Nusantarakini.com, Magelang –
Beberapa pihak masih suka mencampuradukkan antara “pengadaan stroom pembangkit” (sewa, beli, sewa/beli, BOT, Exees Power, Captive Power dll) dengan “system kelistrikan” dalam rangkaian dari hulu ke hilir (“Verticaly Unbundling”, “Horizontally Unbundlaing”, “Verticaly Integrated System”).
I. Masalah Teknis
Sebuah Perusahaan pembangkit Swasta IPP (“Independent Power Producer”) dalam menyiapkan proses bisnisnya dengan PLN dapat melakukannya dengan berbagai macam “modus” atau strategi. Misal pada 2004 pernah PT. Siemens (Jerman) mau membeli pembangkit PLN yang ada di Suralaya (1.000 MW), kemudian setelah itu akan menjual “stroom”-nya ke PLN. Namun saat itu ada penolakan dari SP PLN sehingga batal. Dan akhirnya mereka membuat sendiri Pembangkit itu sebesar 3.500 MW dengan konsep BOT (“Built Operated Transfered”). Yang dimulai dengan penanda tanganan jual/beli “stroom” antara PLN dan Siemens. Yang semuanya meliputi kapasitas, harga jual, system pembayaran, dll, termasuk dalam konteks COD (“Certificate Operating Date”) dan mulai kapan “stroom” IPP tersebut mulai di perjual belikan ke PLN dalam konsep apa? Apakah konvensional atau lelang lewat P3B sebagai “Power Purchase Pool” dst?
Disamping itu misal dengan impor “stroom” seperti terjadi di Eropa, dimana Jerman, Belanda, Venezia dll mengimpor “stroom” tersebut dari EDF (Electric De France/Peransis) yang kemudian menjual ke konsumen (penduduknya).
II. Masalah Sistem Penyaluran
Dalam Konstitusi (UUD 1945) yang disyahkan pada 18 Agustus 1945, selanjutnya dengan semangat pasal 33 ayat (2) UUD 1945 tersebut, “Cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara,” dipakai dalam menasionalisasikan Perusahaan-perusahaan Listrik Belanda seperti NV. Aniem, Ogem, Gebeo, Ebalom, Nigmn dst menjadi Jawatan Gas dan Listrik Negara. Dalam operasionalnya memakai semangat Ideologi Etatisme (Nasionalis)/Ta’jul Furudz yang semuanya diusahakan secara “Verticaly Integrated System” dalam sebuah Jawatan Gas dan Listrik Negara itu.
Artinya yang semula Kelistrikan dalam posisi “Unbundling” atau terpisah pisah, oleh MR. Kasman Singodimejo (Tokoh Masyumi dan Menteri Kehakiman yang pertama era Soekarno – Hatta ) dan para pekerja listrik itu, disatukan dalam satu “entitas” Jawatan Gas dan Listrik Negara.
III. Kelistrikan sebagai instrumen “infrastruktur”
Selanjutnya melalui PP No. 18/1972 PLN ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara (Perum PLN) yang memiliki hak sebagai PKUK (Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan). Artinya sampai di sini PLN diposisikan sebagai Perusahaan Infrastruktur sebagai penyangga utama Pembangunan Nasional Semesta Alam Berencana (istilah pembangunan yang “menggelegar” yang saat itu digunakan ORBA memotivasi/ membangkitkan semangat membangun Rakyat Indonesia).
IV. Perubahan Ideologi
Namun sekitar 1975 Agent CIA Bidang Ekonomi (John Perkins, baca buku “The Confession Of An Economic Hitman”) mengendus karakter pejabat Indonesia yang ingin cepat kaya dengan memanfaatkan jabatannya untuk bisnis (Wasit merangkap Pemain, atau istilah sekarang lebih terkenal dengan sebutan “Peng Peng” atau Penguasa-Pengusaha).
Sehingga dengan “modus” tersebut mulai 1975 Perkins intens menciptakan peluang-peluang strategi khususnya di kelistrikan (PLN) misal dengan menciptakan istilah IPP (“Independent Power Producer”), Genco (“Generating Company”), Transco (Transmission Company), Disco (Distribution Company), Retco (Retail Company), MBMS (Multy Buyer and Multy Seller ), SB (Single Buyer),”Power Purchase Pool”, HSH (Holding Sub Holding)…dst. Yang semuanya diarahkan untuk merubah ideologi listrik yang semula sebagai instrument “infrastruktur” kemudian dirubah menjadi Instrumen “komersial” dengan merubah ideologi pengelolaannya yang semula “dikuasai” Negara menjadi “dikuasai” pasar!
Hal diatas merupakan hasil kerja John Perkins yang sukses merubah cara berpikir rakyat Indonesia yang semula ber-“mind set” Etatisme (Nasionalis)/Ta’jul Furudz (Ideologi Islam) berubah menjadi Liberal (Kapitalis) yang akhirnya Pemerintah/Negara kehilangan “batu pijakan” dalam pengelolaan Ekonomi!
IV. Kesimpulan
Sampai saat ini (khusus kelistrikan) Pemerintah/Negara betul betul kehilangan prinsip pengelolaannya! Di satu sisi masih ingin mewujudkan Sektor Ketenagalistrikan adalah sebagai penyangga “Infrastruktur” Negara, agar harga listrik tetap terjangkau rakyat kebanyakan. Tetapi fakta lain menunjukkan bahwa saat ini instrumen PLN telah di kuasai oleh swasta Aseng/Asing dan Taipan 9Naga (karena Pejabat PLN seperti DIRUT Dahlan Iskan telah menjualnya secara besar-besaran pada 2010, sesuai ucapannya di depan MK bahwa untuk kelola PLN tidak dibutuhkan Undang-Undang).
Akhirnya karena sikap Pemerintah/Negara yang “ambigu” di atas, berakibat Subsidi listrik saat ini rata-rata Rp 200 T. Dan tinggal tunggu saja terjadinya situasi seperti Philipina (yaitu tarip listrik akan “melejit” 5x lipat dan ketika jam 17.00-23.00 akan “melejit” 11x lipat), yaitu setelah HSH Jawa-Bali di-IPO-kan serta setelah terbitnya UU tentang “PWS” (Power Wheeling System atau Pemanfaatan Transmisi secara Bersama).
Magelang, 18 Agustus 2023.
* Ahmad Daryoko, Koordinator INVEST.