Satire

Politik Semakin Acakadut, Semua Karena Jokowi?

Politik acakadut tidak boleh terjadi. Jokowi harus dihentikan. Jokowi itu biang dari kekacauan. Tidak menghargai moral, etika dan hukum. Apa beda Jokowi dengan Fir’aun, Hitler, Mussolini, Lenin dan Mao Tse Tung? Jika ia tetap nekad untuk seenaknya dalam memimpin negara, maka Jokowi berada dalam rumpun yang sama.

Nusantarakini.com, Bandung –

Setelah deklarasi Jokowi yang siap memihak dan beralasan itu adalah hak warga negara, maka iklim politik terasa semakin acakadut. Di belakang Jokowi berdiri bak “ajudan,” Prabowo Subianto. Halim menjadi tempat “deklarasi” politik acakadut yang mengingatkan bahwa tempat ini dahulu pernah menjadi “pangkalan” PKI, tempat penyiksaan Jenderal dan Lubang Buaya.

Deklarasi Halim ternyata dikritisi banyak pihak, bagaimana bisa seorang Presiden secara vulgar memihak dan mendukung satu paslon dengan alasan sebagai hak politik. Ia lupa ketika menjadi Presiden maka ia adalah Presiden Republik Indonesia. Pemimpin semua rakyat termasuk pemimpin ketiga Capres. Bukan Presiden Capres Cawapres nomor urut 2. Apalagi cuma Presidennya si Gibran sang anak.

Bila mau bebas berpolitik, mendukung, memihak, menjilat atau merangkul bahkan merekayasa dan memelintir, maka tanggalkan dulu baju Presidennya. Menjadi warga negara biasa yang bebas dan berada dalam semau-mau kubu atau kutub. Jika berbaju Presiden maka Jokowi tidak bisa berbuat seenaknya. Ada moral, etika dan hukum yang membatasi dan mengatur.

Presiden yang bebas memihak dan berkampanye disusul pernyataan bahwa Menteri juga boleh, maka lanjutannya adalah Kepala Daerah hingga Kepala Desa, ASN, Polisi dan TNI bebas pula. Betapa acakadutnya negara pimpinan Jokowi ini. Fasilitas negara digunakan untuk kepentingan pribadi. Membuka peluang untuk terjadinya desintegrasi dan kerusuhan politik.

Main bola tanpa wasit akan membuat pemain saling sikut dan tendang, penonton bebas turun mendukung. Memukul dan ikut menendang pula. Sepakbola acakadut.

Politik acakadut tidak boleh terjadi. Jokowi harus dihentikan. Jokowi itu biang dari kekacauan. Tidak menghargai moral, etika dan hukum. Apa beda Jokowi dengan Fir’aun, Hitler, Mussolini, Lenin dan Mao Tse Tung? Jika ia tetap nekad untuk seenaknya dalam memimpin negara, maka Jokowi berada dalam rumpun yang sama.

Awalnya Jokowi bilang akan netral, eh ujungnya terjun langsung dukung anak. Dalam agama itu munafik namanya. Pagi dan sore beda. Dalam Hadits Bukhori, tiga ciri munafik nampaknya ada pada Jokowi, yaitu bila ngomong pasti bohong (idza hadatsa kadzab), jika berjanji maka ingkar (idza wa’ada akhlaf) dan jika diberi amanat khianat (idza tu-mina khoona). Pemimpin munafik tidak boleh ditoleransi. Stop sampai sini.

Kepemimpinan di bawah perilaku munafik akan kacau alias acakadut. Esensinya adalah rakyat yang selalu dibohongi atau ditipu oleh pemimpin. Jokowi menjadi contoh penipu dan pembohong. Setelah berbohong soal putera yang tidak tertarik politik, kemudian menipu rakyat dengan Putusan MK berstempel “sayang anak,” mengkhianati sumpah, serta berwajah “negara adalah aku,” maka perlawanan harus dilakukan lebih masif dan massal.

Pembangkangan sosial, politik, budaya dan keagamaan dapat menjadi penekan sekaligus penyelamatan atas penyanderaan birokrasi, TNI dan Polisi, politisi dan akademisi oleh Jokowi. Jokowi sudah melanggar sekurangnya Tap MPR No VI tahun 2001, Pasal 7A UUD 1945 dan Pasal 9 ayat (1) UUD 1945.

Pelanggaran fatal ini menjadi dasar Jokowi harus segera dimakzulkan. Menunda berarti membiarkan terjadinya pembusukan dan peracunan demokrasi. Indonesia terus menerus berantakan atau acakadut berada di bawah sepatu Jokowi.

Cuma omon-omon atau cuap-cuap saja Pemilu itu bersih, jujur dan adil selama masih ada Jokowi. [mc]

Bandung, 27 Januari 2024.

*M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Terpopuler

To Top