yang tidak kita kenal datang kepada kita dengan sikap yang sangat baik, muka yang sangat ramah, menawarkan bantuan, dan pertolongan yang diberikan berlebihan dan di luar kewajaran, mungkin membuat kita bertanya, orang ini kok baik sekali dan berlebihan baiknya, mungkin kita malah curiga ada sesuatu di balik kebaikannya, jadi terlalu baik untuk dianggap sebagai kebaikan, too good to be true.

Seseorang yang biasanya sangat tidak perduli dan tidak mau tahu sama kita, tiba-tiba datang menanyakan kabar kita, membawa buah tangan yang bernilai tinggi, mengajak makan di tempat mewah yang mahal, dan menawarkan berbagai fasilitas yang tidak kita duga. Mungkin akan membuat kita bertanya-tanya dan heran kenapa demikian, sehingga kita mungkin menilai terlalu baik, sikapnya terlalu baik untuk sebuah kebaikan, too good to be true.

Seorang anak yang biasanya malas, sering bolos sekolah, nilainya hancur, senangnya keluyuran, jarang beribadah, suka melawan orang tua, serta selalu menuntut dikasih uang dan berapapun dikasih dia tak pernah cukup, tiba-tiba sikapnya berubah, menjadi sangat perduli sama orang tua, rajin ke sekolah, rajin beribadah, dan betah berkurung saja di kamar. Tentu orangtuanya berpikir, ada apa dengan anak ini, tidak biasa seperti ini, dan mencurigai anaknya kenapa jadi terlalu baik dan kenapa bisa seketika “menjadi benar”, too good to be true.

Kita memang perlu curiga dengan keadaan yang too good to be true, pejabat yang tiba-tiba sangat baik, tiba-tiba menjadi dermawan, tiba-tiba rajin berkunjung, tiba-tiba rajin menyapa, tiba-tiba ringan tangan mengulurkan pertolongan, tiba-tiba rajin mendatangi tempat-tempat ibadah, mungkin saja kebaikannya tidak murni, tidak asli, palsu, dan ada maunya. Betul sekali, inilah termasuk yang dikatakan sebagai too good to be true. Di balik kebaikannya, tersimpat niat dan tujuan pribadi, apa yang kebaikannya hanya untuk mengelabui niatnya yang bisa saja “tidak jahat-jahat amat,” bisa saja menutupi keburukan dan kesalahannya, bisa saja ingin mengambil simpati, tetapi bisa saja ada niat buruk dan jahat di balik perubahan sikapnya. Meskipun tidak tertutup kemungkinan bahwa memang niatnya baik dan memang dia ingin berbuat baik, sehingga orang tersebut sudah berubah dan menjadi good, very good, dan really good.

Saat ini kita sedang menyaksikan contoh bagus untuk too good to be true ini, para calon kepala daerah dan para calon anggota legislatif serta para pendukungnya sedang tebar pesona untuk mengesankan mereka orang baik, orang taat, orang cerdas, orang hebat, keturunan orang terpandang, dan seolah peduli dengan rakyat, sehingga mereka ingin dinilai layak jadi pemimpin, layak jadi wakil rakyat, sehingga layak dipilih. Mereka kesana kemari menebar janji, meminta dipilih, bahkan membujuk orang banyak agar dia dipilih. Mereka menaburkan puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan banner, spanduk, dan baliho. Mereka tampil di media, baik media massa maupun media online, mereka rajin mengirim karangan bunga pada berbagai acara, mereka menebar kartu nama, dengan satu tujuan, “pilihlah saya.”

Memang apa yang mereka lakukan tidak salah, silahkan saja mereka melakukan berbagai cara. Cuma mestinya, menunjukkan kepedulian kepada rakyat tidak hanya saat menjelang pemilu saja, menunjukkan siapa dirinya bukan hanya saat kampanye saja, mengenalkan apa yang menjadi visi dan misinya tidak hanya sesaat saja, kepeduliannya kepada rakyat bukan hanya sekedar ingin memenangkan pemilihan saja, kebaikannya mestinya tidak palsu, kepeduliannya mestinya tidak kaleng-kaleng, bantuan yang diberikan mestinya tulus.

Begitu juga dengan sifat, sikap, dan kepribadiannya mestinya asli, bukan abal-abal, dan bukan ecek-ecek, sehingga bukan too good to be true, tetapi really good and true.

Memang susah menyembunyikan sesuatu yang fake dan membuatnya menjadi true. Seseorang yang memiliki perangai pemarah, sangar, dan kasar, memang bisa saja terlihat lembut, lucu, gemoy, menggemaskan, dan asyik apabila timnya mampu memoles, mendandani, me-make up sedemikian rupa, tetapi akan susah mempertahankan kegemoyan, kelucuan, dan kegemasannya tersebut setiap saat, ada masanya sifat aslinya kelihatan, apalagi ketika terpancing oleh suasana dan lingkungannya, sehingga nampaklah kesangarannya, nampaklah kekasarannya, nampaklah sikap pemarahnya, dan nampaklah ketidakmampuan mengendalikan emosinya.

Seseorang yang sesungguhnya masih hijau, lugu, polos, wawasannya sempit, tidak cerdas, tidak punya kemampuan, tidak punya cukup pengalaman, tidak punya kapabilitas, tidak punya kapabilitas, bisa saja disulap menjadi seperti hebat, cerdas, lugas, pemikirannya bernas, dan seakan punya wawasan, dan seakan sudah berpengalaman, tetapi bisa saja saat-saat tertentu, keluguan, kepolosan, ketidakmampuan, dan ketidaktahuannya muncul, sehingga justru mempermalukan sosok tersebut dan bahkan menjadi bulan-bulanan masyarakat banyak. Betul sekali sesuatu atau seseorang yang sesungguhnya not good tiba-tiba bisa terlihat menjadi good atau malahan menjadi so good, really good atau very good, tapi bisa jadi malahan menjadi too good dan too good-nya nampak tidak true, sehingga yang muncul adalah too good to be true.

Fenomena too good to be true sesungguhnya bukan hal baru, bukan hanya menyangkut calon pimpinan di eksekutif dan calon anggota legislatif. Kita juga harus mencurigai too good to be true terhadap laporan keuangan atau laporan penggunaan dana proyek yang dibuat sangat cantik dan sesungguhnya terlalu cantik, sehingga karena terlalu cantiknya membuat kita curiga dan semestinya perlu ditelurusi apakah really true atau not true.

Katakan saja sebuah laporan keuangan, bagaiamana pula dianggap sebagai kebenaran, ketika laporan keuangannya sudah siap, bahkan bisa jadi laporannya sudah diterima dan disetujui, sementara proyeknya masih berjalan. Mungkin kejadian seperti ini hanya ada di “negeri Konoha” yang memang sering kita jumpai sesuatu atau seseorang yang too good to be true.

Sebagian di antara kita juga mungkin memandang too good to be true terhadap hasil survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei mengenai popularitas dan elektabilitas dari para calon pimpinan nasional dan daerah, nominasi partai yang tetap akan duduk di parlemen, ataupun survei tentang hasil pemilu. Angka yang terlalu cantik dan konsisten besarannya yang seakan tak dipengaruhi oleh kondisi faktual, perbandingan angka quick count yang tidak berubah sejak awal penghitungan sampai semua data masuk, dan distribusi hasil survei yang mengikuti pola tertentu, adalah berbagai pertimbangan yang membuat beberapa pihak mensinyalir hasil surveinya too good to be true.

Memang hasil survei dari pihak manapun, oleh siapapun pelaksananya, dan apapun hasilnya, tidak dapat serta merta menjadi “dipercaya,” meskipun tidak tepat juga langsung dinyatakan sebagai “tidak dipercaya.”

Semestinya sepanjang tidak diketahui metode yang digunakan, alat ukur yang dipakai, metode sampling yang diterapkan, dan metode pengumpulan data yang dilakukan, mestinya kita harus skeptis dan tidak cepat-cepat mempercayai atau tidak mempercayainya. Dengan kata lain, kita mesti memiliki cukup bukti untuk menolak atau menerima hasil survei, hasil jajak pendapat, atau sejenisnya. Hanya saja kalau terlalu cantik datanya, kita perlu mencurigai hasilnya sebagai too good to be true.

Mungkin kita juga masih ingat masa-masa adanya ujian nasional dahulu yang mensyaratkan kelulusan anak sekolah hanya berdasarkan hasil ujian nasional, saat itu banyak sekolah dan daerah yang ujian nasional siswanya menunjukkan hasil yang luar biasa dengan rata-rata tinggi bahkan dengan variasi yang rendah. Nilai rata-rata tinggi menunjukkan kemampuan dan penguasaan terhadap mata pelajaran yang tinggi dan nilai standar deviasi atau variasi yang rendah yang menggambarkan kemampuan siswa yang seragam. Saat itu biasa dijumpai sekolah-sekolah atau kabupaten/kota yang nilai Matematikanya sekitar 9 dengan keragaman yang rendah, yang artinya sebagian besar nilai siswa juga ada di sekitar 9. Begitu juga dengan Bahasa Inggris yang juga nilainya sekitar 9 dan keragaman yang rendah juga. Nilai ini tentu dapat dicurigai sebagai too good to be true.

Hasil yang terlalu bagus sebagai kebenaran saat itu dikuatkan oleh isu yang berkembang tentang soal bocor, ada “gacoan,” guru dan sekolah memang sengaja membiarkan, dan lain sebagainya. Karena tingkat kelulusan ujian nasional dianggap sebagai gengsi bagi sekolah, Dinas Pendidikan, dan pemerintahan kabupaten/kota, sehingga nilai siswa dicurigai ditukangi.

Penyebaran nilai hasil seleksi PPPK yang konon kabarnya banyak yang sudah “ditukangi,” sesungguhnya akan memunculkan too good to be true jika datanya ditunjukkan, meskipun kasusnya tidak sempat terbongkar seperti apa yang terjadi di Kabupaten Mandailing Natal.

Dari karakteristik pola penyebaran datanya, dari rata-ratanya, dari simpangan deviasinya, dari quartile-nya, kita bisa mendeteksi apakah datanya betul-betul good atau too good, tapi tak apalah, toh indikasi pertukangan nilai sudah terbongkar dan kasusnya sedang dalam proses penyelidikan dan penyidikan pihak yang berwajib.

Memang soal tukang menukangi data merupakan salah satu cara yang paling efektif dalam melakukan kebohongan. Dalam Ilmu Statistika juga dikenal berbohong secara statistik. Bahkan sejak tahun 1954, sudah ada bukunya mengenai itu yang berjudul “How to Lie with Statistics” yang ditulis oleh Darrell Huff. Mungkin ilmu itulah yang digunakan tanpa disadari oleh para pembuat laporan keuangan, para tukang rekayasa nilai, para lembaga survei, para pembuat proposal, para penyusun anggaran, para pembuat laporan pajak, para pengawas dan para auditor nakal yang mengutak-atik angka-angka statistik sehingga menjadi alat pembohong yang paling meyakinkan. Cuma mungkin “Ilmu Statistikanya tidak sampai tamat” sehingga penggunaan statistika untuk berbohongnya kurang meyakinkan. Sehingga banyak yang ketahuan berbohong dan terpaksa berurusan dengan pihak kepolisian, kejaksaan, atau KPK, atau menjadi hilang kepercayaan oleh masyarakat.

Meskipun Ilmu Statistika memungkinkan digunakan untuk berbohong, sesungguhnya Ilmu Statistika tidaklah ditujukan untuk berbohong. Ilmu Statistika adalah ilmu alat yang membantu orang dalam mengambil keputusan. Statistika sama dengan pisau yang bisa digunakan untuk memotong mangga atau kue, tapi dapat juga digunakan untuk melukai dan menusuk orang lain. Jadi percayalah, orang Statistika bukanlah pembohong, tapi mungkin tepatnya bisa mengantisipasi kebohongan para pembohong yang menggunakan statistik.

Jadi kesimpulannya, sebaiknya sampaikanlah apa yang perlu disampaikan secara jujur dan perkuatlah dengan data statistik bila diperlukan. Berbuat baiklah karena memang kita adalah orang baik, bukan agar terlihat baik, apalagi berpura-pura baik atau memoles sesuatu yang tidak baik sehingga seolah-olah baik bahkan terlalu baik, sehingga tidak menjadi terlihat too good to be true. [mc]

*Zulkarnain Lubis, Ketua Program Doktor Ilmu Pertanian dan Magister Agribisnis UMA, Ketua Dewan Penasehat DPW Jarnas ABW Provinsi Sumatera Utara.

Terpopuler

To Top