Budaya

Kenapa Orang Sunda Tidak Boleh Menikah Dengan Orang Jawa? Ini Jawabnya!

NusantaraKini.com, Jakarta—Pembaca pasti pernah mendengar mitos dari orang zaman dulu atau justru dari orang tua kita, kalau orang Jawa dilarang menikah dengan suku sunda. Pasti kamu bertanya-tanya, kenapa? Segudang pertanyaan itu bakal terjawab lewat keterangan

Mitos pelarangan pernikahan orang Jawa dan Sunda masih dipegang segelintir orang. Meski tak ada literatur penyebab pasti asal usul diharamkannya perkawinan itu, namun dipercaya hal tersebut berasal dari peristiwa perang Bubat. Gara-gara pertikaian ini banyak orang Jawa dan Sunda gak bisa menikah. Dimana-mana perang memang tidak bagus. Lalu apakah perang Bubat itu?

Perang Bubat diawali dari niat Raja Majapahit ke 4 yakni Hayam Wuruk yang ingin memperistri Puteri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Tanah Pasundan. Konon Putri Pitaloka sangat cantik dan Hayam Wuruk tertarik setelah melihat wajahnya dari lukisan yang beredar di Majapahit. Si pelukis bernama Sungging Prabangkara. Selain tertarik, ada unsur politis juga. Majapahit berencana bersekutu dengan Negeri Sunda. Atas restu seluruh penasihat Raja dan sesepuh Majapahit, Hayam Wuruk mengirim surat pada Maharaja Linggabuana, bapaknya Sang Puteri Pitaloka. Surat itu diterima baik dan pernikahan bakal segera digelar di Majapahit.

 

ilustrasi perang bubat via : kaskus.co.id

ilustrasi perang bubat via : kaskus.co.id

Maharaja Linggabuana pun berangkat bersama rombongannya ke Majapahit dan diterima. Mereka menempati Pesanggrahan Bubat. Namun saat melihat pasukan wilayah Sunda, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menaklukkan tanah Pasundan. Ini menyesuaikan dengan sumpahnya, Palapa, yang dia buat sebelum Hayam Wuruk berkuasa. Seluruh nusantara sudah dikuasai Majapahit kecuali Kerajaan Sunda.

Gajah Mada lantas menganggap kedatangan rombongan Maharaja Linggabuana adalah bentuk penyerahan diri kepada Majapahit. Gajah Mada pun mendesak Hayam Wuruk menerima Pitaloka bukan sebagai pengantin melainkan tanda penaklukkan tanah Sunda oleh orang Jawa. Ini dijelaskan dalam Kidung Sundayana.

Hayam Wuruk galau atas desakan Gajah Mada lantaran mahapatihnya itu memang besar pengaruhnya. Belum lagi memutuskan, Gajah Mada sudah mendatangi rombongan Maharaja Linggabuana dan menyampaikan maksudnya. Jelas saja pihak Pajajaran tidak terima jika kedatangan mereka dianggap hanya menyerahkan Pitaloka. Insiden tak terelakkan. Kedua pihak mulai menghunus senjata. Perang Bubat pun terjadi dan sangat tidak seimbang lantaran pasukan Gajah Mada terlalu besar. Perang berhenti saat Maharaja gugur.

 

Ilustrasi Perang Bubat via : kaskus.co.id

Ilustrasi Perang Bubat via : kaskus.co.id

Tradisi mengatakan Puteri Dyah Pitaloka sangatlah berduka. Dia akhirnya bunuh diri (bela pati). Hal ini sering dilakukan orang-orang zaman dulu terutama wanita yang para lelakinya gugur. Bunuh diri dianggap perbuatan terpuji membela harga diri dan melindungi kesucian mereka

Tewasnya Maharaja Linggabuana membuat rakyat Sunda marah. Takhtanya diberikan pada sang anak Prabu Niskalawastu Kancana. Saat naik takhta itulah Kancana memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan memberlakukan peraturan ‘larangan estri ti luaran’ (melarang istri dari luar). Maksudnya dari luar kalangan orang Sunda. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih spesifik, yakni melarang orang Sunda menikah dengan orang Jawa. Jadi begitu mitosnya , tetapi seharusnya mitos itu saat ini tidak boleh dipercaya lagi. Manusia dinilai bukan dari sukunya, tapi dari kebaikan hatinya. Setuju, kan?/STS/ dikutib dari www.bintang.com

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top