Nusantarakini.com, Jakarta –
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane berpendapat, ditempatkannya Ahok tetap di Rutan Brimob, meski perkaranya sudah inkrah adalah sebuah kesalahan dan pelanggaran hukum serius.
“IPW berharap Brimob dan Polri tidak membiarkan pelanggaran hukum ini terjadi dan segera meminta Menteri Hukum dan HAM segera memindahkan Ahok dari Rutan Brimob ke Lembaga Pemasyarakatan (LP),” ucap Neta kepada Nusantarakini.com, Jakarta, Kamis (22/6/2017).
Menurut Neta, sebagai institusi penegak hukum Brimob dan Polri harus bersikap konsisten, profesional, proporsional dan independen, sehingga fasilitasnya tidak disalahgunakan pihak lain, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM.
Neta menegaskan, penempatan Ahok setelah inkrah menjadi narapidana (napi) adalah kesalahan kedua dan pelanggaran hukum kedua yang pernah dilakukan rezim penguasa.
“Anehnya, kesalahan dan pelanggaran hukum ini dibiarkan oleh Brimob dan Polri sebagai institusi penegak hukum dan sebagai pemilik Rutan Brimob Kelapa Dua,” ucapnya.
Pane menerangkan, pelanggaran hukum pertama dilakukan rejim SBY yang mengistimewakan Aulia Pohan di Rutan Brimob. Pelanggaran hukum kedua, kata dia, dilakukan rezim Jokowi yang mengistimewakan Ahok di Rutan Brimob.
Untuk itu, lanjut Pane, Brimob dan Polri tidak boleh membiarkan pelanggaran hukum ini terjadi lagi. Menurutnya, Rutan Brimob tidak boleh diintervensi Kementerian Hukum dan HAM yang seolah olah tidak mau perduli dengan ketentuan hukum yang ada.
“Semua pihak, terutama Menteri Hukum dan HAM harus paham bahwa Rutan Brimob bukan LP. Jika Menteri Hukum dan HAM tidak paham tentang hal ini seharusnya mengundurkan diri saja karena tidak pantas menjadi Menteri Hukum dan HAM,” tegasnya.
Pane menekankan, Menteri Hukum dan HAM harus paham bahwa menempatkan napi di rutan adalah pelanggaran hukum serius. Kenapa napi harus ditempatkan di LP, karena dalam sistem hukum Indonesia dikenal adanya sistem pembinaan bagi narapidana saat menjalani proses hukuman.
“Artinya, semua napi itu harus dibina tanpa pengecualian, termasuk Ahok. Sebab sistem hukum Indonesia tidak mengenal adanya diskriminasi,” tuturnya.
Sementara, ujar Pane lagi, yang memiliki sistem dan fasilitas pembinaan terhadap napi hanya LP dan di Rutan tidak ada sistem dan fasilitas pembinaan bagi napi. Apalagi di Rutan Brimob yang luasnya sangat terbatas dan tergolong sempit.
“Rutan Brimob hanya memiliki empat bangunan berbentuk rumah. Dua bangunan terdapat kamar kamar yang dijadikan sebagai kamar untuk tahanan, sehingga seperti kamar pribadi. Di bangunan inilah Aulia Pohan dan Susno Duaji pernah ditahan. Dari dua bangunan yang terdapat kamar kamar itu, satu bangunan dikhususkan untuk tahanan teroris,” bebernya menerangkan.
“Dua bangunan lagi terdiri dari sel tahanan berjeruji. Di tempat inilah Wiliardi Rizard mantan Kapolres Jakarta Selatan yang dituduh terlibat kasus pembunuhan Nazaruddin pernah ditahan,” tambahnya.
Menurut Pane, Rutan Brimob tergolong sangat sempit dan terbatas, sementara dalam sistem hukum Indonesia seorang napi harus dibina. Sempitnya Rutan Brimob membuat tempat ini tidak lagi bagi napi.
“Saat Aulia Pohan menjadi napi di Rutan Brimob, kamarnya lebih banyak terlihat terkunci dari luar, sementara sang napi tidak terlihat entah dimana. Sempitnya luas Rutan Brimob membuat gerak gerik dan aktivitas semua tahanan menjadi sangat gampang terpantau sesama tahanan,” ungkap Pane.
IPW berharap kesalahan yang dilakukan rejim SBY yang mengintervensi Rutan Brimob hendaknya tidak terulang lagi di era rejim Jokowi. Brimob dan Polri jangan membiarkan pelanggaran hukum ini. Untuk itu harus segera meminta Menteri Hukum dan HAM segera memindahkan Ahok ke lembaga pemasyarakatan agar bisa dilakukan pembinaan sesuai ketentuan hukum. Demikian Neta S Pane. [mc]