Nusantarakini.com, Makkah –
Akhir-akhir ini kita saksikan maraknya suara-suara kekhawatiran bahkan kemarahan, sekaligus resistensi dari berbagai kalangan terhadap berbagai ketidakbecusan sikap pemerintah terhadap pemilu dan pilpres kali ini. Selain datang dari guru-guru besar dari berbagai universitas, para aktivis LSM, Alumni Timur Tengah dan juga Alumni Perguruan Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Kesemua mereka ini khawatir, bahkan marah dengan perkembangan dan sepak terjang pemerintah, khususnya presiden, dalam menyikapi pilpres. Mereka marah dan muak dengan cara-cara yang diambil Presiden dengan terbuka ikut menentukan capres dan cawapres. Dimulai dengan secara terbuka mengakui ikut cawe-cawe menentukan capres dan cawapres, terbuka tidak netral dengan mendukung paslon 2. Bahkan ada indikasi jika fasilitas negara (bansos misalnya) ikut diarahkan untuk mendukung paslon no. 2.
Tentu yang paling runyam, berbahaya dan memalukan adalah proses pencawapresan paslon no. 2 yang penuh manipulasi, termasuk manipulasi aturan melalui cara-cara nepotis yang memalukan. Siapapun, bahkan anak kecil di pinggir jalan pastinya tersadarkan bahwa ada kesalahan mendasar yang sedang terjadi dengan pencawapresan anak Presiden itu.
Di sinilah kemudian suara-suara kemarahan dan resistensi itu disuarakan dengan lantang oleh pada akademisi di berbagai universitas, aktivis yang tergantung dalam banyak LSM, hingga berbagai asosiasi alumni seperti alumni Timur Tengah dan Perguruan Muhammadiyah.
Saya bahkan yakin jika kemarahan dan resistensi itu terjadi secara luas di kalangan masyarakat. Hanya saja mereka tidak menemukan media untuk mengekspresikan kemarahan mereka. Bahkan kekecewaan itu juga terjadi di internal pemerintahan Jokowi, saperti yang kita lihat pada pernyataan-pernyataan beberapa menteri.
Karenanya untuk memudahkan bagi masyarakat membaca “mindset” dari kemarahan, kekecewaan dan resistensi banyak kalangan tersebut, saya menyampaikan beberapa alasan penting. Perlu tentunya diingat bahwa kekecewaan dan kemarahan kepada pemerintahan Jokowi ini, merupakan aktualisasi dari kekecewaan, kemarahan dan resistensi kepada paslon no. 2 Prabowo-Gibran.
Berikut alasan-alasan itu:
Satu, Proses pencalonan Prabowo yang penuh dengan rekayasa dan intervensi kekuasaan. Pencalonan seperti ini dengan sendirinya menggambarkan jika dalam pencalonan ini Prabowo berwujud boneka kekuasaan. Prabowo kehilangan self trust (percaya diri) dan independensi. Dia lemah dan tidak percaya diri tanpa dukungan penguasa (incumbent).
Dua, Presiden secara terbuka cawe-cawe atau memihak dalam pilpres ini. Presiden dengan cawe-cawe ini bahkan telah melakukan pelanggaran Konstitusi dan etika berat. Presiden yang masih aktif adalah milik semua rakyat. Termasuk milik semua capres yang berkompetisi. Sehingga Presiden harus menempatkan diri sebagai pemimpin bagi semua.
Tiga, proses-proses yang terjadi dalam membangun koalisi dukungan bagi paslon no. 2 penuh dengan manipulasi yang memalukan. Petinggi-petinggi Partai setengah paksa dengan ancaman “kriminalisasi” atas kesalahan masa lalu jika tidak mendukung. Bahkan belakangan ini ada pemaksaan secara halus kepada elit-elit politik, gubernur misalnya, untuk mendukung paslon no. 2 dengan ancaman yang sama.
Empat, pernyataan presiden secara terbuka membolehkan dirinya untuk mendukung bahkan berkampanye bagi paslon tertentu (tentu pason no. 2). Hal ini membuka kesempatan kepada seluruh aparatur negara dan ASN. Keadaan ini kemudian diperburuk dengan secara terbuka dan tanpa malu-malu menggunakan bansos sebagai alat promosi paslon tertentu. Presiden bahkan meminta kepada Menteri Keuangan untuk menaikkan dana bansos (di musim kampanye ini).
Lima, yang paling runyam dan memalukan sebenarnya adalah ketika tokoh-tokoh politik nasional, pemimpin Partai-Partai besar, dipaksa secara halus untuk tunduk patuh kepada keinginan Presiden Jokowi untuk melanjutkan kekuasaan melalui dinasti yang dia bangun. Dan proses itu terjadi secara jahat melalui kolaborasi nepotis (adik ipar) yang saat itu sebagai Ketua MK untuk meloloskan penggantian aturan batas minim umur untuk seseorang dicapreskan atau dicawapreskan. Anak Jokowi pun jadi cawapres melalui aborsi paksa politik di MK.
Kesimpulannya sangat wajar dan rasional jika Asosiasi Alumni Perguruan Muhammadiyah menyerukan melalui petisi kepada seluruh warga Muhammadiyah untuk menghapus Prabowo-Gibran sebagai pilihan pada pilpres kali ini. Saya sangat memahami bahkan sebagai alumni pesantren Muhammadiyah saya ikut mendukung.
Asosiasi Alumni Perguruan Muhammadiyah bahkan menyerukan kepada semua kader Muhammadiyah yang mendukung dan menjadi tim pemenangan Prabowo-Gibran agar mundur dan bertaubat. Tentu saya memahami seruan ini. Karena mendukung Prabowo-Gibran mengotori hati nurani serta merendahkan akal sehat.
Dan pastinya dengan hal-hal di atas dan dukungan Oligarki Prabowo-Gibran justru saya lihat sebagai ancaman bagi demokrasi dan institusi kenegaraan, termasuk demokrasi ke depan. Semoga tidak demikian.
Aminkan aja dulu! [mc]
*Shamsi Ali Al-Kajangi, Presiden Nusantara Foundation.