Internasional

Pelabuhan Hambantota Srilangka, Narasi ‘Jebakan Utang’ Tiongkok adalah Propaganda Negara Barat dan Amerika?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Negara-negara Barat dan Amerika menggunakan masalah kebangkrutan Srilangka sebagai peluang untuk mendeskreditkan Tiongkok. Menakut-nakuti negara lain dengan membangun narasi negara mana yang bekerja sama dan meminjam atau utang dari Tiongkok akan berakhir seperti Srilangka (narasi jebakan utang).

Karakteristik bangsa barat setelah kalah bersaing lalu kemudian mengarang serangkaian cerita hoax yang tidak logis alias kebohongan saja.

Dari total utang Srilangka hanya 10% dari Tiongkok. Apakah ini bisa disebut sebagai jebakan utang?
2% dari India, 9% World Bank, 10% Jepang, 13% Asian Development Bank (ADB). Dan yang paling mendominasi adalah Market Borrowings lebih dari 47 % dari perusahaan finansial Black Rock Amerika dan Ashmore dari Inggris.

Srilangka adalah negara yang tidak memiliki industri modern, ia hanya memiliki industri pariwisata dan pertanian (mengandalkan alam sebagai mata pencaharian). Wabah pandemi covid-19 tahun 2020-2021 memberi dampak pada industri pariwisata yang menjadi andalannya. Sehingga menyebabkan Srilangka harus kehilangan 3 milliar USD dalam setahun (85%).

Disamping itu, awalnya Srilangka mengunakan energi angin dan matahari sebagai pembangkit listriknya, namun karena tidak memiliki teknologinya, maka dianggap mahal dan tidak efisien. Dan Srilangka merubahnya dengan mengunakan batubara, minyak dan gas alam, dengan melakukan import dalam skala besar.

Belakangan ini terjadi kenaikan harga energi secara besar-besaran, akibat perang Rusia vs Ukraina yang tentunya sangat membebani ekonomi Srilangka.

Tahun 2019 Gotabaya Rajapaksa terpilih sebagai presiden, dan keluarganya mengambil alih pertanian dangan melakukan reformasi pertanian. Dua juta petaninya diwajibkan untuk menanam pertanian organik hijau dengan melarang impor pupuk pertisida sintesis.

Dengan meniru mentah-mentah negara-negara Eropa yang sukses dalam menanam pertanian organik hijau tanpa melihat kondisi dan kemampuan diri sendiri. Akhirnya proyek gagal karena memang Srilangka tidak memiliki teknologinya dan kondisi masyarakat yang tidak memadai.

Kegagalan yang menyebabkan sepertiga tanah suburnya menjadi tidak berguna kerena tidak mampu menyediakan pangan buat rakyatnya. Demikian juga produksi pertanian teh yang juga menjadi andalan Srilangka harus kehilangan ratusan juta USD dalam setahun.

Harga-harga pangan naik sampai dua kali lipat, dan pemerintah harus melakukan impor pangan secara besar besaran buat rakyatnya. Akhirnya terjadi krisis energi dan pangan karena pemerintahan gagal memenuhi kebutuhan pokok untuk rakyatnya dan ditambah lagi utang negara.

Kondisi ini benar-benar membuat Srilangka tidak bisa bertahan lagi, dan Presiden Rajapaksa akhirnya mengumumkan kebangkrutan Srilangka dan membawa keluarganya kabur ke luar negeri.

Jadi kebangkrutan Srilangka kelas bukan karena Debt Trap (jebakan utang) dari Tiongkok seperti hoax dari media Barat.

Pelabuhan Hambantota Srilangka

Pelabuhan Hambantota yang mengalami dampak dari tsunami Aceh tahun 2004 menjadi hancur total. Dan terjadi pendangkalan pada laut di sekitar pelabuhan.

Selama bertahun-tahun Pemerintah Srilangka menawarkan kepada berbagai lembaga keuangan untuk membiayai pembangunan kembali pelabuhan Hambantota. Selama enam tahun tidak ada yang bersedia, karena secara teknis sudah tidak cocok lagi untuk dibangun kembali menjadi pelabuhan, karena terdapat lumpur yang membuat pendangkalan laut sekitar pelabuhan.

Disamping itu di lingkungan sekitarnya tidak ada infrastruktur penunjangnya, karena yang ada hanya petani pisang.

Namun akhirnya pada tahun 2010 Pemerintah Tiongkok bersedia meminjamkan 300 juta USD untuk membangun kembali pelabuhan Hambantota. Hanya dibutuhkan waktu dua tahun Tiongkok berhasil membangun kembali menjadi pelabuhan yang modern. Termasuk pengerukan lumpur di laut, karena terjadi pedangkalan pasca tsunami Aceh 2004.

Tahun 2013 pelabuhan Hambantota mulai dioperasikan oleh Pemerintah Srilangka. Namunpatut disayangkan Srilangka tidak mampu meng-operasikan dengan baik untuk bisa berkontribusi pada ekonominya. Karena pelabuhan Hambantota memerlukan serangkaian peralatan dan infrastruktur di sekitarannya untuk berhasil.

Pada akhirnya tahun 2017 Srilangka menyewakan Pelabuhan Hambantota kepada Tiongkok selama 99 tahun. Tiongkok pun langsung menginvestasikan 15 ribu hektar tanah untuk membangun infrastruktur dan zona industri untuk menunjang pelabuhan Hambantota dengan menghabiskan waktu selama 4 tahun.

Setelah dioperasikan Tiongkok ternyata menjadi pelabuhan tersibuk di Asia Selatan dan menghasilkan keuntungan ekonomi untuk Tiongkok maupun Srilangka.

Dan dengan dioperasikannya pelabuhan Hambantota maka kapal-kapal Cargo, bisa ekspor dari Tiongkok ke Timur Tengah maupun ke Eropa. Tidak lagi melewati Selat Karimata yang dikuasai “preman” Amerika memungut “uang jago” dengan menempatkan kapal induknya yang berfungsi sebagai satpam. Tapi dari pelabuhan di Tiongkok menuju pelabuhan Hambantota Srilangka dan langsung ke Smudera Hindia menuju Timur Tengah maupun ke Eropa.

Tentu saja keberhasilan pengelolaan Pelabuhan Hambantota ini membuat Paman Sam menjadi meradang serta iri. Sehingga menggiring opini “Jebakan Utang dari Tiongkok” untuk menakut-nakuti negara lainnya.

Bagi Tiongkok Pelabuhan Hambantota adalah Bagian dari proyek  Belt and Road Initiative 

Lebih dari 90 Pelabuhan di dunia yang dikelola oleh Tiongkok termasuk yang di Pakistan (koridor ekonomi Tiongkok-Pakistan), 10 di antara pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia. Ada 7 di antaranya berasal dari Tiongkok. Hal ini menunjukan betapa besar skala ekspor Tiongkok ke seluruh dunia.

Lebih dari 124 negara yang telah bekerja sama dengan proyek Belt and Road Initiative  termasuk Indonesia.

Untuk Srilangka berkat pendapatan sewa pelabuhan Hambantota kepada Tiongkok, Pemerintah Srilangka berhasil melunasi sebagian besar utangnya kepada Amerika (Black Rock) dan kepada Inggris (Ashmore) yang jatuh tempo pada tahun 2017.

Para pakar ekonomi mengatakan bahwa akan ada 60 negara yang akan bangkrut seperti Srilangka. Justru negara-negara seperti Srilangka dan lainnya, apakah memilih bergabung dalam lingkaran ekonomi Tiongkok yang stabil atau masih percaya dengan Jebakan Utang yang diciptakan negara Barat dan bergabung dengan negara Imperialisme G-7? Ini adalah tantangan yang harus dihadapi.

Ini juga membuat negara-negara lainnya untuk memilih kiblat dan hanya memiliki kesempatan untuk satu kali pilihan.

Apakah memilih mengintegrasikan ke lingkaran ekonomi Tiongkok untuk menikmati pertumbuhan ekonomi yang stabil dan menuju kemakmuran bersama? Atau memilih menjadi negara pecundang dengan menjadi boneka Amerika Serikat (NATO) yang akan diperas sampai kurus kering seperti negara Jepang?

Jakarta, 14 Juni 2023.

*Chen Yi Jing, Pemerhati Sosial Ekonomi dan Politik Internasional.

Terpopuler

To Top