Analisa

Pengaruh Agama pada Pilkada DKI Jakarta Putaran Kedua. Ini Analisanya

Nusantarakini.com, Jakarta-

PENGARUH AGAMA PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH PUTARAN KEDUA DI DKI

Oleh: Effendi Ishak

Menjelang pemilihan Kepala Daerah putaran kedua untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, adalah sangat menarik untuk melakukan analisa, tentang sejauhmana pengaruh agama atau peran keyakinan agama dalam pemilihan kepala daerah oleh para pemilihnya.

Khususnya untuk pilkada wilayah DKI menjadi sangat penting untuk mengetahui peranan keyakinan Agama bagi pemilih, mengingat untuk kasus DKI diwarnai dengan adanya peristiwa penistaan Agama yang dilakukan calon gubernur dari incumbent atau petahana yang juga ikut dalam putaran kedua nanti, sehingga menimbulkan resistensi pada sebagian calon pemilihnya, terutama yang beragama Islam.

Korelasi antara pengaruh keyakinan Agama dengan penentuan keputusan pilihan Kepala Daerah, adalah suatu hal yang penting untuk mengetahui perilaku pemilih dalam pilkada DKI.

Dalam suatu pendekatan psikologi, analisis totalitas prilaku seseorang yang tercermin pada berbagai aspek, seperti: kognisi (pikiran), afeksi (perasaan) dan psiko-motorik ( tindakan), yang dipengaruhi oleh keyakinan atau agama yang dianut seseorang, maka analisis model tersebut, dikenal sebagai analisa psikografi ( Deconchy, 1991).

Lebih jauh, analisis berbasis pendekatan psikologi, atas perilaku seseorang, lebih dulu dikembangkan oleh psikolog Glock, pada tahun 1962; yang kedalaman atau intensitas keberagamaan seseorang dapat tercermin pada tindakan serentak pada aspek kognisi, afeksi dan psiko-motoriknya, yang semuanya bisa diukur melalui lima dimensi yang fundamental. Yaitu dimensi dimensi itu, meliputi: (1) dimensi ideologis, (2) dimensi ritualistis, (3) dimensi mistikal atau eksperiensial, (4) dimensi intelektual dan (5) dimensi konsekuensial.

Karena itu, bagaimana peran agama dalam prilaku seseorang yang dikenal dengan psikografi keberagamaan dan digagas oleh psikolog Deconchy, sesungguhnya telah lebih awal dijabarkan secara lebih rinci oleh psikolog Glock. ( Glock, 1962).

Bagi penganut agama Islam atau sebagai seorang muslim, maka dengan menggunakan pendekatan model Glock, seseorang yang telah sempurna dan sepenuhnya menjadi muslim, karena menjadikan perintah dan nilai nilai serta konsep moral Agama, dalam keseluruhan totalitas aktivitas hidup kesehariannya, maka pada orang tersebut niscaya tercermin pada sejumlah perilaku atau sikap dirinya, yang mencerminkan dimensi dimensi sebuah agama.

Dimensi-dimensi Agama

Sikap diri seorang muslim yang sempurna, adalah semestinya mencerminkan dimensi dimensi keberagamaan yang komprehensif dan bersifat utuh.

Pertama, berupa keyakinan pada sistem kepercayaan dalam totalitas kehidupan ini; yaitu tentang sifat dan kuasa yang ada pada Tuhan, cara kerja Tuhan dalam mengelola keberlangsungan kehidupan dunia dan pasca dunia, hubungan Tuhan dengan ciptaanNya berupa manusia dan alam semesta, kepercayaan kepada Rasul yang menyampaikan ajaran ajaran Tuhan melalui kitab suciNya dan kepercayaan akan kehidupan pasca kehidupan dunia. Semua hal inilah yang kemudian disebut “dimensi ideologis” Agama.

Kedua, penguasaan dan pemahaman atas tatacara dan prosedur peribadatan dalam Agama, misalnya tatacara ; shalat, puasa, naik haji, yang merupakan model tatacara menyembah Tuhan, semua ini disebut sebagai “dimensi ritualistik” dalam Agama.

Ketiga, adalah menyangkut penghayatan pada praktek dan nilai nilai Agama yang dijalani dan dipraktekkan dalam kesehariannya atau merasakan adanya keadaan bathin yang menghayati akibat ritual agama yang dialami dan dijalani. Semua itu menjadi pengalaman religius yang mendalam dan terhayati dalam bathin.Dimensi ini adalah sebagai “dimensi mistikal” dari Agama.

Keempat, pada diri seseorang tersebut, telah memiliki sejumlah ilmu pengetahuan yang mamadai tentang agama dan pandangan Agama tentang keseluruhan kehidupan dunia profan atau dunia saat ini serta korelasinya dengan kehidupan pasca duniawi, yaitu alam kubur (alam barzakh) dan alam akherat.

Dan termasuk juga, pemahaman keilmuan: sosial, ekonomi, politik, budaya, sejarah dan peradaban manusia, sebagai fakta nyata tentang hukum hukum sosial yang ada di ruang publik dan sesungguhnya sebagai basisnya yang utama adalah pemahaman keilmuan dasar yang sangat urgen seperti: aqidah, syariah, akhlak dan masalah masalah filsafat dan teologi. Semua ini adalah “dimensi intelektual” dari Agama.

Kelima”, segala gejala kemerosotan sosial dan problem kemanusiaan yang ada dan eksisting dalam peradaban manusia, kemudian bagaimana nilai nilai agama dan ajaran agama, hadir dan tampil untuk memberikan solusi perbaikan sosial, agar masalah kemanusiaan dan peradaban menjadi lebih baik dan berkualitas serta ideal bagi kehidupan manusia, dibawah bimbingan nilai nilai universal ajaran agama dalam semua bidang kehidupan.

Problem problem atau kemerosotan sosial dalam masalah hukum, pendidikan, ekonomi, politik, budaya, pemerintahan, pertahanan keamanan, kesehatan, lingkungan hidup dan kemiskinan; maka bagaimana, ajaran agama dan nilai nilai Agama untuk menjawab dan memberikan solusi aksi dalam merespons semua kemerosotan sosial itu, semua wilayah ini disebut “dimensi konsekuensial” dari Agama.

Kadar Keberagamaan

Kadar Keberagamaan seseorang sangat ditentukan oleh seberapa besar penguasaan, penghayatan, pendalaman, pengalaman serta pemahamannya terhadap dimensi dimensi utuh keberagamaan. Semakin utuh penguasaan, pengamalan dan penghayatan atas dimensi dimensi agama itu, maka tingkat kesempurnaan keberagamaan seseorang semakin tinggi.

Seorang muslim yang sejati dan utuh atau muslim dalam level “kaffah” yang berada dalam Islam secara komprehensif dan menyeluruh sesuai ajaran Al Qur,an dan Hadist Rasul, adalah seorang yang hidup sempurna dalam lima demensi keagamaan, sebagaimana yang diteorisasikan oleh psikolog Glock.

Di Abad XXI, saat ini, yang ditandai dengan era materialisme dan hidup dalam gaya metropolis industrialis, yang memaksa hidup pada umumnya hanya bertitik tumpu pada pola hidup hedonistik yang prgamatis; maka kelima dimensi Agama yang elementer dan substansial seringkali tergerus dan mengalami pendangkalan dan pemerosotan.

Dunia peradaban dan kehidupan modern yang ditandai dengan dominasi sistem perekonomian yang neokapitalis yang menguasai seluruh dimensi kehidupan masyarakat, sehingga interaksi dalam kehidupan masyarakat selalu ditandai dengan pemiskinan makna hidup yang autentik. Realitas keseharian kehidupan lebih didominasi oleh persoalan aktivitas pertukaran nilai nilai materi semata, yang secara obyektif menimbulkan keterasingan atau alienasi pada diri manusia dalam kehidupan. Proses kehidupan seperti ini disebut “komodifikasi” atau merosotnya makna dan nilai manusia yang utuh kemudian hanya dianggab dan diperlakukan menjadi sebagai sebuah benda belaka (George Lukacs, 1960).

Tekanan hidup modern dalam pola hidup yang materialistis akibat hidup dalam sistem dan genggaman perekonomian yang Neoliberalis, sehingga manusiapun menjadi dibendakan atau terkomodifikasikan.
Akibatnya, dimensi dimensi agama juga mengalami pemerosotan yang serius dan akut; khususnya bagi penganut agama di wilayah metropolis perkotaan.

Dalam konteks itu, jika dimensi Ideologikal Agama dalam Agama Islam, mengharuskan agar seorang muslim yang shaleh dan puritan diharuskan jika memilih pemimpin adalah harus pemimpin yang seiman atau seagama, sesuai perintah Tuhan dalam Al Qur,an, Surah ke 5 atau Surah Al Maaidah, ayat 51. Artinya dimensi Ideologikal Agama, kemudian harus diwujudkan dan diselaraskan dengan dimensi konsekuensial agama. Yaitu sesuai ajaran dasar dari perintah Tuhan dalam kitab suci Al Qur,an; maka konsekuensinya seorang muslim sejati harus memilih pemimpin yang juga muslim. Ini artinya selarasnya dan terpadunya berbagai dimensi dalam Islam.

Sikap ini adalah hak asasi dan hak konstitusional seorang warga negara yang baik dalam menggunakan hak pilihnya atas dasar keyakinan agamanya dalam pemilihan pemimpinnya. Karena negara melindungi setiap warga negara dalam menjalankan keyakinan agamanya.

Oleh karena itu, dalam kasus pilkada putaran kedua di DKI, hanya dapat disimpulkan dalam dua kenyataan yang akan terjadi.

Pertama, semakin puritan atau semakin kaffah (utuh) seseorang dalam beragama, karena selalu konsisten pada dimensi dimensi keberagamaan dengan – meminjam pengklasifikasian dimensi dimensi agama yang diteorisasikan oleh Glock – dan seseorang tersebut sebagai muslim puritan atau sejati sama sekali tidak terkontaminasi oleh tekanan modernisasi dengan kekuatan kooptasi budaya ekonomi Neoliberalisme yang menyebabkan manusia teralienasi dan terkomoditasisasi, maka seseorang muslim jenis ini, pasti akan memilih pemimpin yang juga muslim.

Kedua, seseorang yang mengaku muslim dan terdaftar dalam administrasi kependudukan sebagai muslim, tapi sesungguhnya hanya sebagai muslim atau beragama Islam tanpa kedalaman dan penghayatan kepada dimensi dimensi agama yang disebutkan terdahulu, terutama karena lemahnya dimensi Ideologikal Agama, maka tidak dapat dipastikan dan diharapkan merealisasikan dimensi konsekuensial Agama.

Jenis muslim ini adalah menjadi muslim hanya sekedar atribut atau Islam KTP, yang tergilas kehidupan hedonistik dan sikap hidup pragmatis dalam beban hidup yang teralienasi, karena menjauh dari axis ( sumbu) kehidupan religius. Meskipun dia muslim, tapi sesungguhnya hidupnya hampa tanpa makna; sekuler, pragmatis. Terhadap jenis muslim ini, memilih pemimpin non muslim adalah kemungkinannya besar. Wallahu alam bis sawab. [mc]

*Effendi Ishak, President Direktur PT Wahana Consolindo Jakarta. Mantan pengurus PP Muhammadiyah, dan mantan Ketua Partai Matahari Bangsa (PMB)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top