Analisa

Fikh tentang Ghanimahmu Mungkin Keliru

Nusantarakini.com, Jakarta –

Ghanimah itu adalah harta rampasan perang. Tentang hal ini, Islam mengaturnya dengan baik sekali. Sebab kalau tidak diatur, bisa jadi masalah.

Masalah pertama, bisa soal status. Nanti orang seenaknya dikit-dikit, bilang ghanimah. Padahal nggak ada status perang dengan orang kafir harbi. Merampok, dibilangnya ghanimah, untuk membenarkan perampokannya. Kedua, kalau tidak diatur, orang yang merebut ghanimah, bisa sesuka-sukanya. Dia ambil sendiri, yang lain nggak dapat, bisa kejadian.

Nah, kita di Indonesia, ada satu kesulitan soal ghanimah ini. Satu sisi, orang percaya dengan keadilan Islam untuk mengatur hukum fikih. Sisi lain, orang banyak juga latah bikin dalih sendiri soal ghanimah.

Satu ketika, adalah orang yang berkata, pokoknya Pilpres ini kita harus ikut ambil bagian tim sukses. Katanya kepada anggota kelompoknya. Supaya kita dapat ghanimah. Lanjutnya dengan penuh percaya diri bahwa idenya disokong ketentuan syariat.

Lain lagi kasus kedua. Seseorang ikut dalam suatu periode pemerintahan. Diam-diam dia menganggap APBN dan hartq koruptor yang beda agama dengannya sebagai sasaran ghanimah. Maka pabila tersedia kesempatan baginya untuk mengambil harta yang dianggapnya ghanimah itu, dengan yakinnya dia menyikatnya sebagai ghanimah. Tapi lucunya, ketika harta itu telah diperolehnya, dia tak membaginya. Harta itu jadi miliknya sendiri. Ghanimah kok tidak dibagi. Ini ghanimah apa curian.

Maka disini kita perlu clearkan apa itu ghanimah, kapan ghanimah terjadi sebagai hukum fikih, dan apa syaratnya, lalu bagaimana pembagiannya.

Pertama yang perlu dipahami, ghanimah ada akibat ada perang. Perang apa? Perang antara orang yang Muslim dengan orang kafir. Tujuan perang ialah mempertahankan dan memenangkan akidah Islam. Bukan sembarang perang. Apalagi seenaknya saja diam-diam bayangkan perang dengan orang China atau orang non Muslim. Padahal tidak ada komando perang. Perasaannya sendiri ada perang. Padahal tidak. Ini pun harus ada fatwa dan komando perang dari seorang imam kaum muslimin yang diakui dan diikuti secara sah dan meyakinkan. Lha, jangan ujuk-ujuk perang, dan ujuk-ujuk ghanimahan.

Maka di sinilah membawa kita kepada perkara urgen..gen..gen: yaitu pentingnya adanya imam bagi kaum muslimin. Imam ini bisa orang, bisa juga institusi. Tapi tentu di dalam institusi, individu imam tentu ada.

Sampai hari ini, kaum muslimin di Indonesia, kosong imamnya. Sehingga tiadalah ketertiban dan kesatuan agenda dan gerak pada kaum muslimin. Masing-masing bikin agenda dan geraknya sendiri. Intinya, tanpa ada perintah perang dari seorang imam yang diakui oleh kaum muslimin, maka tentu tak ada ghonimahan. Maka jangan coba-coba bilang hartamu diperoleh dari ghanimah.

Jikalau ada imam, maka perkara ghanimah yang acak-adut pemahamannya di lapangan itu, bakal nggak kejadian. Jika ada imam, maka dia dapat mengeluarkan ketentuan tentang perang, perang dengan siapa, dan oleh siapa dan dimana. Jika ada imam, maka orang tidak sembarang lagi kasi pendapat ini ghanimah, itu ghanimah. Padahal dinikmati sendiri, jadi milik pribadi. Jika ada imam, dia bisa kasi pembagian ghanimah dengan adil dan benar. Berapa buat pasukan yang pakai kendaraan, berapa bagi pasukan yang hanya pakai jalan kaki. Dan khumus diserahkan ke mana.

Jadinya, nggak ada yang kaya sendirian mendadak. Semua petempur bisa hidup makmur.

Jadi…daripada mikirin ghanimah, musti dibereskan dulu urusan pra syaratnya: menegakkan institusi pemimpin atau imam bagi nasib dan urusan kaum muslimin.

 

 

~ John Mortir

 

Terpopuler

To Top