Nasional

Dr. Aji Mulawarman: Mengatasi Turbulensi Pada Umat Pasca Ahok, Reorientasi Ini Yang Perlu Diinsyafi

Nusantarakini.com, Jakarta –

Pasca tumbangnya Ahok, pergerakan umat Islam seolah menghadapi masalah disorientasi. Hal itu disebabkan pergerakan yang massif selama tahun 2016, tertuju dengan kuat bagaimana menumbangkan Ahok. Setelah itu, pergerakan sibuk menangkis serangan kriminalisasi terhadap para penggerak umat.

Saat pergerakan umat sibuk menangkis, disorientasi dan bahkan demoralisasi terjadi secara bersamaan atas berbagai sebab yang tak perlu.

Dr. Aji Dedi Mulawarman mengingatkan umat agar tetap memusatkan perhatian agar tidak terjerumus pada strategi lawan dalam upaya mengecoh dan melemahkan pergerakan umat. Untuk itu, umat harus tahu, orientasi masa depan pergerakan umat secara jelas, step by step. Tanpa mengetahui tahapan-tahapan masa depan pergerakan umat, umat sulit berderap bersama dengan pemimpin-pemimpinnya.

Lebih lengkap isi pidato Dr. Aji Dedi yang juga Direktur CSIL, berjudul Pemetaan Strategis CSIL: Alternatif Jalan Keluar Turbulensi Untuk Masa Depan Umat sebagai berikut:

Yang Kami Hormati, Dewan Pembina, Dewan Pengawas, Dewan Pengurus Yayasan Waqaf Indonesia Mengabdi (YAQIN), Dewan Pakar dan Eksekutif CSIL, tuan rumah Yayasan Wanita Sejahtera, Undangan yang hadir,

Assalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh

Alhamdulillahirrabbil’alamin. Segala Puji Bagi Allah SWT, Yang Maha Rahman dan Maha Rahim. Hanya kepada-Nya-lah kita selalu berdoa, berharap segala kebaikan diri, kesejukan hati, serta kekuatan memakmurkan alam semesta milik-Nya dalam barisan ummatan wahidah, ummat yang utama. Semoga pula karena ridho-Nya kita selalu mendapatkan energi Ilahiah tanpa batas, menjadi pengabdi-pengabdi termulia, baik di negeri tercinta kita ini, dunia yang telah dihamparkan-Nya, membawa panji Peradaban Rahmatan lil ‘Alamin.

Ucap syukur hanyalah dipersembahkan kepada Allah SWT. Karena dengan mengagungkan puji syukur hanya untuk Allah SWT semata itulah, disebut Ibn Athaillah, sifat seorang Mukmin Sejati, untuk selalu ingat tanpa henti kepada-Nya,  sehingga tak sempat lagi kita mematut dan memuji diri sendiri, sebagaimana Mukmin menunaikan kewajiban-kewajibannya terhadap Allah sehingga lupa akan kepentingan diri sendiri.

Semoga kita adalah para Pencinta Allah Sejati, yang berkorban hanya kepada Allah tanpa mengharapkan imbalan dari-Nya. Demikian pula perjuangan dan keikhlasan kita semua sehingga keberadaan CSIL sampai seperti saat ini, sebagai bagian dari Izzul Islam wal Muslimin, hanyalah karena kecintaan kita kepada-Nya, Amin.

Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah, Muhammad SAW, Pejuang dan Guru Para Pencinta Allah Sejati, sang Pemberi Suri Tauladan, Ushwah, untuk selalu ingat dan berjuang bersama hanya atas nama Allah. Bahkan sampai detik-detik akhir menjelang akhir hayatnya, ushwah berjuang untuk ummat dan bukannya sendiri-sendiri apalagi untuk kepentingan diri sendiri, tetap terucap melalui tiga kata sakral beliau, Ummati-Ummati-Ummati, seakan menjadi simbol perjuangan tanpa henti, sepanjang hayat di kandung badan.

Pesan Rasulullah di atas sebenarnya bagian dari implementasi konkrit Qur’an Surat Ash-Shaff ayat 4 “innallaha yuhibbulladzina yuqootiluuna fii sabiilihi shaffa ka’annahum bunyanun marshush” bahwa keutamaan berjuang di jalan Allah adalah dalam kebersamaan barisan yang teratur, seperti bangunan yang tersusun kokoh, itulah barisan ummah, serta ayat 11, “bi amwalikum wa anfusikum”, dengan harta dan jiwa. Maka, sebagaimana ditegaskan dalam Qur’an Surat Az-Zumar ayat 73, “wasiiqolladzinattaqow robbahum ilal jannati zummaro”, barisan ummat atau rombongan orang-orang bertaqwalah yang dijanjikan surga. Kami rasa semangat keumatan itulah yang harus menjadi Simbol Perjuangan CSIL sampai kapanpun. Amin.

Bapak Ibu yang Kami Hormati,

Seperti telah kita ketahui bersama, janji reformasi 1998 tidaklah seperti yang kita bayangkan bersama, malahan penyakit-penyakit Orde Baru nampaknya makin menguat menjadi memuncaknya ketimpangan-ketimpangan akibat pemusatan elit-elit dalam penguasaan ekonomi, sosial dan politik lewat agenda neoliberalisme, sekularisme dan demokrasi liberal. Ketimpangan berhadapan dengan oligarkhi elit itulah yang menciptakan kontradiksi-kontradiksi kontekstual yang melanda negeri dan umat Islam saat ini sehingga membentuk turbulensi politik tak berkesudahan. Bahkan, kini telah merangsek menjadi pemicu turbulensi kompleks pada aspek hukum, budaya, keamanan dan seluruh aspek turunan lainnya. Turbulensi makin meningkat sejak peristiwa penistaan agama oleh Basuki Cahaya Purnama dan bergeraknya jutaan umat. Gerakan jutaan umat melalui simbol baru perlawanan umat di negeri ini, kemudian membangkitkan perlawanan yang mampu menerobos batas-batas kepemimpinan nasional lewat mitos besar demokrasi politik, ekonomi dan hukum di bawah satu komando yang sangat fenomenal, Habib Rizieq Shihab. Tetapi, gerakan, perlawanan, kebangkitan dan kepemimpinan umat ini bukannya tanpa rintangan dan penentangan yang juga masif.

Kegaduhan tidak hanya terjadi pada penggembosan, fitnah, intimidasi, pemberangusan, framing menyimpang, dan pengkhianatan para penentang gerakan umat, di lingkaran ummat sendiri bahkan terjadi kegaduhan yang tidak kalah simpang siur seperti mentalitas ingin berkuasa atas nama ummat, menyalip di tikungan maupun penunggangan politik sampai ekonomi hingga peran sosial sepertinya telah mengakibatkan kegaduhan tanpa henti sampai per hari ini, sejak Aksi Bela Ummat 411 hingga puncaknya 212. Seharusnya umat yang terkoneksi dengan kekuatan gerakan ummat ini melakukan ikatan yang sangat kuat, bahkan bila perlu mendorong terjadinya kesatuan langkah untuk menghadapi gempuran turbulensif.

Bapak Ibu yang Kami Hormati

Agar kontradiksi tidak pula terjadi, ketimpangan bahkan oligarkhi baru muncul di tengah semangat perubahan keumatan, maka yang perlu dilakukan adalah para pemimpin ummat mencoba mengonsolidasi kekuatan, duduk bersama sejajar, bukan siapa duduk di atas sedangkan yang lain duduk di bawah mendengarkan klarifikasi misalnya. Semua yang merasa sebagai bagian dari perjuangan ummat perlu mengikhlaskan dirinya, menundukkan pandangannya, menggandengkan tangan setara, sebagaimana Rasulullah SAW memberikan uswah hasanah-nya melalui simbol “Syura berbasis Sahabat” menghancurkan oligarkhi Makkah lewat simbol persahabatan yang bersifat komunal lewat pesan persahabatan kaum anshar dan muhajirin. Manajemen Rasulullah adalah mekanisme mutakhir yang ditawarkan dari hasil evaluasi kesejarahan yang telah dilakukan di jaman kerasulan dan kenabian sebelumnya, di mana Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa masih belum menyelesaikan secara tuntas mekanisme pembangunan peradabannya berbasis “per-sahabat-an”. Persahabatan jelas sekali bukan berorientasi “per-mitos-an”, “per-konco-an”, “per-kroni-an”, “per-oligarkhi-an” atau “per-ashobiyah-an” dan semacamnya. Tidak bisa negeri dan peradaban dengan jumlah ummat ratusan juta hanya dikelola oleh model Musa dan Harun, atau Ibrahiim-Ismail-Ishak atau yang lebih maju Isa dan 12 sahabat.

Syura Persahabatan ala Muhammad SAW tidak mengenal batasan kecil, tetapi setiap yang disebut Muslim adalah Keluarga sekaligus Sahabat, semuanya berbasis Ketakwaan untuk melawan ketidakadilan, kezaliman dan berhala-berhala dunia. Artinya, mentalitas syura atas keumatan harus tetap mengedepankan struktur kebudayaan birrul walidain, sehingga representasinya yang paling tepat bagi diwujudkannya Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Berbasis AHWA itulah kemudian Syura berbasis Sahabat menjadi penting sebagai jalan pendorong eksekusi aksi. Inilah yang saya bayangkan dan disebut oleh para kasepuhan CSIL sebagai Prophetic Leadership atau Kepemimpinan Nubuwwah.

Sepertinya, dua mekanisme tersebut perlu dijadikan dasar dalam mekanisme keumatan saat ini. Tanpa hal tersebut, maka semua makin kabur, dan sebagaimana juga yang telah terjadi dan menjadi pengalaman historis kita pasca 1998. Ya, kita semua tahu bahwa para ulama nasional masa kemerdekaan 1945 telah memberikan contoh sehat dan berjiwa negarawan, bukannya jiwa “pingin manggung” yang telah terbukti dalam model kenegaraan Pancasila dan diturunkan dalam UUD 1945 kita yang “lama”. Sayangnya, jejak sejarah “Islami” dalam ruang ketatanegaraan kita telah direduksi habis-habisan pasca amandemen dan aturan-aturan di bawahnya yang bergerak makin menjadi liberal-liar hingga teknisnya di aturan pemilihan umum presiden, legislatif, DPD, dan kepala daerah.

Membincangkan sistem demokrasi dan politik saat ini tidak bisa hanya misalnya dengan melakukan agenda taktis dan teknis. CSIL merasa perlu mendorong rancangan masa depan kepemimpinan nubuwwah yang tersusun rapi sebagaimana diingatkan Allah dalam surat Ash-Shaff dan Az-Zummar. Beberapa hal harus didorong ke depan oleh CSIL sebagai lembagsa think thank yaitu kepemimpinan nubuwwah sebagaimana dijelaskan di atas. Untuk itu maka gagasan kita tentang Desain Kepemimpinan Nubuwwah harus dibincangkan serius dalam tahun 2017 ini untuk menjadi aras atau mainstream baru ala Indonesia, yang menjadi rujukan kepemimpinan ummat. Di dalamnya terdapat pula gagasan dan perkaderan kepemimpinan umat secara nasional sekaligus bersifat lokal. Susunannya dapat berupa tiga desain: pertama, gagasan utama berorientasi normatif Qur’an dan Sunnah yang diadaptasikan pada koridor kembalinya UUD 1945 yang berasas Pancasila; kedua, arah ketatanegaraan Keindonesiaan (bagaimana membumikan perpolitikan nasional  berbasis syura, sistem kepartaian dan dan kepemimpinan nasional); ketiga, arah strategis 2017-2040 (dari yang adaptif demokrasi kontekstual menuju intervensi kepemimpinan nubuwwah hingga kembalinya Pancasila sebagai dasar UUD 1945 yang aplikatif dalam kepemimpinan nasional hingga daerah).

Bapak Ibu yang dirahmati Allah,

Sebagai salah satu implementasi awalnya bisa jadi apabila rencana Majelis Umat Islam Indonesia yang di dalamnya terdapat gabungan banyak tokoh untuk ulama, pemimpin formal dan informal, cendekiawan, saudagar, tokoh umat lainnya, dapat dilaksanakan pula dalam waktu yang tidak lama. Sedangkan sebagai jalan “antara” selama Desain Kepemimpinan Nubuwwah yang sangat dekat dengan ide Syura berbasis Pancasila sila keempat belum menjadi kenyataan, maka harus dilakukan persiapan yang sangat kuat dalam tiga hal penting. Pertama, menyiapkan kader kepemimpinan daerah dan nasional di tahun 2018, 2019, 2024, dan 2029 yang menjadi dasar bagi penguatan kepemimpinan nubuwwah tahun 2040; Kedua, riset dan database nasional ummat Islam untuk menjadi dasar bagi analisis politik ummat baik daerah maupun nasional. Ketiga, Kajian serius untuk mendorong pada alternatif maupun usulan perubahan ketatanegaraan dan regulasi nasional sesuai jiwa kenegaraan kita yang asali, Pancasila dan UUD 1945 sesuai semangat para founding fathers di mana para ulama waktu itu ikut berperan aktif.

Sebagai vitamin bagi kita semua, telah hadir Bapak Fuad Amsyari, intelektual Muslim yang kami hormati dengan ceramahnya yang berjudul Kepemimpinan Nasional dan Masa Depan Ummat. Terimakasih Bapak atas kesediannya dalam memberikan masukan bagi gerakan CSIL ke depan. Demikian yang bisa saya sampaikan semoga apa yang kita ikhtiarkan bersama setelah kita masuk dalam kawah condrodimuko lebaran makin menguatkan kita. Semoga ayat qur’an surat Ash-Shaff dan Az-Zummar sebagaimana saya kutip di awal dapat memberi semangat dalam makin merekatkan kita semua dan benar-benar menjadikan kita adalah bagian dari dan yang ikut menata barisan umat agar konsolidasi serta tujuan kepemimpinan nubuwwah menjadi kenyataan menyejarah di negeri ini. Terimakasih kepada Yayasan Wanita Sejahtera, yang telah memfasilitasi penggunaan gedung Dewi Sartika ini, semoga hari ini adalah saksi keberlanjutan kerjasama yang makin erat demi perjuangan menegakkan kebaikan di negeri ini.

Taqabbbalallau minna wa minkum

Taqabbal yaa karim

Billahi fi sabilil haq

Wassalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh. (gtr)

Terpopuler

To Top