Tausiah

Ibaad ar-Rahman (3) 

Nusantarakini.com, New York City – 

Karakteristik ketiga dari ibaad ar-Rahman (hamba-hamba Yang Maha Penyayang) adalah واذا خاطبهم الجاهلون قالوا سلاما (dan ketika orang-orang jahil berkata-kata kepada mereka, mereka respon dengan: salaam”.

Potongan ayat ini sejatinya menyampaikan dua hal. Menyampaikan aksi sekaligus reaksi. Ayat ini menyampaikan prilaku orang-orang jahil dengan aksi jahil, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Dan karakter hamba-hamba Ar-Rahman ibaad ar-Rahman) ketika merespon mereka, baik dengan kata-kata maupun dengan aksi.

Kata khitaab (khaatabahum) populer dengan “khutbah” (ceramah). Tapi secara umum “khataba” dapat diartikan “menyampaikan” (semakna dengan ballagha), baik dengan kata-kata maupun aksi (perbuatan). Ketika khitaab ini dikaitkan dengan mereka yang jahil, pastinya kata-kata dan perbuatan itu juga adalah kata dan/atau aksi yang jahil. Sesuatu yang jahil pastinya memiliki dampak kebodohan dan keburukan.

Di sinilah kemudian ibaad ar-Rahman akan menampilkan diri dengan penampilan yang berbeda. Bahwa mereka punya keistimewaan dan keunikan. Karena mereka adalah hamba-hambaNya Yang Maha kasih dan Maha sayang, Allah SWT. Karenanya dalam merespon perkataan dan/atau perbuatan mereka yang jahil, mereka melakukannya dengan cara damai dan untuk tujuan damai (قالوا سلاما).

Kalau saja kita merujuk kepada banyak ayat dalam Al-Qur’an akan didapati betapa ajaran Islam itu sangat imbang dan rasional dalam menyikapi semua permasalahan hidup. Termasuk dalam menyikapi prilaku jahil orang-orang yang jahil di sekitar kita.

Secara umum Al-Qur’an menyampaikan tiga kemungkinan cara merespon orang-orang yang jahil.

Pertama, Al-Qur’an menawarkan respon dengan balasan yang setimpal. Sebagaimana firmanNya:
وَجَزٰٓ ؤُا  سَيِّئَةٍ  سَيِّئَةٌ  مِّثْلُهَا  ۚ فَمَنْ  عَفَا  وَاَ صْلَحَ  فَاَ جْرُهٗ  عَلَى  اللّٰهِ  ۗ اِنَّهٗ  لَا  يُحِبُّ  الظّٰلِمِيْنَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim.”
(QS. Asy-Syura 42: Ayat 40)

Kedua, Islam menawarkan dengan cara tidak menghiraukan alias menjauhi saja. Kira-kira “pay no attention”. Nggak usah pusing dengan kejahilan mereka. Seperti firmanNya:
فَاَ عْرِضْ  عَنْهُمْ  وَتَوَكَّلْ  عَلَى  اللّٰهِ  ۗ وَكَفٰى  بِا للّٰهِ  وَكِيْلًا
“Maka berpalinglah dari mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah yang menjadi pelindung.”
(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 81).

Namun yang ketiga Al-Qur’an juga mengajarkan cara merespon dengan memaafkan:
فَا عْفُوْا  وَا صْفَحُوْا  حَتّٰى  يَأْتِيَ  اللّٰهُ  بِاَ مْرِهٖ  ۗ اِنَّ  اللّٰهَ  عَلٰى  کُلِّ  شَيْءٍ  قَدِيْرٌ
Maka maafkanlah dan berlapang dadalah sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 109).

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah mana cara merespon yang dikategorikan yang lebih baik (ahsan) dan cara yang damai “salaama”? Jawabannya adalah tergantung kepada keadaan dan tujuan yang akan dicapai.

Jika memang dengan memaafkan akan menyelesaikan masalah, bukan justeru menambah masalah, maka itulah yang terbaik. Atau jika dengan cara “tidak usah dipedulikan” akan menghentikan kejahilan orang-orang jahil maka lakukanlah.

Tapi jika memaafkan mereka yang semena-seman atau tidak menghiraukan mereka justeru akan semakin menambah kezholiman maka tentu respon pertama itu yang dikategorikan respon yang terbaik seperti dalam firmanNya: ادفع بالتي هي احسن.

Dan itu pula yang dikategorikan “قالوا سلاما” atau mereka merespon dengan cara dan tujuan yang mendatangkan kedamaian dan keselamatan.

Jika kita merujuk kepada sejarah Rasulullah memang beliau sering memaafkan mereka yang bersalah. Beliau memaafkan penduduk kota Mekah yang pernah menzholiminya. Tapi jangan lupa, beliau juga menegakkan hukuman kepada kaum Yahudi di Madinah di saat mereka memberontak kepada negara Madinah.

Artinya respon “salaama” itu bukan berarti selalu menunduk, tersenyum, apalagi lemah. Tapi bagaimana merespon secara baik, benar, dan tentunya bertujuan untuk maslahah yang lebih besar. Terkadang merespon dengan cara yang “keras” bahkan mungkin “kasar” tapi bertujuan menghentikan kekerasan dan kekasaran sebenarnya itulah respon yang “ahsan” (respon yang baik) dan “salaama” (keselamatan).

Intinya adalah ibaad ar-Rahman itu berwawasan dan berkarakter “salaama”. Sekali lagi, salaama bisa berarti lemah lembut. Tapi juga bisa berarti “tegas”(اشداء). Kedua cara merespon itu bagi hamba-hamba Ibaad ar-Rahman (hamba-hamba Yang Maha Rahman) berorientasi “salaama” atau kedamaian, ketentraman dan keselamatan. (Bersambung)… [mc]

NYC Subway, 21 Agustus 2023.

*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. 

Terpopuler

To Top