Analisa

Politisasi Bansos seperti Bau Busuk, Tidak Berwujud tapi Menyengat

Nusantarakini.com, Jakarta –

Mengkapitalisasi kondisi masyarakat miskin dengan bansos untuk menang di pemilu adalah cara culas yang efektif, sulit dibuktikan sebagai kecurangan pemilu terstruktur, sistematis dan masif (TSM), paradoks memang.

KPK Sarankan Penghentian Bansos Jelang Pilkada 2024

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyarankan penyetopan bansos 2 bulan sebelum Pilkada 2024 untuk menghindari politisasi. Hal ini dikhawatirkan dapat memicu penyalahgunaan bansos untuk kepentingan politik.

“Alangkah baiknya mungkin lewat perda atau apa pun supaya dua bulan sebelum pilkada enggak ada penyaluran bansos dan lain sebagainya. Setop itu. Khawatirnya itu tadi, dipolitisasi,” kata Alex saat peluncuran indikator Monitoring Center for Prevention (MCP) 2024 di Gedung Merah Putih KPK, Rabu sebagaimana dikutip dari Antara News.

Alex menegaskan bahwa hal itu untuk menghindari adanya pihak yang memanfaatkan bantuan sosial untuk berkampanye atau lebih biasa disebut dengan politisasi bansos.

“Kan enggak fair kalau petahana atau kerabatnya mencalonkan diri, kemudian melakukan kampanye dengan menggunakan bansos dan lain sebagainya,” ujarnya.

Alex juga mengungkapkan bahwa survei KPK yang menemukan bahwa lebih dari 90 persen masyarakat Indonesia memilih pemimpin berdasarkan faktor uang.

“Sesuai dengan survei KPK itu kan, preferensi masyarakat kita itu kan 90 berapa persen lebih gitu; kan menentukan pilihan wakilnya, pimpinannya, itu yang pertama faktor uang,” kata Alex.

Hanya sayangnya, survei itu belum dipublikasi secara umum oleh KPK hingga kini.

NAH, KOK RIBUTIN BANSOS DAN POLITIK, APAKAH POLITISASI BANSOS EFEKTIF MENDONGKRAK ELEKTABILITAS PESERTA PEMILU TERTENTU?
Kenyataannya memang sulit untuk mengukur dampak politisasi bansos di lapangan, kata Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebagaimana dikutip dari BBC.com.

Namun, kata Aisah, praktik semacam ini tetap berpotensi memengaruhi pilihan publik, terutama para pemilih bimbang atau undecided voters yang jumlahnya relatif besar.

Survei Litbang Kompas pada Desember 2023 menunjukkan, 28,7% responden masih belum menentukan pilihannya untuk pemilihan presiden kemarin. Tentu di bulan ini, kita semua sudah tahu hasil pemilu tersebut.

Sebanyak 40,3% dari seluruh pemilih bimbang itu berasal dari kelas menengah bawah, sementara 40% dari kelas bawah. Sisanya dari kelas menengah atas dan atas.

“Politisasi bansos ini kan perilaku politik yang tidak baru,” kata Aisah.

“Ketika itu terus direplikasi, artinya dia sebelumnya punya efek dalam memengaruhi perolehan suara atau masuknya dukungan baru dalam pemilu.”

Apalagi, sebagaimana kita ketahui, pada 2023 lalu dan awal 2024 ini Presiden Jokowi rajin menyalurkan bansos di berbagai daerah di Jawa Tengah, termasuk menyerahkan bantuan Program Indonesia Pintar di Blora dan bantuan Rp8 juta per hektare untuk petani gagal panen di Grobogan di Januari.

Menurut survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Desember 2023, elektabilitas pasangan capres Ganjar Pranowo dan cawapres Mahfud MD menyentuh 43,5% di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Sementara itu, elektabilitas Prabowo dan Gibran di sana tercatat hanya 36,5%.
“Ada tendensi untuk ‘menghapus’ jejak Ganjar di Jawa Tengah, dan kita tahu ada irisan antara pemilih PDI-P, pemilih Jokowi, dan pemilih Ganjar,” kata Aisah.

Bansos “Jokowi” Bisa Diasosiasikan dengan Gibran

Peneliti Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, mengatakan bantuan sosial (bansos) yang dibagikan pemerintah dalam masa pemilu dinilai memalukan.

Ini berita dari dari Bloomberg Technoz. Tentu link beritanya bisa kalian temukan di bagian deskripsi.

Belakangan, sejumlah tudingan mengemuka, menyebut politisasi bansos diduga menguntungkan salah satu paslon tertentu di pilpres 2024.

“Bansos politisasinya kuat dan itu sudah memalukan dengan cara paling telanjang. Skala norak-nya 10. Pelajaran besar pemilu kali ini, semoga tidak terulang dalam pemilu lainnya,” kata Firman saat dihubungi Bloomberg Technoz, Ahad, 4 Februari 2024.

Firman menyebut bansos yang dibagikan kepada masyarakat bukan hal yang baru karena sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi periode pertama sudah ada politisasi bansos.

Namun, politisasi bansos kali ini dinilai lebih vulgar karena sejumlah menteri Jokowi juga ikut membagikan bansos.

“Sehingga mengaburkan fasilitas negara mengatasnamakan individu. Ketika orang bilang Jokowi akan terasosiasikan dengan Gibran,” tuturnya.

Nah dari sini sebenarnya kita sudah bisa membangun pemahaman, hubungan bansos yang gencar dibagikan pemerintah dan kemenangan Prabowo-Gibran di pilpres lalu. Meski sulit untuk membuktikan kausalitasnya, apakah pemberian bansos membuat Prabowo-Gibran menang di Pilpres karena ada ada asosiasi Gibran dengan Jokowi?

Jangan-jangan untuk membuktikannya harus disurvei satu persatu kepada pemilih Prabowo-Gibran apakah mereka memilih paslon itu karena mendapat bansos dari pemerintah?

WOW, SURVEI LSI TEMUKAN PENERIMA BANSOS CENDERUNG PILIH PRABOWO
Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat masyarakat penerima bantuan sosial (bansos) pemerintah merupakan kelompok yang paling banyak mendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024.

Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan, menjelaskan dari 24 persen responden yang mengaku menerima bansos, sebanyak 69,3 persen di antaranya mendukung Prabowo-Gibran.

“Di kalangan yang menerima bansos yang 24 persen tadi, 69,3 persen mendukung 02. (Sebanyak) 17,6 persen mendukung 01 dan 13,1 mendukung pasangan 03,” kata Djayadi dalam pemaparan survei, Ahad, 25 Februari 2024 sebagaimana dikutip dari CNN Indonesia.

“Jadi di kalangan penerima bansos, dukungan paling banyak ada di pasangan 02,” imbuh dia.

Survei LSI ini diselenggarakan pada 19-21 Februari 2024. Pemilihan sampel dilakukan dengan metode random digit dialing.

Dengan metode itu, dipilih sebanyak 1.211 responden. Wawancara responden dilakukan lewat telepon. Margin of error survei sekitar 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Nah lo, jadi kembali ke berita di awal tentang KPK. Jika memang KPK menemukan kausalitas bansos diberikan dengan pilihan pada pemilu, kita sebagai masyarakat sipil tentunya mendukung imbauan KPK agar jelang pilkada nanti, November 2024, tidak ada pembagian bansos oleh siapapun.

Bisakah Politisasi Bansos Dibuktikan di MA?

Lalu bagaimana dengan dugaan kausalitas bansos dan pilihan ke Prabowo Gibran pada Pilpres lalu? Sebagaimana diketahui, paslon 01 dan 03, melalui tim hukum masing-masing juga menyinggung soal dugaan politisasi bansos dalam permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Deputi Hukum Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Todung Mulya, mengatakan dalam gugatannya, pihaknya meminta diskualifikasi atas paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka karena dinilai telah melanggar ketentuan hukum dan etika, di antaranya dengan merujuk hasil keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terkait pencalonan Gibran sebagai cawapres.

Selain soal itu, tim hukum paslon 03 ini juga meminta pemungutan suara ulang di seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia serta meminta pembatalan putusan KPU yang menetapkan duet Prabowo-Gibran sebagai pemenang pada Pilpres 2024.

“Kita saat ini berada di satu momen yang sangat menentukan ruang kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Kita mau membawa bangsa ini ke mana. Demokrasi itu penting, supremasi hukum itu penting, konstitusi itu penting, dan kita tidak ingin itu diinjak-injak, Kita tidak ingin itu dilanggar. Nah kita melihat asal muasal ini semua adalah nepotisme yang membuahkan abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan yang terkoordinasi,” kata Todung sebagaimana dikutip dari VOA Indonesia.

Masih dari VOA Indonesia, Todung mengatakan hal krusial sebenarnya adalah ketika kekuasaan mengintervensi para pemilih melalui politisasi dana bansos, kriminalisasi terhadap kepala desa dan intervensi dengan mendikte pemilih untuk mencoblos pasangan calon yang ditentukan.

Pakar hukum tata negara di Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai langkah yang dilakukan para tim paslon itu merupakan langkah konstitusional yang harus dilakukan dan prosesnya harus dikawal bersama sehingga bisa membuka fakta-fakta sebenarnya termasuk fakta hukum.

Meskipun demikian ia meminta semua pihak menyadari risiko dan tantangannya karena MK telah memiliki pakem dalam menguji sengketa kecurangan pemilu seperti ini.

“Biasanya mahkamah akan selalu menguji berapa pergeseran suara secara kuantitatif akibat terjadinya pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis dan masif) itu. Namun demikian saya masih menaruh harapan agar misalnya MK juga masuk ke tahap, mungkin yang bersifat kualitatif, tidak hanya secara kuantitatif artinya betul-betul bisa menilai sebagai suatu proses yang panjang. Segala dalil-dalil kecurangan itu harus dinilai sebagai suatu rangkaian peristiwa,” kata Charles.

Nah, apa akhirnya dari soal dugaan politisasi bansos ini? Bisakah survei LSI di atas yang menyebut 69,3 persen penerima bansos yang mereka survei mengaku memilih paslon 02, dijadikan bukti di MK akan telah terjadinya kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif?

Atau jika memang sulit memaparkan data eksakta, kita bisa merasakan ada yang tidak beres. Dalam bahasa Anies Baswedan setelah pengumuman KPU, 20 Maret kemarin, ada ketidaknormalan yang dirasakan.

Tidak Bisa Dibuktikan Bukan Berarti Tidak Ada Kecurangan

Jangan pernah meremehkan rasa, justru fakta seringkali kalah oleh rasa. Buktinya, kita masih memandang selebritas yang mencalonkan diri menjadi wakil rakyat adalah berkompeten.

Tanpa bermaksud merendahkahkan, dengan segala hormat ada calon anggota DPD dari sebuah provinsi yang minim berkampanye namun meraih suara 2 juta orang. Mengapa? Karena fotonya di kertas suara yang menarik perhatian.

Ketika mau membeli kecap merk Bango atau ABC, kita memilih kecap yang menurut ingatan emosional kita adalah lebih kita sukai. Lalu kita menganggap rasanya lebih manis, padahal semua kecap adalah manis.

Sama seperti ketika kita membeli polis asuransi, jangan-jangan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor emosional atau rasa, karena agen asuransinya adalah saudara, tetangga, teman kuliah, dan sebagainya.

Pada 2009 terbit Buku How We Decide karya Jonah Lehrer. Jonah sang jurnalis dan intelektual menjelaskan bahwa emosi memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan manusia.

Jonah Lehrer menantang gagasan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang selalu membuat keputusan berdasarkan logika dan informasi yang tersedia.

Untuk memudahkan teman-teman, dengan bantuan Google Gemini, berikut beberapa poin penting dari buku ini:

Dua Sistem Pengambilan Keputusan:

Lehrer mengemukakan bahwa otak manusia memiliki dua sistem pengambilan keputusan:

Sistem 1: Cepat, intuitif, dan emosional.
Sistem 2: Lambat, deliberatif, dan logis.

Pengaruh Emosi: Emosi dapat memengaruhi pengambilan keputusan dalam berbagai cara, seperti:
Heuristik: Kita sering menggunakan aturan praktis (heuristics) untuk membuat keputusan cepat, yang terkadang dapat bias oleh emosi.
Framing: Cara informasi disajikan (framing) dapat memengaruhi pilihan yang kita buat.
Emosi dan Intuisi: Intuisi, yang sering didorong oleh emosi, dapat membantu kita membuat keputusan yang tepat dalam situasi yang kompleks.

Makanya kita pun mengenal istilah tacit knowledge, seorang penjual nasi goreng yang telah berdagang lebih dari 20 tahun mengandalkan intuisinya dalam memasak nasi goreng, sehingga rasanya enak dan nasi gorengnya menjadi legenda.

Juga karena rasa, emosi, ada paslon di pilpres kemarin yang mengandalkan imaji menggemaskan, dengan materi alat peraga kampanye bergambar kartun, mengkapitalisasi istilah gemoy, untuk meraih dukungan rakyat.

Apa jadinya, jika pemimpin, yang akan mengambil banyak keputusan penting untuk hidup rakyatnya, dipilih berdasarkan rasa menggemaskan yang didukung oleh motif transaksional, karena telah memberi bansos?

Lalu apa yang harus kita lakukan? Setidaknya kita tidak berada di pihak yang melakukan dugaan kecurangan itu, mendukung atau membelanya, atau yang diam atas dugaan kecurangan pemilu 2024. Mungkin bagi pelaku kecurangan, sebenarnya hidup mereka senantiasa gelisah seperti para pencuri, meskipun mereka belum tertangkap. [mc]

*Ibrahim Aji, Content Creator.

Sumber:
•https://www.antaranews.com/berita/4020297/kpk-sarankan-pembagian-bansos-disetop-jelang-pilkada-2024
•https://www.bbc.com/indonesia/articles/cpw7enedn39o
•https://www.bloombergtechnoz.com/detail-news/28798/politisasi-bansos-dinilai-makin-vulgar-dan-patut-diawasi-bersama
•https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240225160140-617-1067083/survei-lsi-penerima-bansos-mayoritas-dukung-prabowo-gibran
•https://www.voaindonesia.com/a/resmi-tim-hukum-ganjar-mahfud-ajukan-gugatan-pilpres-ke-mk/7540379.html

Terpopuler

To Top