Analisa

Apakah Tiongkok Maju karena Komunis?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Bagaimana kita memahami sesuatu yang disebut KOMUNIS? Selama ini sebagian masyarakat Indonesia mengartikan komunis sebagai orang, partai atau rezim yang tidak ber-Tuhan atau atheis. Seringkali pula sekalipun jelas-jelas beragama, namun karena berpihak kepada Tiongkok pun dicap komunis.

Komunisme (komuni/berbagi) adalah sebuah ideologi yang berkenaan dengan filsafat, politik, sosial dan ekonomi berdasarkan kepemilikan bersama semua alat produksi. Dengan tujuan utamanya adalah untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas sosial, uang dan kepentingan negara di atas segalanya (individu). Sehingga tidak ada kaitannya dengan agama. Kalau dikaitkan dengan agama justru menjadi tidak nyambung.

Kalau kita masih terobsesi dengan komunis adalah atheis, kita akan sulit memahami apa yang menjadi penyebab kemajuan Tiongkok yang sebenarnya.

Di Indonesia, komunisme dikaitkan dengan tidak percaya kepada Tuhan karena ada beberapa hal. KARL MARX sebagai filusuf yang pemikirannya mengilhami ideologi komunis memang pernah berkata: Bahwa agama adalah racun masyarakat, karena melihat perang agama yang menghancurkan dan menyengsarakan umat manusia khususnya di Eropa.

Propaganda Barat terhadap Ideologi Komunis 

Mengapa dikatakan tidak ber-Tuhan, kejam, dan diktator, bahaya laten buat perdamaian dunia selama ratusan tahun? Padahal justru ideologi komunis sosialis jauh lebih tulus, mulia, manusiawi dan merupakan lawan dari kapitalisme Barat penjajah dunia selama ratusan tahun?

Di Indonesia propaganda politis selama puluhan tahun dengan membentur-benturkan kubu Komunis dengan kelompok Agamis. Demi kepentingan politis kekuasaan kelompok tertentu maka diletuskanlah rekayasa “Peristiwa G-30-S” dan PKI dituduh sebagai dalangnya. Pada saat yang sama di Tiongkok meletus “Revolusi Kebudayaan”, masa kelam yang carut marut tahun 1966-1976.

KETUA MAO meminta untuk memusnahkan ajaran-ajaran klasik Tiongkok karena dianggap sebagai penyebab dari kegagalan “Program Lompatan ke Depan.” Akan tetapi yang terjadi di lapangan menjadi liar dan bias, karena bukan hanya ajaran-ajaran klasik Tiongkok yang menjadi sasaran penghancuran dari pendukung Ketua Mao (Hong Wei Ping/Garda Merah), tapi kebablasan ke tempat-tempat ibadah agama lainnya, sehingga memperkuat image kalau komunis tidak ber-Tuhan. Padahal itu adalah peristiwa politik yang tidak ada hubungannya dengan agama.

Bagaimana kita melihat Tiongkok secara proposional dengan mengembalikan pemahaman kita terhadap ideologi komunisme yang sebenarnya. Ideologi yang berdasarkan azas keadilan dengan tujuan untuk membentuk masyarakat tanpa kelas yang tidak ada hubungannya dengan agama.

Apakah Tiongkok Maju karena Ideologi Komunis?

Awalnya Ketua Mao adalah pemimpin yang realistis dan adaptif, ini bisa dilihat bagaimana dia menyesuaikan komunisme yang dipelajari dari Uni Soviet. Dengan kondisi Tiongkok saat itu yang tidak memiliki kaum buruh yang banyak untuk menjadi kekuatan politik seperti di Eropa maupun Uni Soviet. Karena kondisi riil Tiongkok saat itu adalah negara agraris yang mana petani lebih banyak dari pada kaum buruh pabrik.

Maka Ketua Mao melakukan penyesuaian, dengan petani sebagai “soko guru”-nya untuk kekuatan politik dalam melancarkan revolusinya. Namun seiring dengan berjalannya waktu Ketua Mao berubah menjadi dogmatis pada ideologi komunisme.

Apapun yang dilakukannya dilihat secara dikotomis hitam atau putih, kalau bukan komunisme ya kapitalisme.

Ini pula yang mengeskalasi “Revolusi Kebudayaan” yang membuat ekonomi Tiongkok terbengkalai. Dan menyebabkan jutaan rakyatnya meninggal secara tidak wajar (kelaparan) sepanjang tahun 1966-1976.

Tiongkok Maju Bukan karena Ideologi Komunisme

Setidaknya ada beberapa hal yang membuat Tiongkok maju setelah berakhirnya Revolusi Kebudayaan seiring dengan wafatnya Ketua Mao pada tahun 1976.

Sepeninggalan Ketua Mao, Tiongkok sangat beruntung dengan kembalinya DENG XIAO PING yang diasingkan pada masa carut marut Revolusi Kebudayaan.

Deng Xiao Ping menjadi arsitek pembangunan di Tiongkok dengan merubah pola pikir Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan masyarakat Tiongkok. Yang sebelumnya di era Ketua Mao sangat terdogmatis oleh ideologi Komunis dirubah menjadi pola pikir yang pragmatis.

Partai PKT maupun masyarakat Tiongkok menjadi rasional, akomodatif, lentur dan mau beadaptasi dengan perubahan situasi dan kondisi.

Tidak peduli kucing berwarna hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus, itu kucing yang baik.

Tidak peduli itu isme komunis sosialis atau kapitalis, yang penting bisa bermanfaat untuk masyarakat, itu isme yang baik.

Semua itu hanyalah cara untuk memajukan ekonomi untuk menyejahterakan rakyatnya.

Terbuka untuk belajar dari mana saja, isme apapun dipelajari termasuk Kapitalis Barat yang liar. Tapi tidak serta merta ditiru tapi disaring dan disesuaikan dengan kultur budaya bangsanya agar tidak kehilangan jati diri bangsa.

Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik setelah disesuaikan dengan kultur budaya bangsanya.

Mengambil nilai-nilai yang baik dari isme manapun termasuk kapitalisme Barat yang liar. Ekonomi kapitalistik dengan pasar bebasnya ditiru, namun liarnya dibuang.

Haram hukumnya menyerahkan seluruh aktivitas ekonomi kepada pasar sepenuhnya seperti negara Barat. Negara walau bagaimanapun wajib hadir untuk kontrol terhadap aktivitas ekonomi. Untuk mencegah terjadinya Hukum Rimba, yang besar makan yang kecil, mencegah terjadinya kesenjangan sosial yang lebar dan dalam (hukum sosialisme).

Deng Xiao Ping Tidak Buru-buru Melakukan Reformasi Politik

Karena yang membuat perut kenyang ternyata bukan tiap hari ngomongin politik dan ideologi, tapi mengembangkan ekonomi. Oleh karena itu PKT pun tidak merubah orientasi partai dari politik ideologi sebagai panglima menjadi kemajuan ekonomi adalah kebenaran yang hakiki.

Alih-alih Demokrasi Liberal, Tiongkok lebih memilih meritokrasi yang mirip sekali dengan PANCASILA, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”

Memang tidak ada kompetisi multi partai politik untuk memperadukan kepentingan-kepentingan berbagai pihak. Namun setiap lapisan masyarakat mulai dari: petani, seniman, pendidik, awak media, tenaga kesehatan, olahragawan, hingga pengusaha besar memiliki perwakilan tersendiri di parlemen. Untuk memusyawarahkan kepentingan masing-masing tanpa perlu gontok-gontokan. Dan setiap 5 tahun sekali mereka akan gelar sidang paripurna dalam konggres Rakyat untuk memilih pemimpin tertinggi negerinya.

Komitmen terhadap Pemberantasan Korupsi 

Perdana Menteri Tiongkok 1998-2003 Zhu Rong Ji, Bapak Pemberantasan Korupsi, terkenal dengan seruannya, “Siapkan 100 peti mati, 99 peti buat mereka yang korupsi, dan tinggalkan 1 buat saya apabila saya yang korupsi.”

Ini menandakan betapa seriusnya pemerintah Tiongkok dalam memberantas korupsi. Tidak ada kompromi bagi koruptor. Selain dimiskinkan, hukuman berat sampai dengan hukuman mati akan dijatuhkan kepada para koruptor. Benar-benar ZERO toleransi. Maka para pemimpin Tiongkok tidak pernah main-main dalam menindak pelaku korupsi.

Seperti yang diperingatkan mantan Presiden Hu Jin Tao dan Presiden Xi Jin Ping, “korupsi bisa membuat negara dan partai kolaps” (Wang Guo Wang Dang).

“Tidak peduli pejabat rendah atau pejabat tinggi, Lain Hu Cang Ying Yi Qi Da (harimau dan lalat) sama- sama dilibas tanpa terkecuali,” kata Xi Jin Ping.

Sehingga dapat dikatakan yang membuat Tiongkok maju itu adalah:

“Penegakkan hukum, bukan hanya masalah korupsi, tapi hukum juga yang mengawasi jalannya pemerintahan.”

Serta, “Penerapan komunisme, sosialisme dan kapitalisme yang berkarakter Tiongkok.”

Karena yang diambil untuk dijalankan itu hal-hal yang baik dari ketiga ideologi itu.

Mau disebut isme apapun tidak masalah, yang penting berguna untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyatnya.

Justru kemajuan yang dilandasi isme-isme baik setelah dimodifikasi dan disesuaikan dengan kultur budaya bangsanya menjadi unik dan sulit ditiru.

Pantas untuk Tiongkok belum tentu pantas buat kita.

Cocok buat Tiongkok belum tentu cocok buat kita.

Baik buat Tiongkok belum tentu baik buat kita.

Sepatu itu mesti dipakai dulu, baru tahu cocok atau tidaknya.

Indonesia sebenarnya telah memiliki “sepatu” yang cocok, yaitu PANCASILA.

Namun patut disayangkan, “sepatu”-nya belum digunakan sebagaimana mestinya. [mc]

Jakarta, 10 Juni 2023.

*Chen Yi Jing, Pemerhati Sosial Politik Internasional.

Terpopuler

To Top