Analisa

Drama Ratna Sarumpaet, Operasi Plastik atau Operasi Intelijen?

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Manusia tak pernah berbohong begitu besar kecuali setelah berburu, selama masa perang atau sebelum masa pemilu (Otto von Bismarck).

Dunia ini adalah panggung sandiwara. Istilah itu mungkin dikenal publik Indonesia lewat suara emas Nike Ardilla. Mojang Bandung penuh bakat di era 90-an. Namun, sejatinya istilah itu lebih dahulu dikenalkan oleh sosiolog Kanada, Erving Goffman.

Goffman mengemukakan teori tentang dramaturgi. Menurutnya, manusia menyajikan sandiwara kehidupannya masing-masing. Bukan sebuah kebetulan jika kali ini, masyarakat di Tanah Air sedang sibuk menerka-nerka.

Sandiwara macam apa yang tengah dimainkan oleh Ratna Sarumpaet?

Lakon ini bermula dari informasi yang beredar di media sosial. Sejumlah tokoh oposisi seperti Dahnil Anzar Simanjuntak, Fachri Hamzah, Fadli Zon, Rachel Maryam dan barisan utama pendukung Prabowo Subianto pada 1 Oktober 2019 mengaku menerima foto Ratna dalam keadan lebam. Ratna Sarumpaet berkisah dirinya dikeroyok sejumlah orang.

Cerita pengeroyokan itu disertai dengan kronologis tanggal dan tempat kejadian. Menurut laporan Ratna, pengeroyokan itu terjadi di kisaran wilayah Cimahi, Bandung pada tanggal 21 September 2019. Bahkan, Ratna melengkapi drama pengeroyokan itu dengan narasi yang amat detail dan memukau. Ada unsur orang asing, sopir taksi hingga pengobatan di klinik.

Tak menunggu waktu lama, tanggal 2 Oktober 2019, Capres Prabowo Subianto memutuskan untuk menjenguk Ratna Sarumpaet. Ia bahkan mengundang wartawan hadir dalam konferensi pers. Intinya, ia hendak menyampaikan rasa prihatin dan kecewa atas dugaan penganiayaan itu. Prabowo bahkan berniat akan mendatangi Kapolri Tito Karnavian untuk membicarakan kasus ini.

Hingga pada babak ini, Ratna Sarumpaet tampak melakukan lakonnya dengan apik. Kubu Prabowo memanfaatkan isu penganiayaan ini untuk dieksploitasi di media sosial. Ramai-ramai publik diajak untuk menyerang pemerintah. Pasalnya, Ratna Sarumpaet dianggap satu barisan. Sejak lama ia dikenal sebagai aktivis oposan. Ia pernah terlibat dalam demonstrasi anti pemerintah. Sesekali, juga terlihat pernah bersama barisan habaib dalam aksi 212.

Hingga pada babak ini pula, para pengamat intelijen manapun bisa terkecoh. Menurut teori guru besar ilmu intelijen, Sherman Kent, dalam membaca intelijen sebagai sebuah kegiatan ada yang disebut Positif Clandestine Intelligence (PCI). Intelijen Indonesia mengenalnya dengan istilah girah. Singkatan dari kegiatan rahasia. Aktivitas PCI ini ada banyak macamnya: dari mulai sabotase, subversi, provokasi, propaganda hingga kegiatan teror.

Jika kembali kepada ingatan masa lalu. Tak perlu jauh-jauh, kita tarik hingga April 2017 saja misalnya. Memori kita akan mengingat lagi serangan teror terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Publik terpantik, jangan-jangan ini Novel Jilid II? Jika kita tarik lagi pada kejadian Juli 2018, jejak digital akan banyak bercerita pada kita soal terbakarnya mobil aktivis #2019GantiPresiden, Neno Warisman. Meski, Neno secara terbuka mengatakan kejadian itu belum tentu ada kaitannya dengan isu politik. Tapi publik punya persepsi masing-masing.

Serangan teror, tindakan sabotase, maupun propaganda palsu seperti munculnya situs skandalsandiaga.com tentu tak bisa dilepaskan dari kegiatan intelijen. Yang sulit bagi masyarakat awam adalah menerka siapa pelakunya. Apakah itu kerjaan intelijen asing, intelijen negara atau agen bayaran? Namun demikian, dari sejumlah kasus tersebut, ada satu benang merah yang bisa kita tarik. Pekerjaan Novel, Neno, Sandiaga dan Ratna mengusik status quo.

Kembali ke kasus Ratna, ada hal yang tak kalah menarik untuk diamati. Dalam babak selanjutnya, muncul aktor lain yang kali ini berperan sebagai pahlawan tepat waktu. Tak lain dan tak bukan adalah Polisi Republik Indonesia (Polri). Kali ini, polisi seolah ingin menghapus persepsi masyarakat bahwa polisi Indonesia sama dengan polisi India. Polisi yang baru datang setelah kejadiannya selesai. Kali ini, polisi bertindak cepat. Hanya dalam semalam, keluarlah laporan penyidikan Polda Metro Jaya.

Pada tanggal 3 Oktober 2019, di grup-grup WA berseliweran file pdf berjudul “Laporan Hasil Penyidikan Viralnya Berita Pengeroyokan Ratna Sarumpaet”. Isinya, sungguh mencengangkan. Dalam semalam, Polisi telah berhasil mewawancarai sejumlah saksi di bandara Husein Satranegara, di RS Khusus Bedah Bina Estetika Jakarta dan melakukan pengecekan di 23 RS di wilayah Bandung. Polisi juga telah mengantongi rekaman CCTV, hasil penjejakan melalui sinyal handphone dan bukti perpindahan uang di rekening putra Ratna Sarumpaet.

Jika boleh berandai-andai. Seandainya performa seperti ini ditunjukkan pula pada penyelidikan kasus Novel Baswedan, berapapun nilai anggaran yang diminta Polri ke DPR, patutlah diloloskan. Uniknya lagi, cepatnya pemrosesan itu bukan terbatas pada pencarian alat buktinya saja. Tapi juga kerangka hukum dan analisis yuridis yang telah dilakukan oleh Polda Metro Jaya.

Dalam laporan itu pula, polisi menyebut bahwa kasus itu bisa dikenai dua pasal. Yang pertama ialah pasal tentang menyiarkan berita bohong dan menimbulkan keonaran di hadapan publik. Yaitu pasal 1 dan 2 UU KUHP No 1 Tahun 1946. Sementara yang kedua ialah pasal penebaran ujaran kebencian atau permusuhan individu berdasarkan SARA di media elektronik dengan pasal 28 UU ITE.

Kita belum bisa menerka siapa yang dikenakan pasal ini sampai Kadiv Humas Setyo Wasisto kemudian memberikan penjelasan. Menurutnya, Ratna tak mungkin dikenai Pasal UU ITE, karena Ratna tidak pernah menyiarkan kebohongannya itu lewat media sosial. Penjelasan polisi ini diutarakan setelah pengakuan Ratna pada Rabu sore, 3 Oktober 2018. Ratna mengaku bahwa ia telah berbohong. Ia mengiyakan hasil penyelidikan polisi bahwa tanggal 21-24 September 2018 dirinya tengah dirawat di RS Bina Estetika di Jakarta.

Pertanyaannya, jika ada dua analisis yuridis yang telah disiapkan polisi, sementara satu pasalnya tak bisa diterapkan kepada Ratna Sarumpaet, lalu pasal itu akan diterapkan pada siapa?

Babak selanjutnya pun dimulai. Muncullah aktor berikutnya, yakni Farhat Abbas. Pengacara kontroversial yang pernah dilantik sebagai jubir Jokowi-Maruf Amin ini melaporkan 17 nama. Mereka adalah Prabowo Subianto, Ratna Sarumpaet, Fadli Zon, Rachel Maryam, Rizal Ramli, Nanik Deyang, Ferdinand Hutahaean, Arief Puyono, Natalius Pigai, Fahira Idris, Habiburokhman, Hanum Rais, Said Didu, Eggy Sudjana, Captain Firdaus, Dahnil Azar Simanjuntak, dan Sandiaga Uno.

Bak seorang petani ketiban untung, Farhat panen raya. Dengan sigap, setelah Ratna membuat pengakuan, mantan suami Nia Daniati ini segera membuat laporan ke Bareskrim Mabes Polri. Jika laporan itu diproses oleh Mabes Polri, maka situasinya barangkali akan serupa dengan nasib yang dialami oleh Ahok. Ahok terjegal dengan kasus hukum saat tengah mencalonkan diri kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta. Tapi, beranikah polisi mengambil resiko untuk memproses kasus itu? Bagaimana dengan peran yang dimainkan oleh Ratna Sarumpaet.

Jika benar ada skenario yang dimainkan oleh pihak tertentu kepada kubu Prabowo dkk dalam bentuk kriminalisasi oposisi, maka hitungan resikonya tentu sangat besar. Apabila polisi memproses laporan tersebut dan mempidanakan Capres dan sejumlah tokoh oposisi maka kemungkinan terjadinya chaos sangatlah tinggi. Namun barangkali, bukan itu tujuan utamanya. Anda tentu ingat ucapan Rocky Gerung bahwa produsen hoax terbesar adalah penguasa. Jadi, menciptakan kesan bahwa kubu oposisi sebagai produsen hoax saja sudah semacam pelimpahan beban yang selama ini dipikul Jokowi. Tentu saja, delegitimasi figur oposan akan semakin menguatkan posisi petahana.

Sementara itu, kita bisa menggali lebih dalam apa sesungguhnya motivasi Ratna Sarumpaet saat ia berbohong, mengadu kepada oposisi pemerintah, lalu membuat pengakuan. Dilihat dari pendekatan intelijen, ada 5 motif utama mengapa seseorang bisa digalang intelijen sehingga berkhianat terhadap kawannya sendiri. Kelima motif itu sering disingkat dengan sebutan M-I-C-E-R (Money, Ideology, Compromise, Ego, Revenge).

Yang pertama, Money. Seseorang bisa saja direkrut karena alasan kekurangan uang, dilanda masalah finansial, sifat tamak, didera masalah utang dan semacamnya. Kedua, Ideology. Bisa saja seseorang digalang karena dia benci dengan ideologi kawan-kawannya atau kagum terhadap ideologi musuhnya. Ketiga, Compromise. Seseorang digalang karena telah diketahui kelemahannya, diancam, atau didekati lewat hubungan emosional dengan agen. Keempat, Ego. Seseorang bisa didekati karena terlihat kesepian, tidak diapresiasi oleh kawannya, mencari jabatan, diidentifikasi suka petualangan, haus pujian, egomaniak, atau terlalu percaya diri bisa mengatasi tantangan. Sementara, yang terakhir adalah Revenge. Karena alasan dendam atau sakit hati.

Sebelum ada bukti yang kuat, kita sukar menebak posisi Ratna Sarumpaet ada di mana. Yang jelas, tindakannya itu jelas bukan sebuah kebetulan belaka. Ada tangan tak terlihat yang lihai memainkan adegan demi adegan dalam satu rangkaian sandiwara. [mc]

*Fajar Shadiq, Jurnalis dan Pengamat Intelijen.

Terpopuler

To Top