Ekonomi

Wawancara Ekslusif dengan Profesor Syukri Salleh: Ada Yang Keliru dari Ekonomi Islam Sekarang

Nusantarakini.com, Jakarta –

Awal Februari 2018 yang lalu, saya membuat wawancara dengan Prof. Syukri Salleh. Beliau tentu tidak asing bagi kalangan intelektual di Malaysia. Uniknya, kepada saya dia menyampaikan ada revisi dengan pemikiran ekonomi Islam yang digelutinya selama ini.

Mau tahu isi pikiran dan wawancara dengannya?

EkonomiKa (E): Dalam rangka apa datang ke Jakarta?
Sukri Salleh (SS): Ada dua rangkaian. Yang pertama menyampaikan syarahan dalam satu seminar internasional di MPR RI. Yang kedua melawat ke CISFED.
E: Tadi ustadz menyampaikan otokrtik terkait ekonomi Islam kontemporer. Di situ disebutkan tujuan ekonomi Islam sebenarnya ialah mardlatillah, bukan Al-Falah. Dapatkah hal ini dijelaskan lebih jauh?
SS: Secara mudahnya, mardlatillah itu ialah ridla Allah. Dalam Alquran banyak ayat-ayat mengungkapkan perlu mencapai sesuatu itu untuk ridla Allah. Bila Allah ridla, Allah akan bagikan perkara-perkara yang lain, antaranya Al-Falah itu, yaitu kebahagian di dunia dan insya Allah kebahagian di akhirat. Jadi kalau selama ini ekonom-ekonom Islam menyatakan matlamat ekonomi Islam itu untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat, itu tidak sampai dengan matlamat yang sebenar. Matlamat yang sebenarnya ialah mencari ridla Allah. Bila Allah ridla, dengan sendirinya insya Allah, Allah akan bagi sendirinya Al-Falah. Jadi al-falah itu sebenarnya merupakan produk dari pada mardlatillah. Jadi dalam bab ini, berbeda sedikit dengan teori-teori ekonomi Islam kontemporer yang mengatakan matlamat akhir adalah al-falah.
E: Bukankah pemikiran ini akan mengubah jalannya ekonomi Islam kontemporer bila dikembangkan dan diterapkan?
SS: Insya Allah, saya mengharapkan memang begitu. Sebab saya yakin, ahli-ahli ekonomi yang ada sekarang itu, memang berniat baik untuk memperkenalkan ekonomi Islam. Cuma karena ekonomi Islam kontemporer ini masih belum lama, masih sama-sama boleh kita perbaiki jalur pemikirannya itu, moga-moga dapat mencorakkan pemikiran baru, yang membawa ke satu pemikiran ekonomi Islam yan g baru.
E: Sudah dibentangkan di mana saja pemikiran ustadz ini?
SS: Paling tidak ada di tiga tempat yang pernah saya bentangkan pemikiran ini. Pertama di suatu konferensi ekononomi Islam di Doha, Qatar. Saya tidak ingat apakah sekitar 2012, tapi ketika itu saya nampak hanya dua perkara yang perlu diperbaiki. Yang pertama, dari segi paradigmanya, yang kedua dari segi asumsinya. Tapi selepas itu saya memenuhi juga satu jemputan konferensi internasional di Kuala Lumpur, ketika itu saya rasakan ada enam perkara yang perlu diperbaiki. Selepas itu, di Universitas Jember (Indonesia) dalam satu konferensi internasional, saya nampak ada sembilan perkara. Mula-mula ada dua, lepas itu enam, kemudian sembilan hal yang perlu diperbaiki dalam ekonomi Islam. Insya Allah nanti pada bulan April 2018, saya akan bercakap di Turki, tetapi kesilapan ekonomi Islam kontemporer ini sudah menjadi tujuh. Sebab dua perkara, merupakan akibat dari tujuh kesilapan dalam ekonomi Islam kontemporer.
Yang saya sebut akibat yang dua itu ialah, pertama, tidak dapat melahirkan sistem ekonomi Islam yang sebenar. Yang kedua, akibat dari yang tujuh kesilapan ekonomi Islam kontemporer ini, yaitu tidak dapat melahirkan satu masyarakat Islam yang sebenar. Jadi sebenarnya ini merupakan perkembangan pikiran saya.
E: Berarti sebenarnya ustadz jauh-jauh sebelum 2012, ustadz sudah menyimpan kritik terhadap pemikiran ekonomi Islam kontemporer?
SS: Pada awalnya saya hanya berpikir secara awalan, tetapi tidak begitu yakin. Tetapi setelah membuat penelitian, membuat pembacaan, terus saya lebih yakin dengan apa yang saya kritik itu. Juga sudah ada orang yang sama-sama sealiran pemikiran dengan saya sebenarnya untuk melihat balik ekonomi Islam kontemporer dan memantapkan apa yang tidak mantap. Malah ada pelopor-pelopor ekonomi Islam, seperti Muhammad Akram Khan dan sebagainya, juga melihat balik kepada pemikiran mereka yang awal itu, untuk memperbetulkan kembali apa yang disadari tidak betul.
Jadi ini proses perkembangan pemikiran. Imam Syafii juga kan ada Qaulul Qadim dan Qaulul Jadid. Pemikiran ekonomi Islam pun begitu. Perkembangannya pun harus senantiasa berjalan untuk terus memantapkan pemikirannya.
E: Adakah yang menyambut dan menentang pemikiran baru ustadz ini?
SS: Sedekat ini, yang menerima, ada insya Allah. Tapi yang menentang itu, tidak secara jelas. Jadi ada tulisan-tulisan saya yang keluar berkenaan dengan ini, tapi nampaknya tidak ada tulisan yang menentang. Sebab itu, kita tidak tahu, karena mereka tidak menulis. Kalau pun ada yang menentang, tidak apa-apa, karena itu merupakan proses untuk memantapkan pemikiran ekenomi Islam. Sebab mungkin saja saya salah. Kalau ada penentangan pun, saya bersedia menerimanya dengan pikiran yang terbuka, untuk memantapkan lagi…ya demi Islam…demi umat Islam insya Allah.
E: Ada kerumitan yang terjadi ustadz saat Islam sebagai peradaban standard umat manusia, diukur oleh peredaban lain dengan parameter mereka sendiri. Bagaimana pendapat ustadz?
SS: Islam memang peradaban tersendiri. Jadi masalah sekarang ini, peradaban Islam itu, dinilai, dibina dari pada peradaban yang bukan Islam. Itu masalah. Yang akar umbinya di situ.
E: Paradigma mardlatillah yang ustadz gagas seolah senafas dengan paradigma sufistik, yaitu “ilahi anta maqshudiy waridlaaka mathlubiy”. Bagaimana pendapat ustadz dengan hal ini?
SS: Sebenarnya dalam Islam ini ada tiga ilmu fardlu ‘ain. Ada ilmu ushuluddinnya, aqidah. Ada ilmu syariahnya, peraturan-peraturannya, yaitu ilmu fikh-nya. Yang ketiga, ilmu tasawwuf, yang berkaitan dengan akhlak. Jadi, kita nggak bisa pisahkan ketiga-tiganya itu. Jika ada yang mengatakan bahwa pemikiran saya berbentuk sufi, artinya tidak ada ushuluddin, tidak ada fikh. Bukan begitu. Walaupun terlihat begitu, tetap tak bisa dipisahkan adanya ushuluddin dan syariah. Sebab, aqidah itu seumpama akar kepada pokok (kayu), fikh itu seumpama batang kepada pokok itu,tasawwuf itu adalah buah. Jadi kalau sudah ada ushuluddin, aqidahnya kuat, kemudian syariatnya juga kuat, maka akan berbuahlah pokok itu menjadi akhlak. Orang itu pun akan berakhlak. Jelas tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Jadi tidak betul jika dikatakan pikiran saya itu bersifat sufistik. Ketiga-tiganya ada di dalam kandungan pemikiran saya.
Sebab mardlatillah itu, artinya saya bertuhan. Itu kan aqidah. Tetapi di dalam mencari mardlatillah itu, mesti mengikuti syariat. Sebab kalau tidak, tidak akan dapat mardlatillah, kalau melanggar syariat. Begitu juga dalam beraqidah, dalam bersyariah, tetapi sombong, takabbur, nggak bisa juga itu, kan. Itu tidak berakhlak namanya. Jadi ketiga-tiganya bergabung.
E: Apakah soal “Apa Yang Salah dalam Ekonomi Islam Kontemporer” ini terkait dengan fase sejarah yang dihadapi oleh masyarakat Islam pasca kolonial?
SS: Kolonialisasi ini berbentuk kolonialisasi pemikiran. Jadi apabila mereka masih lagi mengatakan bahwa ada bagusnya teori ekonomi konvensional itu, yah boleh kita benarkan untuk ambil dan kita modofikasi, tetapi sebenarnya kita belum membebaskan diri kita dari pada Barat. Sepatutnya kita bebaskan sepenuhnya diri kita. Jadi, alasan mereka begini. Karena katanya Rasulullah Saw juga pada dulu mengambil juga praktis-praktis jahiliah. Masuk praktis-praktis itu ke dalam Islam. Tapi setelah saya meneliti, Rasulullah mengambil itu, tapi menukar bentuknya, dengan memasukkan aqidah dan syariah. jadi bukan diambil jahiliah itu, terus diamalkan seperti jahiliyah. Di peringkat operasional unsur tadi diambil, tetapi di peringkat falsafahnya itu, berbasiskan dari pada aqidah dan syariah.
Kalau ada orang mengatakan bahwa tidak salah kita mengambil dari Barat kalau tidak bertentangan dengan syariah, itu di peringkat operasional. Contohnya, kita mau minum, kita gunakan cawan (cangkir). Tidak apa-apa itu, kan, sebab cawan itu hanya alat. Tetapi kita masukkan aqidah dan syariah pada caranya kita minum itu. Minum dengan bismillah, pakai tangan kanan, itulah aqidah, syariah. masuklah hal itu di situ.
Jadi orang jahiliyah minum dengan cawan, berbeza dengan kita orang Islam minum dengan cawan itu. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa tidak salah kita mengambil dari yang Barat, benar di peringkat operasional, tapi tidak benar di peringkat falsafah. Dan itu masih berbentuk kolonialisme pemikiran.
E: Jadi jika boleh disimpulkan, otokrtik pemikiran ekonomi Islam kontemporer yang ustadz bentangkan itu, dalam rangka membebaskan sepenuhnya pemikiran dari kolonialisme pemikiran barat?
SS: Benar. Sebab saya percaya, apa jua Islam yang mau kita lakukan, dia mesti lahir dari paradigma Islam itu sendiri. Artinya jika kita mau bina dari pada ekonomi Islam, dia mesti lahir dari doktrin Islam itu sendiri. Dari pada aqidah, syariah dan tasawwuf Islam itu sendiri. Dari kerangkanya itu, baru kita lahirkan. Tapi sekarang tidak begitu. Dia lahir dari kerangka konvensional, kerangka Barat. Jadi dia tidak bebas.
Itu yang dikatakan bila New Economic of Islam ini, dia lahir dari pada paradigma, kerangka Islam itu sendiri. Bukan dari pada luar Islam.
E: Bagaimana pandangan ustadaz tentang prospek dan tantangan implementasi ekonomi berbasis paradigma Islam di kawasan nusantara dibandingkan dengan kawasan lain, misalnya Timur Tengah?
SS: Ini agak menarik. Kita dalam dunia ini, yang ramai orang Islamnya, di Timur Tengah dan juga nusantara. Tetapi anehnya sekarang ini, Islam berkembang lebih cepat di negara Barat. Kenapa begitu, saya merasakan bahwa di negara-negara Barat, mereka mengamalkan sekularisme, tapi sekularisme itu menguntungkan orang-orang Islam di sana. Karena sekularisme ini, dia tidak islamic, tetapi dia tidak menghad orang beragama. Berbeda dari pada komunisme. Komunisme itu tidak islamic, namun menghalang orang beragama. Jadi teman-teman kita di negara Barat mengambil peluang itu untuk menyebarkan Islam seboleh mungkin. Dan pemerintah mereka tidak menghalangi. Jadi teman-teman kita di amerika itu, mereka masuk ke dalam penjara, dan mereka masuk Islam. Mereka merasakan itu sebagai aset yang sangat berharga. Mesti mereka perjuangkan. Jadi Islam berkembang cepat di sana.
Berbeza dengan di negara-negara Islam, kalau Islam yang kita dakwahkan itu, berbeza dengan Islam pemerintah, nanti pemerintah akan mengambil tindakan, sehingga gerakan Islam akan terhad (terbatasi). Yang kedua, di negara-negara Islam, orang Islam sendiri merasa puas dengan keislamannya. Jadi mereka tidak menghargai Islam sebagai aset yang berharga. Sebab mereka lahir sudah Islam.
Kemudian kalau bercakap tentang Islamic economics, terutamanya di situ lahir islamic banking and finance, kalau orang di Barat lebih cepat berkembangnya. Karena mereka ada fasilitas yang profesional. Mereka sudah ada pengalaman-pengalaman, ada kemudahan SOP-nya, segi etikanya dan seterusnya, jadi di sana lebih berkembang dibandingkan dengan kita di sini. Yang kadang etika dan SOP-nya begini.
Yang tidak menguntungkan ialah sebagian dari mereka di Barat bukan Muslim. Mereka hanya melihat dari segi keuntungan. Islamic windows. Kalau kita tidak improve fasilitas kita, maka kita nanti ketinggalan. Misalnya soal Halal. Industri halal sekarang di dominasi oleh multi national corporations (MNC) yang bukan Islam. Macam Danone, macam Nestle. Kalau kita di sini, kita hanya punya SME (UKM). Jadi Barat melihat potensi halal itu,niaga dengan cepat. Tapi mereka sendiri bukan Islam. Kita lambat. Mereka menggunakan MNC itu untuk memperkembangkan itu.
E: Seberapa besar prospek kebangkitan Islam di kawasan nusantara?
SS: Prospeknya besar. Sebab jika kita lihat nusantara ini, Allah bagikan kelebihan untuk umat Islam di negara-negara yang berbeza. Orang-orang Islam di Indonesia, banyak ilmunya. Sebagian besar orang Islam di Indonesia ini, ikut di pesantren. Yang kedua, mereka petah (pintar) bercakap. Berani bercakap. Tapi dari segi efesiensi berorganisasinya, boleh dikatakan kurang efesien. Kemudian di negara Brunei, mereka ada kekayaan. Kekuatan orang Brunei, ada di kekayaan. Walaupun organisasinya kurang. Kalau di Malaysia, orang Islamnya itu, agak berorganisasi. Agak ke depan (maju), walaupun tidak ada kekayaan. Walaupun ilmunya tidak tinggi. Kalau orang Islam di Filipina, mereka ada keberanian untuk perjuangkan Islam. Orang Singapura pula ada kecakapan berorganisasi, profesionalisme dan segalanya. Jadi sebenarnya di Nusantara ini, ada kekuatan masing-masing. Kalau kekuatan itu digabungkan, maka umat Islam di Nusantara ini akan menjadi kuat. Sebab ada yang berani, ada yang kaya, ada yang berilmu dan ada yang cakap berorganisasi. Jadi harusnya digabungkan itu, maka insya Allah akan muncul kekuatan Islam di Nusantara ini. Cuma bagaimana kita pikirkan semua kekuatan umat ini boleh bersatu padu, itu memerlukan usaha dan pemikiran lagi.

 

Syahrul E Dasopang/Pemred EkonomiKa

Terpopuler

To Top