Nusantarakini.com, Jakarta –
Tiada yang lebih misterius dari pada kehidupan itu sendiri. Kendati kita mengalami hidup, tidak berarti kita memahami hidup. Benar, kan? Kita hanya sekedar menjalani hidup itu sendiri dengan insting yang kita miliki. Bahkan kita maju terus tanpa tahu sampai dimana batas-batas hidup itu. Yang penting kita memperoleh nikmat dari hidup yang kita jalani, maka itulah cara kita sepanjang hayat menjalankan kehidupan yang tak ada bedanya kecuali sekedar ritual.
Hidup ditandai dari kelahiran dan kematian itu sendiri. Tak ada lahir, kalau tak ada mati. Itu sederhananya. Tapi apa benar begitu?
Lahir. Apa itu lahir? Mati. Apa itu mati. Kadangkala bahasa kita tidak cukup memadai meliput makna akan kematian dan kelahiran itu sendiri. Kita terlalu sederhana memaknai kelahiran itu. Pokoknya seorang orok brojol dari rahim ibunya, lalu menangis, kita pikir itulah kelahiran.
Ya. Itu kelahiran dalam artian statistik. Tapi dalam arti yang menyangkut kemanusiaan, belum tentu.
Saya lebih dapat memahami suatu kata, suatu konsep manakala saya bandingkan dengan lawannya, dengan antonimnya. Bagaimana itu?
Misalnya, lahir. Lahir sebenarnya dari kata zahir. Seperti halnya zuhur, berubah menjadi luhur. Jadi lahir, lebih tepat antonimnya, hilang.
Akibatnya, saya bisa sandingkan menjadi seperti ini:
Yang Lahir, Yang Hilang
Yang Hidup, Yang Mati
Yang Ada, Yang Tiada
Yang Tumbuh, Yang Gugur
Yang Mekar, Yang Layu
Yang Cerah, Yang Kabut
Yang Terang, Yang Gelap
Yang Cemerlang, Yang Redup
Yang Pergi, Yang Pulang
Yang Gerak, Yang Diam
Yang Muda, Yang Tua
Itu semua, kata-kata di atas, bukankah bercerita tentang kompleksitas kehidupan itu?
~ Syahrul E Dasopang