Analisa

Air Keras Novel Baswedan dan Derasnya Pelemahan KPK

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Saya sedang bersuka-cita dan berbalas pesan dengan Profesor Saldi Isra, yang kemarin dilantik menjadi hakim konstitusi, ketika kabar duka itu datang. Novel Baswedan, salah satu penyidik terbaik KPK, dan Ketua Wadah Pegawai KPK, disiram air keras di mukanya.

Kita sama mafhum, ini bukan teror pertama bagi Novel. Dia telah berbilang kali diintimidasi, dikriminalisasi dan disakiti. Satu yang pasti, serangan kepada Novel bukanlah hantaman pada pribadi. Tetapi gempuran pada KPK sebagai institusi. Novel adalah ikon perjuangan KPK. Menyerang Novel adalah menyerang KPK. Menyerang kita yang mendambakan Indonesia lebih bersih dari korupsi.

Maka, jawaban atas serangan itu hanya satu: penguatan KPK. Segala upaya pelemahan KPK harus dihentikan. KPK tidak boleh menjadi almarhum. Sebagaimana banyak lembaga antikorupsi sebelumnya yang hidup hanya untuk mati. Ambil contoh Tim Pemberantasan Korupsi yang hanya berumur tiga tahun (1967–1970); Komisi Empat yang hanya berumur emat bulan (1970); dan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang juga berumur kurang dari satu tahun (2000-2001).

KPK adalah satu-satunya lembaga antikorupsi dalam sejarah republik ini yang hidupnya mampu melewati usia balita. Jika dihitung sejak UU-nya lahir pada 27 Desember 2002, maka KPK hampir menginjak usia lima belas tahun. Usia yang harus diupayakan terus langgeng, sekaligus menolak argumen menyesatkan yang menyatakan KPK adalah lembaga ad hoc. Faktanya, tidak ada satupun pasal dalam UU KPK yang menyatakan bahwa ia adalah lembaga sementara.

Sebaliknya, KPK harus dikuatkan dan ditingkatkan menjadi organ konstitusi (constitutional organ), yaitu lembaga negara yang eksistensi dan kewenangannya diatur dalam UUD 1945. Soal ini Indonesia sudah ketinggalan kereta. Saat ini paling tidak ada tiga puluh negara yang telah mengatur lembaga antikorupsinya di dalam konstitusi. Bahkan di antara sembilan negara ASEAN yang memiliki lembaga antikorupsi—hanya Myanmar yang belum mempunyai—Indonesia adalah satu-satunya negara yang Anti-Corruption Commission-nya tidak diatur dalam UUD.

Dengan menjadi organ konstitusi, dasar hukum KPK menjadi lebih kuat. Terbukti jika hanya berdasarkan UU saja, eksistensi dan kewenangan KPK selalu saja digoyang melalui modus revisi UU KPK (legislative review). Materi revisi itu selalu berkutat dengan keinginan menghilangkan kewenangan penuntutan, membatasi penyadapan, dan penguatan pengawasan. Padahal, dalam hampir dua puluh kali pengujian konstitusionalitas (constitutional review), MK telah berulang kali menegaskan bahwa kewenangan-kewenangan strategis tersebut dan keberadaan KPK tidaklah bertentangan dengan UUD 1945, dan justru diperlukan untuk memberantas korupsi secara luar biasa.

Mengangkat derajat KPK menjadi organ konstitusi sekaligus menjadi benteng pertahanan dari serangan bermodus revisi UU di DPR (legislative review) ataupun uji materi UUD di MK (constitutional review). Karena, dengan menjadi materi UUD 1945, KPK hanya dapat direview eksistensi dan kewenangannya melalui forum di MPR.

Selanjutnya, penguatan dan pembentengan KPK harus dilakukan dengan mengadopsi konsep imunitas terbatas bagi pimpinan dan pegawai KPK. Kita sudah sangat mafhum bahwa modus operandi serangan KPK yang lain adalah kriminalisasi. Chandra Hamzah, Bibit Samad Riyanto, Abraham Samad, Bambang Widjojanto adalah beberapa contoh komisioner KPK yang pernah dikriminalisasi. Novel Baswedan adalah contoh pegawai yang berbilang kali dikriminaliasi pada waktu dan kesempatan yang berbeda.

Beberapa anggota DPR menolak pemikiran imunitas terbatas ini, dan menyatakannya sebagai konsep yang tidak berdasar. Mereka agaknya lupa, bahwa konsep imunitas adalah hak yang melekat pada setiap anggota parlemen, dan menjadi perlindungan yang efektif bagi mereka dalam melaksanakan tugasnya. Konsep imunitas terbatas yang serupa ada pula dalam UU Ombudsman dan UU Lingkungan Hidup, sehingga melindungi komisioner Ombudsman dan aktivis lingkungan dalam menjalankan fungsi dan advokasinya. Tentu, dengan ancaman yang tidak kalah membahayakan, sudah sewajarnya jika komisioner dan pegawai KPK juga mendapatkan proteksi hukum yang sama dari serangan kriminalisasi.

Soal ancaman kriminalisasi tersebut bukan hanya dialami oleh KPK Indonesia, tetapi juga banyak lembaga antikorupsi lainnya di dunia, sehingga dalam deklarasi “Jakarta Principles” yang dihadiri berbagai Anti-Corruption Agencies pada November 2012, disepakati bahwa pimpinan dan pegawai lembaga antikorupsi perlu mendapatkan imunitas dari gugatan perdata ataupun ancaman pidana dalam melaksanakan tugasnya.

Penguatan KPK selanjutnya, sebagaimana organisasi pada umumnya adalah, jaminan ketersediaan anggaran dan kecukupan sumber daya manusia (SDM). Soal SDM, putusan MK terakhir atas UU KPK, yang menguatkan kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik independen, tentu harus diapresiasi. Soal kecukupan pendanaan, perlu ada formula yang lebih jelas tentang berapa alokasi anggaran yang dapat menjamin KPK dapat efektif melaksanakan tugasnya. Termasuk kecukupan dana untuk terus menyesuaikan besaran gaji pimpinan dan pegawai KPK, agar mereka tidak terbelit persoalan dan godaan ekonomi.

Saya paham betul, usulan penguatan di atas adalah yang seharusnya dilakukan, tetapi bukan berarti mudah direalisasikan. Upaya menjadikan KPK sebagai organ konstitusi, menghentikan revisi UU yang melemahkan KPK, memberikan hak imunitas kepada pimpinan dan pegawai KPK, serta menjamin sumber dana dan SDM KPK, kesemuanya membutuhkan komitmen politik antikorupsi pada jajaran eksekutif dan legislatif. Persoalannya, bersediakah kekuatan politik di lembaga kepresidenan dan parlemen menghadirkan KPK yang semakin kuat dan lebih garang membasmi tikus-tikus koruptor, yang tidak jarang adalah rekan sejawat dan kawan aliansi politik mereka sendiri?

Ataukah para koruptor telah berhasil mengkontaminasi agenda elit politik kita? Sehingga mereka sebenarnya telah menjelma menjadi air keras yang merusak-hitamkan wajah Novel Baswedan, serta mengoyak wajah Indonesia menjadi negara yang penuh dengan bopeng-bopeng hitam korupsi. Jika ternyata demikian, maka tidak ada pilihan lain, rakyat Indonesia yang harus melawan arus deras air keras koruptor itu. Kita sendiri yang harus menjadi Novel-Novel Baswedan, yang terus berjuang menghidupkan dan menguatkan KPK. Karena melalui KPK, kita berharap korupsi menghilang, dan Indonesia tetap ada. (mc)

*Denny Indramayu, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM; Profesor Tamu di Melbourne Law School dan Faculty of Arts University of Melbourne, Australia.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top