Nasional

Politik Daging Sapi Di Masa Jokowi, Siapa Untung Siapa Buntung?

IMG-20160719-WA0024Nusantarakini.com, Jakarta. Jungkir balik kebijakan Kementrian Pertanian untuk menekan harga daging sapi telah memakan korban dan sekaligus menguntungkan pihak tertentu.

Pada awal tahun 2015 harga daging sapi belum melambung. Amran Sulaeman selaku Menteri Pertanian dengan percaya diri mengatakan bahwa pemerintah akan menghentikan import jeroan daging sapi dengan alasan jeroan bukan makanan manusia. “Jeroan kita impor. Itu makanan anjing-kucing di sana (luar negeri). Langsung saya tutup impornya,” ujar Amran di Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (26/1/2015)

Namun harga daging sapi terus merangkak naik. Dan di pertengahan tahun 2016 harga daging sapi “meluncur seperti roket”. Padahal berbagai operasi pasar telah digelar tahun tetapi harga daging tetap tidak kunjung turun. Ini ibarat resep obat, jika diagnosanya keliru, maka obat yang diberikan jelas tidak akan menyembuhkan penyakitnya.

Hal ini memaksa Mentan harus menjilat ludahnya kembali. Ia pun mengeluarkan jurus yang dipandang jitu yaitu membuka izin swasta impor jeroan dan daging sapi ‘Secondary Cut’. Amran menuturkan, dengan adanya pergantian regulasi lama menjadi yang baru maka akan membuka jalan bagi perusahaan swasta untuk impor jeroan dan daging jenis secondary cut.

“Regulasi kita ubah, Isya Allah mudah-mudahan hari ini kita tanda tangan. Khususnya secondary cut kami buka, jeroan kami buka, asal negara yang penting bebas PMK,” ujar Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (12/7/2016).

Regulasi yang dimaksud adalah revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dan Permentan Nomer 58 tahun 2015. Menurut UU ini pemerintah tidak diperbolehkan mengimpor sapi siap potong. Pemerintah hanya boleh mengimpor sapi bakalan atau sapi yang mesti melalui proses penggemukan terlebih dahulu di dalam negeri.

Tujuan UU ini dibuat adalah untuk menjaga harga daging sapi tetap terjangkau. Selain itu, agar impor sapi tidak mematikan peternak lokal.

Namun, menurut Amran, yang terjadi kini, sapi-sapi bakalan malah lebih mahal daripada sapi siap potong. “Tapi yang terjadi malah sebaliknya,” ujar Amran. Oleh sebab itu lah pemerintah akan merevisi UU tersebut direvisi agar pemerintah diperbolehkan mengimpor sapi siap potong. Namun Amran menekankan bahwa kebijakan baru itu tidak akan mematikan peternak lokal.

Perubahan kebijakan drastis ini memakan korban. Muladno Basar, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan harus lengser dari jabatannya. Ia diberhentikan oleh Jokowi karena dianggap gagal menurunkan harga daging sapi selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri. “Saya tidak mundur, tapi diberhentikan. Saya tidak tahu karena saya belum terima Keppres-nya,” ujar Muladno yang juga guru besar lPB.

Untuk memuluskan kebijakan ini, selain menugaskan BUMN, pemerintah juga melibatkan perusahaan swasta dalam importasi daging sapi beku jenis secondary cut. Salah satu perusahaan swasta yang ketiban sampur untuk impor daging yakni PT Sumber Agro Semesta (SAS) milik Tomy Winata. Perusahaan yang berkantor pusat di Lampung ini merupakan anak usaha dari Grup Artha Graha atau Artha Graha Network.

Tomy menuturkan bahwa daging yang selama ini dipakai pemerintah untuk operasi pasar murah di ribuan titik adalah hasil import dari lembaga miliknya. Oleh lembaga miliknya itu, daging sapi dijual Rp 75.000/kg.

Apakah kebijakan membuka kran import sapi ini merupakan solusi tepat untuk menurunkan harga daging sapi di pasaran? Dan kebijakan tepat untuk menjadikan Indonesia swasembada sapi sesuai janji kampanye Jokowi?

Atau sebaliknya hanya sebuah kebijakan jangka pendek untuk membalas jasa para cukong yang mendukung saat Pilpres 2014 lalu?

Drama politik sapi tampaknya akan terus berjalan. Bagaimana akhir cerita episode ini? Apakah petani peternak akan semakin sejahtera atau sebaliknya? Hanya waktu yang akan menjawab.

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top