Ajaran Leluhur, Kebudayaan dan Kearifan Lokal, serta Kesaktian dari Jati Diri Bangsa

Nusantarakini.com, Jakarta –Ajaran leluhur, kearifan lokal serta kebudayaan adalah merupakan jati diri bangsa yang harus dilestarikan secara turun temurun. Sebab itu adalah ajaran sakti dari leluhur yang bisa membawa suatu Bangsa untuk mencapai kesejahteraan yang berkeadilan.

Hal ini sudah dibuktikan oleh bangsa Tiongkok yang selama ribuan tahun dalam menjaga dan melestarikan budayanya dan kearifan lokal yang merupakan kesaktian dari ajaran leluhurnya. Yang mana kemudian menjadi karakter bangsa untuk membawa bangsa Tiongkok menjadi pusat peradaban dan ekonomi dunia.

Tiongkok membuat mata seluruh dunia terbelalak menyaksikan kemajuannya. Hanya perlu beberapa puluh tahun untuk bangkit dari keterpurukan, kemiskinan, Perang Candu I dan II, perang dengan koalisi 8 Negara, juga revolusi kebudayaan era Mao. Namun saat ini telah mampu menduduki dirinya sebagai kekuatan nomor 1 di dunia, menggusur Amerika dan melampaui ratusan tahun pencapaian negara-negara Eropa.

Itu terjadi karena Tiongkok menjunjung setinggi-tingginya ajaran leluhur bangsanya. Dan menjadikan sebagai ajaran-ajaran yang bijak dari leluhurnya sebagai pedoman hidup mereka, penuntun mereka dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai penuntun untuk bekerja, berkarya dan sepenuhnya kepada kearifan nenek moyangnya.

Agama impor tidak dilarang untuk berkembang di Tiongkok. Agama kepercayaan rakyatnya adalah tanggung jawab pemerintah. Mulai dari pembangunan tempat ibadah sampai yang bekerja di tempat-tempat ibadah dibiayai oleh pemerintah. Yang dilarang adalah melakukan ibadah di luar dari tempat yang sudah disiapkan pemerintah, dan budaya agama asal itu yang dilarang dengan tegas.

Ketegasan ini adalah bertujuan untuk melindungi kemurnian ajaran-ajaran leluhur dari rongrongan ajaran impor. Agar supaya jangan sampai bangsa yang besar kehilangan jati dirinya dengan meninggalkan ajaran-ajaran sakti dari leluhurnya tersebut.

Pemerintah Tiongkok belajar dari sejarah dari Amerika Latin, Afrika, Suriah, Libya, Irak, Lebanon, Afganistan dibuat porak poranda oleh tangan agama. Pemerintah Tiongkok menyadari itu semua, betapa luhurnya ajaran nenek moyangnya, dan betapa merusaknya ajaran ajaran impor tersebut.

Di Indonesia ajaran-ajaran leluhur kita berusaha disingkirkan oleh agama-agama impor. Anak bangsa diadu domba dan terus dibenturkan satu dengan lainnya atas nama agama impor, egoime sektarian ditanamkan sedalam-dalamnya, dan mudah dipecah belah.

Bahkan wayang kulit, keris, adat istiadat, budaya dengan kearifan lokal bangsa Indonesia, semuanya dibilang syirik, musyrik, panyembahan berhala dan ditakut-takuti bahwa semuanya akan membawa mereka ke dalam neraka oleh pemuka agama impor.

Baru-baru ini, di Medan, Sumatera Utara, ketika ada pertunjukan budaya lokal, berupa Jaran Kepang tiba-tiba mau dibubarkan oleh sekelompok orang yang menamakan diri mereka sebagai Laskar Umat Islam dengan tuduhan musyrik. Siapapun mereka, organisasi apapun, ini sangat membahayakan kelangengan budaya bangsa, negara wajib hadir.

Jika kembali kepada budaya dan kearifan serta jati diri bangsa, jauh sebelum adanya agama impor, leluhur nusantara sudah mampu membangun Borobudur yang setara dengan warisan imperium seperti piramida di Mesir maupun tembok raksasa di Tiongkok. Sebelum Indonesia ada Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai dua pusat kerajaan dan tercatat sebagai kekuatan Regional saat itu.

Jadi sejatinya leluhur dan budaya bangsa Indonesia jauh lebih tua dan lebih sakti dari ajaran-ajaran impor. Sejarah sudah membuktikannya.

Sedangkan Tiongkok karena menjalankan ajaran leluhurnya dengan baik, maka Tiongkok yang memiliki kebudayaan tertua dan tertinggi di dunia mampu bangkit dari kehancuran yang ditimbulkan negara-negara Barat yang melumpuhkan semangat bangsanya dan pemusnahan kebudayaan yang hampir meruntuhkan bangsanya. Melalui perang candu, revolusi kebudayaan, perang dengan koalisi 8 negara memakan korban jutaan orang, memiskinkan negaranya dapat bangkit kembali.

Kalau China bisa, kenapa kita tidak?

Jakarta 11 April 2021.

Chandra Suwono, Pengamat Politik, Budaya dan Geostrategis.