Analisa

Era Liberal akan Berakhir? Simak Analisa Zeng Wei Jian Setelah Kembali dari Semedinya

Nusantarakini.com, Jakarta-

MASA AKHIR LIBERAL
by Zeng Wei Jian

Donal Trump adalah bukti bahwa politik lebih menyerupai “poker game” daripada permainan catur. Perubahan cuaca dan dampak “unexpected events” di negeri seberang bisa mempengaruhi hasil pemilu. “Hard work and intellect make a difference, but political life is also shaped by the winds of chance,” kata Andrew Leigh.

China membuat American public merasa miskin. ISIS menakutkan mereka. Imigran Mexico bikin mereka marah. Mereka ingin Amerika berjaya kembali. Mereka suka slogan Donald Trump: Make America Great Again.

Kemenangan Trump masih dianggap sebagai horror reality show. Liberal, komunis, feminis, mayoritas black dan imigran melihat Trump tak lebih dari seorang rasis-pembohong-sexual predator. Selama masa kampanye, Trump kerap dibully dengan kata “dumb”. Sosoknya disebut “ugly butt president”.

Donal Trump sungguh beruntung. Dia mengalahkan Hillary Clinton di Electoral College dengan 304 : 227 votes. Sedangkan di Popular votes, Trump dicoblos
62,979,879 pemilih dan Hillary dipilih
65,844,954 orang. Jadi masi lebih banyak orang suka kepada Hillary. Selisihnya di atas 2 juta. Namun, sekarang ternyata mayoritas masyarakat Amerika tidak lagi mendukung paradigma liberal Partai Demokrat.

Obama, Demokrat dan Hillary dianggap memiskinkan rakyat Amerika. Sekalipun jargon politik mereka seakan lebih humanis, cerdas dan pluralistik. Amerika memilih kembali pada nilai-nilai konservatif dan nasionalistik. Thus inward looking outlook. Saya kira itu tepat bila America wants to be great again.

Amerika tidak akan makmur bila pekerjaan rakyatnya diambil imigran gelap Mexico, pabrik-pabrik industri dibangun di China, menjadi polisi dunia dan memusuhi Rusia. In short, Amerika tidak akan sejahtera dengan makan slogan-slogan kaum liberal, komunis, humanitarian dan hak-hak asazi minoritas.

Kekalahan Hillary adalah kekalahan kelompok progresif, globalis, pluralis, komunis, liberal, feminis dan LGBT.

Di Jakarta, varian supporter Hillary sama persis dengan kelompok prohok. Pola mereka pun serupa. Hillary dan Ahok sama-sama didukung mainstream media. Trump dibully, karakternya dibunuh oleh CNN, Fox, CBS, NY Times, Washington Post dan sebagainya. Sama seperti Ahok, Hillary didukung mayoritas artis dan selebriti: Jay Z, Jenifer Lopez, Lady Gaga, Elton John, Cher. Bila di Amerika, Jon Bon Jovi ada di belakang Hillary, di Jakarta ada Slank yang gemar nonton-bareng bersama Ahoker baju kotak.

Supporter Hillary mendukung open border policy. Mereka welcome terhadap pekerja ilegal dari Mexico yang dituding Trump sebagai “rapist, drug dealer and criminal”. Di Jakarta, tidak ada satu pun prohok bersikap kritis terhadap TKA ilegal dari China.

Kaum liberal Hillary memberi label rasis kepada Trump dan his supporter. Sama persis dengan perilaku Ahok dan Ahokers yang menuding siapa saja yang kontra Ahok sebagai rasis. Faktanya, di belakang Trump ada sejumlah Black dan Hispanic yang juga pro slogan “build the wall”. Mereka melihat ancaman nasional Amerika dari serbuan imigran ilegal Mexico.

Seperti tabiat supporter Hillary, di sini pun pendukung Ahok beringas di sosial media.

Walau sama-sama bikin gaduh, Ahok berbeda dari Trump. Bila Ahok gemar cari donasi, Trump membiayai sendiri kampanyenya. Trump menolak dana dari para donors.

Soal verbal abuse, Trump tidak tedeng alih-alih. Baik di depan, mau pun di belakang, Trump sebut Hillary sebagai “pembohong besar”. Ahok lebih munafik. Dia tidak pernah sebut nama orang yang dia serang. Dia sebut “oknum”. Sekali pun, sama-sama Kristen, Trump anti alkohol. Di balik itu semua, minimal Trump tidak pernah menista Surat Al Maidah 51. Kemungkinan besar, Ahok tidak seberuntung Trump. (*mc)

THE END

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top