Sejarah

Pencalegan Zaman Jahiliyah

Nusantarakini.com, Jakarta –

Sebenarnya perihal ini sudah terjadi mulai zaman Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, katakanlah mengawali Reformasi, mengawali dijalankannya UUD45 Palsu. Di zaman Orde Baru Soeharto tidak begitu. Meskipun para Anggota Legislatif, atau Anggota DPR, sebutan internasionalnya adalah Member of Parliament disingakat MP, tetap ditelikung Soeharto, tetapi cara pemilihannya lebih bermartabat.

Pada awal-awal Rezim Soeharto berkuasa memang banyak coreng-moreng. Mereka menyebutnya Sistim Proporsional. Intinya, yang dipilih adalah Partai. Tapi, karena Partai telah mencantumkan Daftar Nama Caleg, maka sesuai dengan jumlah kursi kemenangan Partai, diambillah Caleg-caleg yang lolos menjadi Anggota DPR sesuai dengan Nomor Urut Daftar Caleg.

Sistem seperti itu berjalan terus sampai terjadi perubahan pada 1990. Sistem Proporsional tetap berjalan, tetapi para Caleg harus mengikuti beberapa persyaratan, tentulah dasarnya tidak terlibat G30S/PKI, dan bukan Simpatisan PKI. Para Caleg harus pula Lulus Litsus (Penelitian Khusus), yaitu semacam Ujian Matakuliah Pancasila dan UUD45 (Asli, tentunya!). Aku yang bukan Kader PPP, tapi direkrut PPP, ikut juga Litsus. Karena Bapakku dibunuh PKI 1948, maka mudahlah aku mendapatkan Surat Bebas G30S/PKI. Apalagi, sebagai PNS sudah pula lulus P4! Setelah dinyatakan lulus Litsus, maka ada pula tes-tes lain, termasuk Tes Kesehatan. Yang menarik, semua biaya Ujian dan tes-tes itu dibayar oleh Negara! Saya atau pun Partai, PPP dan PDI, serta Golkar, tidak ditarik biaya sepeser pun!

Setelah semua berlalu, yang terberat adalah memenangkan Kecalegan Partai, lewat Kampanye! Nah, kalau Kampanye para Caleg ini dibayari oleh masing-masing Partai. Di sinilah tantangan saya agar dikenal dari dekat oleh para calon Pemilih, tapi juga sekaligus harus masuk kelompok Pemenang. Sebagai Caleh PPP untuk DKI Jakarta, aku harus masuk dalam 3 Besar, karena selama ini Kursi PPP di Jakarta hanya mendapat 3 kursi.

Tapi tugasku yang lebih berat adalah membantu Caleg-caleg Daerah Pemilihan lain. Di situlah aku sibuk ke mana-mana dan diundang ke mana-mana untuk berorasi dalam periode Kampanye. Tentulah isi kampanyeku adalah memberi Semangat kepada masyarakat untuk memilih PPP dengan menyampaikan masadepan rakyat yang lebih baik, menolak segala praktek buruk Pemerintah Soeharto dan menyampaikan Progran-program Kerja di DPR yang lebih baik daripada PDI, terlebih-lebih Golkar yang selama ini mendominasi Pemerintah Soeharto dan DPR-RI.

Aku terbang untuk berkampanye dari Aceh sampai Irian Jaya. Jaksa Agung yang bertindak sebagai Ketua Panwaslu memberiku Kartu Merah untuk Sumatera Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Artinya aku tidak bisa lagi berkampanya ke sana. Bahkan ketika aku baru turun dari Kereta Api di Semarang, aku sudah dijemput oleh serombongan Jaksa dari Kejaksaan Tinggi. Aku ditahan beberapa jam sambil diberi peringatan untuk tidak berkampanye. Tapi aku nekad berkampanye di GOR Manahan Solo, tempatku bersekolah dari Taman Kanak-kanak sampai lulus SMA.

Datanglah saatnya aku berkampanye di Parkir Timur DKI Jakarta. Semua Pimpinan dan Petinggi PPP datang ke panggung. Aku tahu, di sinilah aku diuji. Aku harus menyampaikan tema yang menggigit, tanpa peduli apakah Pimpinan PPP setuju atau tidak. Tapi aku yakin, beginilah seharusnya sebuah Partai Oposisi ini. Dalam orasiku yang tidak terlalu panjang di mimbar, aku bilang: “PPP akan menyiapkan Calon Presidennya sendiri pada Pilpres 1993 nanti.” Sebelum orasiku selesai hampir seluruh Petinggi PPP yang duduk di belakang mimbar telah hilang meninggalkan tempat, sekalipun tempik-sorak masa PPP bergemuruh di seluruh Lapangan Parkir Timur.

Pagi harinya, aku mendapati surat di bawah pintu luar dari Sekjen PPP, yang melarang aku berkampanye di seluruh wilayah RI. Tapi aku tetap berangkat pagi itu Ke Yogya untuk membantu Ketua DPD PPP dalam kampanyenya juga sebagai Caleg. Paginya berangkat ke Maluku, berlanjut ke Surabaya, Madura dan daerah Jawa Timur lainnya. Aku sadar sudah mulai berseteru dengan Pimpinan PPP. Tapi perjanjianku dengan Ketua Umum PPP, aku tidak mau diintervensi sepanjang tidak melanggar Undang-Undang.

Aku lolos dan menjadi anggota DPR. Itu pun masih dicoba dijegali, karena aku PNS dan karenanya harus masuk Golkar. Mendikbud Fuad Hassan yang kemudian melancarkan jalanku ke Senayan. Selanjutnya aku mencoba menepati janji-janjiku selama Kampanye, antara lain menolak Soeharto menjadi Presiden dalam Pilpres 1993.

Kebetulan dua tahun kemudian aku diundang berceramah ke Jerman bersamaan dengan kehadiran Soeharto di kota yang sama, Hannover. Soeharto didemo hampir di seluruh kota yang dikunjunginya, termasuk Hannover. Sialnya aku dituduh ikut menggerakkan demo tersebut. Sesampai di Jakarta aku dipersekusi dan diadili. Untuk bisa mengadili, aku direcall dulu dari keanggotaan DPR. Sebuah peluang bagi Pimpinan PPP. Aku dihukum 34 bulan. Tapi baru setahun, Soeharto sudah jatuh, dan aku dibebaskan.

Pencalegan sekarang lain. Tidak ada Litsus! Kader PKI, mereka yang atheis, atau berpaham apa pun termasuk Ahmadiyah dan Islam Nusantara, bisa menjadi MP. Syaratnya cuma mendaftar ke Partai, mengisi formulir dan membayar sekitar 500 juta kepada Partai. Itu angka yang umum, tergantung Partainya. Tergantung pula mau jadi, atau bisa jadi-bisa tidak. Semakin bayar tinggi peluang jadinya semakin besar. Konon itu sudah termasuk tes kesehatan, bayar saksi waktu perhitungan suara, dan lain-lain, dan lain-lain, termasuk mahar. Sangat bisa dimaklumi, bahwa Uang adalah Yang Maha Kuasa, lalu apa-apa mahal. Lalu Negara sudah bangkrut. Lalu semua itu akan lunas, karena gaji MP konon puluhan juta. Sebagai MP juga bakal dapat banyak “amplop” atau “ang pao” dari Eksekutif dan Taipan.

Yang menarik, tidak ada program kampanye. Baik untuk memperkenalkan diri sebagai Caleg kepada masyarakat, maupun untuk menyampaikan pikiran-pikiran Wakil Rakyat tentang nasib Rakyat, Bangsa dan Negara kepada para calon pemilih. Jadi, bisa dibayangkan oleh masyarakat para Calon MP ini tak ada yang dikenal Apalagi para calon baru, anak bawang, masih ingusan, tiba-tiba menjadi Wakil Rakyat dan Pembuat Undang-Undang! Harus pula menilai berbagai Kebijakan Pemerintah, kalau perlu menolaknya.

Di sini bukan kualitas lagi yang berbicara, tapi uang! Memang ada beberapa Doktor dan Profesor yang terjaring pada masa lalu, tapi suara mereka kalah banyak, juga kalah kencang. Atau sengaja terlambat, karena menunggu amplop, kalah sama uang! Republik ini tidak ke mana-mana, malah mundur ke belakang!

Bisa dibayangkan, ke depan NKRI apa bisa tambah hebat?! Praktek macam ini sudah terjadi sejak Amandemen, sejak SBY naik. Tambah amburadul sekarang-sekarang ini di Era Jokowi…!!!

Bagaimana dengan Pilpres?! Sama saja…. [mc]

@SBP
31 Juli 2018

*Sri-Bintang Pamungkas, Mantan Politisi, Aktivis Senior.

Terpopuler

To Top