Tentang Radikalisme

Nusantarakini.com, Jakarta –

Semula radikalisme tidak dikenal. Yang populer adalah radikal, yaitu cara berpikir yang mendasar. Mengakar! Sesuai dengan namanya, radix yang berarti akar.

Radikal itu selalu positif. Tidak ada ilmu pengetahuan ilmiah yang dikembangkan kecuali terlebih dahulu bertemu dengan pemikiran radikal. Terkenal dalam “kebudayaan” di dunia ilmiah proses ini; tesis, antitesis, lalu sintesis. Setiap ilmuwan harus melihat sebuah konsep sebagai tesis yang betapapun mapannya masih terbuka untuk diganti dengan konsep lain terkecuali ia telah menjadi postulat. Antitesis selalu sangat radikal. Justru kalau tidak radikal, ia tidak laku.

Entah kapan istilah yang semula hanya cocok untuk sistem berpikir ini berubah menjadi istilah yang dilekatkan dengan sikap dan tindakan. Bersikap dan bertindak radikal. Mungkin yang maksud adalah ekspresi dari cara berpikir radikal. Sayangnya, persepsi radikal bergeser makna menjadi kekerasan sehingga yang dimaksud dengan sikap dan tindakan radikal selalu beraroma kekerasan di dalam pahaman publik.

Inilah yang perlu diselamatkan (meminjam istilah Rocky Gerung). Saya cenderung tidak mau menggunakan kata radikal untuk sikap dan tindakan kekerasan. Saya setuju menggunakan istilah ekstrim. Ekstrim yang dimaksud di sini adalah menyimpang. Pemikiran tertentu yang diekspresikan secara menyimpang itu bukanlah radikal namun ekstrim.

Akibat kesalahan penggunaan lata radikal muncullah istilah radikalisme. Radikalisme mau menunjuk ke suatu kelompok yang membenarkan tindakan kekerasan. Seolah sudah menjadi suatu paham atau cara pandang tertentu. Padahal jika seandainya harus ada radikalisme maka yang dimaksud itu adalah sikap ilmiah pada semua masyarakat ilmiah termasuk mahasiswa.

Saya justru cenderung setuju jika seluruh mahasiswa berpikir radikal. Harus terpapar radikalisme dalam pengertian awalnya tadi.

Akibat penggunaan istilah radikalisme di lapangan politik sikap radikal di dunia ilmiah menemui problem serius. Radikalisme telanjur menjadi “najis” di lapangan politik.

Itu sebabnya, penentuan definisi dan batasan baku radikalisme untuk digunakan seperti saat ini bukan saja rumit dan bermasalah melainkan tidak relevan. Tentu saja terkecuali jika ada keberanian untuk mengembalikan makna positif istilah radikal.

Dr. Syafinudin Al-Mandari/Pengamat Budaya