Analisa

Makan Malam Imajinatif Anies Baswedan

“Kalau ada yang melakukan/menyampaikan kata-kata yang kasar, itu bukan masalah saya. Tapi masalahnya sendiri. Dia sedang menghadapi masalah. Mungkin hanya mengekspresikan kepada saya. Karenanya jangan dihadapi dengan cara yang sama. Karena itu artinya saya memposisikan diri pada posisinya yang memang sedang bermasalah.”

Nusantarakini.com, Manhattan City – 

Tulisan ini masih berkisar diskusi Capres Anies Baswedan (ABW) di FPCI  (Foreign Policy Community of Indonesia) dua hari lalu. Saya tertarik membahasnya karena selain memang menjadi “passion” saya sebagai diaspora Indonesia di luar negeri juga karena diskusi itu walaupun nampak sangat spontan tapi penuh makna. Baik dalam pemaparan maupun jawaban-jawaban yang disampaikan oleh Anies menggambarkan penguasaan masalah, sekaligus koneksi batin (spiritual) Anies dalam misi yang dijalankannya.

Kali ini saya akan menuliskan hikmah dan makna strategi yang saya pahami dari jawaban Anies tentang pertanyaan “makan malam.” Seorang anak muda bertanya kepadanya: “Kalau nanti terpilih jadi Presiden dan sekiranya Anies ingin mengundang tamu-tamu agung untuk makan malam, siapa gerangan tiga tamu Istimewa yang akan diundang?”

Oleh sang penanya ditambahkan bahwa jawaban boleh bersifat faktual. Tapi boleh juga sifatnya imajinatif. Bisa menyebutnya tiga nama orang yang masih hidup. Tapi boleh juga menyebut nama tokoh-tokoh agung yang telah tiada.

Anies sebagaimana lazimnya tidak berpikir panjang. Satu kelebihannya seolah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan spontan itu telah dipersiapkan secara matang. Sekali lagi, menjadi bukti kematangan wawasan, ketajaman berpikir dan kedalaman intelektualitas, serta ketinggian intelijensial baik pikiran maupun spiritual emotional.

Pertanyaan ini mungkin bagi banyak orang hal biasa (ordinary). Tapi jika didalami dan dire nunggu kita akan temukan makna-makna yang extraordinary (luar biasa). Dalam jawabannya Anies menyebut tiga tamu Agung yang akan diundang makan malam (imaginary dinner) olehnya: Nabi Muhammad SAW, Nelson Mandela, dan Mahatma Gandhi.

Mungkin ada yang bertanya kenapa ketiga orang ini? Atau mungkin juga ada yang mempertanyakan kenapa bukan tokoh dalam negeri seperti Bung Karno, Bung Hatta, Habibie atau Gus Dur?

Jawabannya karena Anies sadar jika forum itu adalah forum yang membahas isu-isu dunia global. Hal ini sekaligus menggambarkan jika Anies memiliki tingkatan “hikmah” (wisdom) yang tinggi, yang mampu menyampaikan kata-kata yang sesuai konteks dan sikonnya. Mungkin dalam bahasa Arabnya: “likulli maqaal maqaam” (setiap ucapan ada tempatnya).

Tamu Agung yang pertama undangan Anies adalah Nabi Muhammad SAW. Pilihan ini bukan pilihan sembarangan. Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah. Tapi juga sosok manusia, pemimpin dan “role model” (tauladan) yang terbaik. Pengakuan akan kehebatan Muhammad SAW tidak saja dari mereka yang menjadi pengikutnya. Bahkan mereka yang tidak mengimaninya sekalipun (lihat misalnya buku Michael Chart: 100 Tokoh Paling Berpengaruh).

Saya memandang pilihan ini sangat menggambarkan kemurnian Iman dan Islam. Bukan Islam yang hilang tumbuh sesuai musim. Di musim politik tumbuh keislaman itu dengan berbagai simbol. Bahkan rajin mengunjungi pondok-pondok pesantren. Tapi di musim lain Islam itu hanya kenangan.

Dengan jawaban ini pula Anies tidak pernah ragu untuk mengekspresikan kebanggaannya sebagai seorang Muslim, bahkan mungkin saja di forum-forum yang tidak ekslusif Muslim. Tapi itulah gambaran seorang Mukmin: “wa qaala innani minal Muslimin.”

Selain gambaran keagamaan (Iman dan Islam) pilihan ini juga menggambarkan visi perjuangan ke arah perubahan. Sejarah Rasulullah SAW memang berpusar pada perubahan itu. Dimulai dari IQRA’ (wawasan luas) hingga kepada langkah perjuangan dengan keistiqamahan, beliau mewujudkan perubahan itu. Realita ini yang biasa diekspresikan dalam bahasa agama: “dari kegelapan kepada cahaya” (minaz zhulumat ilan nuur).

Kata perubahan ini menjadi inti dari perjuangan paslon Amin. Perubahan ke arah yang lebih baik. Dari keadaan yang saya yakin banyak yang setuju jika bangsa dan negara ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Hampir dalam segala lini kehidupan. Dari perekonomian, kehidupan sosial, hingga ke hukum dan perpolitikan. Perlu tekad perubahan itu.

Tamu agung kedua yang secara imajinary akan diundang oleh Anies adalah Nelson Mandela. Beliau adalah pejuang HAM dan kesetaraan manusia Afrika Selatan. Yang setelah melalui ragam ujian dalam hidup berhasil membebaskan bangsanya dari sistem apartheid ketika itu. Beliaupun sempat menduduki posisi kepresidenan dan menjadi pemimpin yang diidolakan, tidak saja oleh bangsa Afrika, tapi dunia.

Anies adalah pejuang dengan caranya. Anies tidak berlatar belakang Partai politik. Tapi memang tumbuh dari bawah karena dorongan semangat membawa perubahan itu. Dalam prosesnya Anies juga menghadapi tantangan yang tidak ringan. Ragam upaya asasinasi karakter untuk mematikan langkahnya. Tapi pada akhirnya Anies survive and terus melangkah menuju cita-cita keadilan bagi semua. Bagaikan Mandela yang ketika berhasil mengusung motto: “forgive and forget”. Anies Mengusung motto: “yang kecil dibesarkan tanpa mengecilkan yang besar.”

Tamu terakhir yang Anies akan undang dalam santap malam imaginatif itu adalah Mahatma Gandhi. Sosok pejuang yang tanpa lelah memperjuangkan hak bangsanya dengan cara-cara damai. Kekuatannya ada pada karakter damai yang dikedepankan.

Jika melihat langkah-langkah dan sepak terjang perjuangan Anies, beliau tidak pernah melakukan kekerasan (kekasaran) dalam karakter (kata dan perbuatan). Beliau selalu menghadapi segalanya dengan senyuman dan kerja nyata. Dalam bahasa sederhana beliau: “Kalau ada yang melakukan/menyampaikan kata-kata yang kasar, itu bukan masalah saya. Tapi masalahnya sendiri. Dia sedang menghadapi masalah. Mungkin hanya mengekspresikan kepada saya. Karenanya jangan dihadapi dengan cara yang sama. Karena itu artinya saya memposisikan diri pada posisinya yang memang sedang bermasalah.”

Tidak semua orang mampu mencapai “maqaam” ini. Saya saja masih jauh. Saya masih pada posisi: “balas dengan balasan yang setimpal.” Tapi karakter Anies jauh lebih mulia berkarakter. Dan ini pula yang menjadikannya memilih Mahatma Gandhi sebagai tamu agungnya di acara santap malam itu.

Intinya adalah Anies dalam berbagai kesempatan telah memperlihatkan dirinya sebagai capres yang berkelas. Capres yang memiliki wawasan, jangkauan pemikiran dan pemahaman yang dahsyat, serta memiliki
fondasi spiritual yang tinggi. Ide-ide dan gagasannya selalu segar dan penuh dengan makna dan hikmah.

Kita doakan semoga Allah memudahkan segala langkahnya ke depan dan mengkarunianya “takdir” untuk memimpin bangsa dan negara Indonesia ke depan. Dengan pemimpin yang berwawasan, berilmu, dan religious Indonesia akan tumbuh menjadi negara yang “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur.”

Manhattan City, 4 Desember 2023.

*Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. 

Terpopuler

To Top