Warkop-98

Pilpres 2024: Menerima Takdir, Menolak Perilaku Culas

Nusantarakini.com, New York –

Dalam beberapa tulisan lalu saya telah sampaikan bahwa takdir itu pasti terjadi. Itu sudah menjadi bagian dari otoritas (kuasa) Allah yang mutlak. Ketika Allah menentukan tak siapapun yang akan dan mampu menolaknya. Keputusan itu juga seringkali tidak dipahami oleh manusia, bahkan tidak jarang bertentangan dengan pertimbangan rasio dan akal biasa manusia.

Lebih jauh, takdir atau keputusan langit (Allah) itu tidak jarang justru bertentangan dengan “keinginan dan kalkulasi” kemanusiaan. Bahkan tidak mustahil justeru nampak seperti merusak apa yang kita anggap baik. Tapi sekali lagi, itulah yang namanya takdir. Keputusan yang berdasar kepada kuasa dan ilmuNya Allah yang tiada batas.

Sejak diunggulkannya pasangan Prabowo-Gibran atas dua paslon lainnya dalam pilpres lalu, dan dengan ditemukannya berbagai kecurangan dan cawe-cawe Presiden Jokowi, bahkan melibatkan praktik nepotis dalam penetapan anak Presiden jadi cawapres. Semua itu telah menimbulkan berbagai protes masif, baik di jalanan maupun di ruang-ruang persidangan, termasuk di Mahkamah Konstitusi (MK). Protes-protes itu oleh sebagian yang biasa nyinyir ditanggapi seolah menentang takdir. Sebuah tuduhan keji untuk menutupi kekejian dan kejahatan yang dipertontonkan secara terbuka selama ini.

Realita yang terjadi dalam hidup manusia memang tidak lepas dari “qadar dan qadha” (kalkulasi dan kuasa serta keputusan Allah). Itu bukan masalah. Semua orang yang beriman pastinya akan tunduk padanya. Bukankah itu memang bagian dari fondasi keimanan?

Ketentuan siapa yang diberikan Kekuasaan dan siapa yang darinya kekuasaan dicabut itu juga bagian dari keyakinan qadar. “Katakan, Wahai Engkau yang memiliki kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan itu kepada siapa yang Engkau kehendaki. Dan Engkau cabut kekuasaan itu dari siapa yang Engkau kehendaki”. Ini keyakinan yang tak akan dipertanyakan lagi.

Dari zaman dulu pun saya yakin jika Allah bisa memberikan kekuasaan kepada Namrud, dan bukan kepada Ibrahim. Kepada para pembesar zamannya dan bukan kepada Nuh. Kepada Fir’aun dan bukan kepada Musa. Tapi juga Allah memberikan kekuasaan itu kepada Daud dan anaknya, Sulaeman. Juga pada zamannya di Mekah, kekuasaan itu diberikan kepada kaum musyrik bukan kepada Muhammad dan pengikutnya. Namun di Madinah Allah berikan kepada Muhammad SAW, bukan pada Yahudi.

Semua itu menjelaskan sejelas-jelasnya bahwa kekuasaan bisa diberikan kepada mereka yang baik (orang-orang saleh) atau sebaliknya bisa juga diberikan kepada mereka yang buruk bahkan jahat. Itu tidak mengejutkan. Sejarah mencatat dan Al-Qur’an menegaskan. Fir’aun, Tsamud, Kaum ‘Aad, hingga di zaman kini banyak contoh orang-orang jahat yang justeru diberikan kekuasaan. Sekali lagi masalahnya bukan di situ.

Justru yang menjadi pertanyaan mendasar adalah proses-proses yang terjadi sehingga kekuasaan itu didapatkan. Sebagaimana tabiat kehidupan manusia secara menyeluruh, yang menentukan bukan bagaimana warna dan bentuk hasilnya. Tapi lebih kepada bagaimana “proses-proses” yang terjadi sebelum hasil itu ternampakkan di depan mata.

Karenanya kembali kepada realita pilpres lalu, iya hasil diterima sebagai bagian dari penerimaan ketentuan Allah (Qadar). Tapi proses-proses kecurangan dan manipulasi yang telah pertontonkan secara tanpa malu tidak akan diterima dan tidak akan ridho. Itu adalah adalah posisi yang tak akan tergoyahkan.

 

Dugaan terjadinya kecurangan Pilpres 2024 secara terstruktur, sistematis dan masif yang dilakukan Paslon 02 banyak direspon dengan aksi demonstrasi saat sidang PHPU sengketa Pilpres di seputaran Gedung Mahkamah Konstitusi. (Foto: Istimewa)

Anies-Muhaimin maupun Ganjar-Mahfud dan semua pendukungnya menerima takdir itu. Tapi jangan pernah “salah menilai” bahwa berbagai perilaku culas dan kecurangan yang terjadi itu akan diterima secara logowo. Sesungguhnya perlawanan kepada “keburukan” (dalam bahasa Inggris disebut evils atau syetan) itu bersifat abadi. “Dan sesungguhnya kami katakan: turunlah kalian dari syurga dalam keadaan saling bermusuhan (ba’dhukum liba’dh ‘afuwwun).”

Untuk itu saya termasuk yang menghimbau dan menyerukan gerakan “resistensi” kepada kecurangan dan keculasan itu. Semua ini menjadi bagian dari agenda perubahan yang digulirkan selama ini oleh Anies Rasyid Baswedan. Agenda yang tentunya tidak terhenti dengan usainya pilpres itu. Pilpres itu agenda lima tahunan. Sementara perubahan adalah agenda kehidupan yang abadi.

Teruslah bergerak menentang kecurangan dan keculasan dengan terus menerus menyeru kepada yang baik dan melarang dari kemungkaran. Ini amanah kebangsaan sekaligus amanah keislaman dalam “amar ma’ruf nahi mungkar.” Semoga! [mc]

Subway NYC, 23 April 2024.

*Shamsi Ali Al-Kajangi, Diaspora Indonesia di Amerika Serikat.

Terpopuler

To Top