Analisa

‘Test the Water’

Nusantarakini.com, Medan –

“Test the water” atau kadang disebut sebagai “testing the water” atau biasa diindonesiakan sebagai “ngetes air” adalah ucapan atau tindakan yang ditujukan untuk mengukur pendapat dari orang atau kelompok tertentu mengenai sesuatu hal sebelum orang atau kelompok tertentu itu disuruh melakukan sesuatu.

Namun secara spesifik, “test the water” adalah tindakan, ucapan, atau pemberitaan yang bertujuan untuk memancing reaksi publik sebelum mengeluarkan kebijakan/keputusan. Jika publik tidak bereaksi atau merespons positif, maka “the show must go on”, kebijakan itu akan ditetapkan. Namun jika reaksinya negatif dan dikhawatirkan memunculkan respons yang tidak kondusif, maka akan ditunggu kesempatan yang tepat untuk memberlakukannya, yaitu sampai terjadi perubahan sikap publik terhadap rencana kebijakan tersebut, perubahan ini dapat saja terjadi baik secara alami, maupun melalui rekayasa. Biasanya “test the water” ini digunakan untuk sesuatu yang sensitif, rawan, atau beresiko, sehingga untuk mengeksekusinya mesti hati-hati dan didahului dengan uji coba.

Istilah lain untuk “ngetes air” ini adalah “tes ombak” atau “cek ombak”, ibarat ingin pergi berlayar dipastikan dahulu apakah ombaknya cukup ganas yang mungkin akan bisa melipat dan meluluhlantakkan perahu yang digunakan, atau hanya ombak kecil yang bisa dilalui dengan tenang, nyaman, dan aman. Ibarat mau mandi, ingin dites dulu airnya apakah sudah pas panas, atau terlalu panas yang bisa membuat kulit melepuh, atau terlalu dingin yang membuat badan kedinginan. Di dunia jurnalistik, dikenal juga istilah “balon percobaan” (proof balloon) yang diartikan sebagai berita yang disiarkan secara sengaja untuk memancing reaksi publik untuk pemberitaan lebih jauh dan biasanya bersifat politis.

Mungkin saja pertemuan antara Puan Maharani dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) beberap minggu yang lalu adalah “testing the water”. Bisa saja mereka ingin melihat apa yang diinginkan dan apa yang ingin diberikan oleh salah satu terhadap satu yang lainnya. AHY mungkin menginginkan sesuatu dari Puan yang merupakan representasi dari PDIP, sebaliknya Puan juga menginginkan sesuatu yang lain dari AHY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Keduanya ingin menimbang dan mempertimbangkan, menduga dan memprediksi hal-hal apa saja yang mungkin terjadi sebagai dampak dari keinginan dari pihak lawan bicaranya, apakah akan beresiko, apakah akan memberi dampak positif atau malah memberi akibat tidak baik bagi pihak masing-masing.

Bisa jadi “airnya cukup panas” untuk diminum yang akan menghangatkan tubuh, tapi bisa jadi “terlalu panas” sehingga dapat membakar tenggorokan. Bisa jadi “airnya cukup dingin” untuk menyejukkan tenggorokan, tapi bisa saja “terlalu dingin” sehingga membuat perut gembung. Bisa saja ombak yang diberi adalah “ombak lembut” yang memberi sensasi mengasyikkan, tapi mungkin saja di belakangnya ada “ombak yang berbahaya” bagi kapal yang dikemudikan yang bisa mencelakakan seluruh “isi kapal”.

Gagasan mengenai dibolehkannya presiden tiga periode adalah mungkin juga merupakan “testing the water” yang ingin melihat reaksi publik. Jika seandainya respons bersahabat yang didapatkan, maka mungkin akan terus bergulir, namun jika reaksi penolakan keras yang muncul, gagasan akan ditutup, “close the case”, “tutup jualan” dan coba ditawarkan lagi “jualan lain”. Sesudah ide tak bersambut, muncul gagasan untuk menunda pemilu yang bisa saja juga merupakan “test the water” tapi lagi-lagi “jualan” ini juga kurang bersambut, lagi-lagi “angin tidak mendukung” dan “ombak tidak bersahabat”.

Masih ada beberapa lagi alat tes yang digunakan, tapi mungkin karena indikasi yang muncul adalah tetap reaksi yang kurang baik, isu yang dites tersebut tidak berkelanjutan. Munculnya pernyataan “cawe-cawe” mungkin merupakan alat cek ombak yang juga langsung menuai pro dan kontra di tengah masyarakat, sebahagian menudingkannya sebagai adanya intervensi, tidak netral, memihak, pilih kasih, bahkan ada yang menuding hal tersebut sebagai pelanggaran terhadap undang-undang. Belakangan seiring dengan berjalannya waktu, issu “cawe-cawe” ini meredup yang mungkin akan dilanjutkan dengan munculnya alat-alat tes lain untuk menduga, menaksir, dan memprediksi isi hati publik tentang apa yang sedang dan akan dilakukan, diputuskan, ataupun ditetapkan.

Dalam menggunakan alat “ngetes air” ini biasanya menggunakan pola yang berbeda, tergantung apa kasus yang dihadapi, tergantung skala dampak yang diperkirakan, tergantung sensitivitas isu yang akan diluncurkan, dan tergantung tingkatan pihak yang mengusung isu tersebut. Namun pola umumnya adalah melemparkan isu ke masyarakat melalui media, kemudian menunggu reaksi masyarakat yang akan merespons isu melalui berbagai saluran media termasuk tentunya melalui media sosial. Jika isu ditanggapi positif atau setidaknya reaksinya tidak massif dan diperkirakan bisa diatasi, maka tinggal menindaklanjutinya. Namun jika isu ditanggapi negatif, ditolak secara massif dan dengan intensitas tinggi pula, maka mungkin rencana bisa dibatalkan atau setidaknya ditunda dan dimodifikasi. Pihak yang melempar isu tidak mesti pihak yang berkepentingan atau yang punya hajatan, dengan demikian jika reaksi masyarakat aman dan baik-baik saja, maka “pemilik hajat” tinggal mengeksekusinya dengan leluasa, namun jika reaksi publik cukup keras, maka pihak yang punya kepentingan tinggal mengelak dan “cuci tangan”. Ungkapan “siapa yang bilang?”, “saya tidak bilang begitu!”, “kok tanya saya”, “tanya saja sama orang yang ngomong!” adalah beberapa contoh cara mengelak yang efektif jika seandainya ada reaksi keras yang muncul.

Untuk kasus “upaya kudeta” terhadap salah satu partai dengan menggunakan isu ”legitimasi” mungkin saja merupakan “test the water” yang untuk sementara dianggap tidak berhasil, meskipun ada gejala akan mengulanginya kembali meskipun mungkin dengan format yang dimodifikasi, namun tetap dengan tujuan yang sama untuk mendongkel sang ketua umum. Setidaknya hal tersebut tergambar dari berita-berita yang beredar melalui berbagai media, baik elektronik, cetak, media online, maupun media sosial. Upaya yang sama kelihatannya akan dicobakan ke partai lain jika “uji coba” ini berhasil dijalankan.

Kasus formula E yang sampai sekarang masih jadi perbincangan hangat patut juga diduga sebagai permainan “ngetes air” atau “ngetes gelombang”. Berbagai komentar bersilewaran dan saling bertentangan di seputar formula E tersebut. Mungkin alat tes yang dimainkan cukup banyak dan dengan penanda yang berbeda-beda pula, sehingga gelombang yang datang juga menjadi berubah-ubah, kadang angin lembut yang berhembus, sehingga laut terasa tenang dengan terpaan angin semilir yang menenangkan hati ditambah dengan udara yang sejuk menyegarkan, tapi bisa saja tiba-tiba muncul gelombang besar seperti akan menggulung dan mengombang-ambingkan perahu yang tadinya melaju dengan nyaman, namun gelombang besar bisa segera berganti dengan riak kecil yang sekedar memberi sensasi menggairahkan bagi penumpang dan nakhodanya.

Entah alat tes mana yang valid dan sungguh-sungguh menggambarkan suasana laut yang sebenarnya, entah pula alat tesnya tidak bisa lagi digunakan karena mungkin gelombangnya tidak lagi natural, tetapi sudah menjadi gelombang hasil rekayasa yang intensitasnya bisa dibuat sesuai kehendak hati para perekayasanya. Pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemanfaatan isu formula E ini juga kelihatannya saling melakukan “cek ombak” untuk memprediksi sebesar apa yang akan dilakukan oleh masing-masing fihak dalam memanfaatkan isu di seputar formula E ini.

Kita juga disuguhkan permainan “tes ombak” terhadap upaya berbagai pihak untuk pemberlakuan sistem pemilu proporsional tertutup, sementara banyak pihak lainnya yang ingin mempertahankan sistem pemilu proporsional terbuka. Adu alat tes ini terasa betul getarannya yang berakhir dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi untuk tetap memberlakukan sistem proporsional terbuka, setelah sebelumnya muncul alat tes yang selain berfungsi mendeteksi gelombang tapi juga mampu menimbulkan gelombang dengan daya getar yang besar yang membuat perahu dan kapal besarpun akhirnya berpikir untuk terus berlayar. Alat tes ini justru menjadi semacam alat getar yang digerakkan nun jauh dari belahan Benua Australia sana yang secara langsung ataupun tidak langsung, diduga erat kaitannya dengan keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi untuk tetap menggunakan sistem proporsioanal terbuka tersebut.

Tes gelombang yang sampai sekarang masih terasa adalah persoalan stadion JIS. Persoalannya bukan lagi sekedar rumput, jalur masuk bus pemain, dan parkir, tetapi sudah menjalar ke wacana pembentukan pansus entah maksudnya panitia khusus atau panjat khusus yang merupakan modifikasi dari pansos atau panjat sosial untuk menaikkan popolaritas. Namun rupanya tes gelombang tersebut bersambut dengan tes gelombang lainnya yang meminta adanya pansus juga untuk mandalika, kereta cepat, kertajati, tol, subsidi kenderaan listrik, korupsi, BTS, sampai kepada meroketnya uang negara. Bagus juga mungkin jika dibuat juga pansus untuk pengelolaan ibadah haji, undang-undang Cipta Kerja, undang-undang Kesehatan, kasus Coldplay, Panji Gumilang dengan Az Zaytun-nya, serta rencana akan dilaksanakannya perhelatan LGBT di Jakarta. Mungkin bisa juga jika sekalian dibuat pansus untuk kasus Harun Masiku, kasus Juriadi Batubara, serta kasus e-KTP yang sampai sekarang masih menyisakan nama-nama yang muncul di pengadilan tai tak tersentuh.

Kita juga pernah disuguhkan permainan test the water ini untuk berbagai kasus mengenai rencana-rencana yang ingin dimplementasikan tetapi mungkin karena ombak tidak bersahabat, akhirnya banyak di antaranya yang sampai sekarang tidak direalisasi. Kita pernah tahu bahwa ada pihak yang ingin menghilangkan kolom agama dalam KTP, tapi sampai sekarang tidak terwujud karena bisa jadi disebabkan masyarakat menolaknya dan sempat dibuat resah saat ide tersebut dilontarkan. Ide penghapusan aturan pendirian rumah ibadah juga pernah dilemparkan dulu oleh salah seorang anggota tim pemenangan pasangan calon tertentu, namun ide ini tidak bersambut dan gagal, karena terlalu sensitif memunculkan pro-kontra yang tajam.

Sebelumnya juga pernah ada pemberitaan tentang ide penghapusan Kementerian Agama dan diganti dengan Kementerian Wakaf, Haji, dan Zakat. Ini juga dianggap sekedar “ngetes air” dan tidak berlanjut karena masyarakat tidak setuju dan memunculkan reaksi keras dari berbagai kalangan. Ide pengaturan doa di sekolah negeri agar tak didominasi agama tertentu juga pernah digulirkan, namun ide ini juga tidak berlanjut dan gagal karena diprotes masyarakat luas.

Sebetulnya masih banyak cara-cara testing the water ini yang telah dilakukan selama ini oleh berbagai pihak, ke depannya tentu cara-cara seperti ini pasti akan masih banyak ditemui. Masyarakat diharapkan terus bisa bersikap kritis dengan menggunakan akal sehat, agar terus memberikan reaksi apabila dirasakan kebijakan, keputusan, sikap, tindakan, program, dan kegiatan yang akan dilaksanakan merugikan masyarakat secara keseluruhan, ada agenda tersembunyi untuk kepentingan sekelompok atau segolongan masyarakat tertentu, atau mungkin hanya sekedar kepentingan orang-orang tertentu yang bersembunyi di balik rencana kebijakan, keputusan, program, atau tindakan yang seakan-akan sah, legal, dan resmi.

Meskipun sesungguhnya, “test the water” tersebut tidak salah, sepanjang apa yang akan “digoalkan” adalah untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan, tidak ada peraturan dan perundang-undangan yang dilanggar, serta tidak melanggar etika dan kepatutan. Jadi silahkan “cek ombak” terlebih dahulu sebelum berlayar, silahkan kasih dulu “umpan tipis” apakah lubuk tersebut mengandung ikan yang banyak atau hanya sekedar ikan kecil yang tak berharga. Tapi harapannya, jangan rusak tempat orang memancing, jangan keruhkan airnya, dan jangan singkirkan nelayan lain untuk bisa memancing sendirian agar mendapatkan ikan yang banyak bagi diri sendiri. Maaf, tulisan hanya tulisan biasa, bukan “testing the water!!!” [mc]

*Zulkarnain Lubis, Ketua Program Doktor Ilmu Pertanian UMA dan Rektor IB IT&B ; Ketua Dewan Penasehat DPW Jarnas ABW Provinsi Sumut.

Terpopuler

To Top