Senjakala Kebebasan Intelektual: Kontradiksi Zaman Jokowi

Nusantarakini.com, Jakarta –

Inikah akhir skenario cerita yang sudah disiapkan karena framingnya adalah: Suteki menyebarkan RADIKALISME yang harus ditindak?

Baiklah, semuanya itu belum terbukti. Persoalan KHILAFAH–yg dinilai sbg faham radikalisme—selalu jadi kambing hitam untuk memojokkan saya karena saya menjadi AHLI JR Perppu Ormas di MK dan Gugatan HTI di PTUN Jakarta Timur. Fairkah ini?

Apatah yg musti saya katakan? Bahkan “SUMPAH POCONG” pun tak akan membuat bathin menggeliat yakin bahwa saya TIDAK ANTINKRI dan ANTIPANCASILA, apalagi hanya 1000 dalih dan dalil saya tandingkan dan sandingkan.

Benarkah hanya bicara tentang KHILAFAH kemudian disimpulkan bahwa ybs adalah seorang penyebar faham radikalisme? Katanya ini negara demokrasi? Masih adakah ruang untuk diskusi—di manapun , baik di dlm maupun di luar kampus— agar persepsi saling dipahami sehingga tidak berakhir dengan PERSEKUSI layaknya yang saya alami ini?

Memang betul tidak ada kebebasan tanpa batas, tetapi ketika batas itu semakin membuat kita tidak mampu sedikit pun membuka tabir kebebasan itu, masihkah pantas kita kukuhi batas itu tanpa peduli? Kebebasan terbatas yakni dibatasi oleh kebebasan orang lain. Itu yg disebut kebebasan yang bertanggung jawab. Klo hanya sebatas wacana, diskusi tentang ideologi, sistem pemerintahan dll, apakah hal itu mengganggu kebebasan orang lain? Apakah memaksa orang lain? Apakah ada tindakan kekerasan kepada pihak lain?

Saya sudah menentukan koordinat, bahwa khilafah itu menurut buku yg saya baca, adalah bagian dari ajaran yg dipelajari dalam ISLAM. Persoalan sistem itu TIDAK ATAU BELUM KOMPATIBEL di Indonesia itu soal lain. Mengapa? Karena kita bersepakat membangun negeri ini hingga sekarang dalam sistem pemerintahan DEMOKRASI PANCASILA. Jadi, saya ingin tegaskan bahwa meyakini khilafah itu sebagai bagian dari ajaran Islam TIDAK IDENTIK DENGAN MENDUKUNG HTI karena khilafah bukan ajaran HTI melainkan HANYA SEBAGIAN ajaran Islam. Itu sekali lagi penafsiran saya atas referensi yang saya baca.

Salahkan seorang ASN seperti saya memiliki penafsiran dan sikap seperti itu? Apakah saya penyebar radikalisme? Ayolah, cobalah kita mahu berpikir jernih. Tidak elok menjadi pendedam yang hanya berangkat dari asumsi dan narasi yang belum tentu benar adanya. Semua itu hanya akan mendesak makin dekatnya senjakala kebebasan ASN akademikus.

Bolehkah saya berteriak pula:
Saya mencintai Indonesia!
Saya mencintai NKRI!
Saya mencintai Pancasila!…seperti juga Anda? Ingatlah, Anda bukan satu-satunya pihak yg boleh mengklaimnya karena PANCASILA itu milik BERSAMA.

Masih juga tidak percaya?

 

Prof. Dr. Suteki, SH/Pengajar Pancasila Undip