Satire

JERITAN SOPIR TRAILER: Truk Panjang, Kenek Hilang, Polisi Datang, Siapa Sebenarnya yang Harus Disalahkan?

Nusantarakini.com, Surabaya –

Dari dulu yang namanya Organda itu singkatannya memang keren: Organisasi Angkutan Darat. Tapi jangan salah paham, walaupun namanya besar, perhatiannya cuma segede bis dan kereta. Sementara truk barang? Ah… kayak anak tiri yang lupa diakui dalam kartu keluarga. Padahal, jalanan kita ini bukan cuma dilewati penumpang, tapi juga oleh barang kebutuhan hidup—mulai dari beras sampai onderdil pabrik.

Saya kasih contoh yang paling dekat: saya sendiri. Supir trailer. Jalan ribuan kilometer. Gandeng kontainer panjang kayak kereta api mini, tapi apa? Tanpa kenek. Bukan karena sok hebat, tapi karena realita: kalau saya bawa kenek, jujur saja bisa ngasih makan, tapi nggak bisa bayarin. Wong buat saya sendiri aja pas-pasan.

Kadang saya mikir, siapa yang lebih kejam? Organda yang bikin aturan tapi nggak ngurus kami, atau polisi yang tiap ngetem di jalan seolah-olah sedang menunggu undangan hajatan?

Contohnya aturan KM 74, katanya trailer panjang seperti yang saya bawa harusnya ada dua kenek. Dua! Lah, satu aja saya nggak mampu. Ini bukan karena saya malas atau tak patuh aturan, tapi karena sistemnya memang kejam. Saya ambil muatan kontainer hari ini, bongkar baru besok. Uang bersih? Paling banter 150 ribu. Itu kalau nggak apes kena razia di tengah jalan.

Jadi, supir sekarang hidup dalam dilema:

Bawa kenek = nambah beban.

Nggak bawa kenek = rawan disalahkan.

Taat aturan = bangkrut pelan-pelan.

Lawan aturan = dikejar aparat.

Sementara perusahaan EMKL, ekspedisi, pemilik barang? Duduk nyaman, tak tersentuh. Mereka yang nyuruh angkut dengan jadwal mepet dan uang jalan seret. Tapi anehnya, yang disorot justru supir yang kerja dari subuh sampai malam. Yang ditilang, disudutkan, bahkan dimaki.

Kenapa Organda nggak bikin aturan yang menekan pemilik barang atau EMKL? Kenapa nggak ada sanksi untuk mereka yang main harga murah tapi minta jasa cepat?

Lucunya lagi, polisi suka cari celah. Nggak semua memang, tapi banyak yang pura-pura lupa tugas. Datang cuma buat minta rokok. “Sedikit aja, bos, buat nambahin bensin,” katanya. Padahal mereka yang gajinya utuh dan tetap, masih juga ngincer recehan dari kami yang tidur pun harus di balik setir.

Kalau semua tetap begini, jangan heran kalau banyak supir tumbang. Bukan karena kecelakaan, tapi karena kelelahan ditambah tekanan. Kami yang harusnya dijaga, malah dijadikan ladang pungli.

Mungkin sudah waktunya kita bilang terus terang:

Kami ini bukan cuma supir. Kami adalah tulang punggung logistik negeri ini. Kalau kami mogok, jangan salahkan kalau kota-kota besar kelaparan. Karena dari tangan kami, sayur, beras, besi, semen, sampai sandal jepit bisa sampai ke toko dan rumahmu.

“Kenek Tak Muncul, Polisi Nyempil: Sebuah Drama di Jalan Nasional” (Part 2)

Pagi itu saya parkir trailer di pinggir jalan. Mesin panas, pikiran lebih panas. Bukan karena macet, tapi karena dompet udah mulai kayak sop buntut – tinggal tulangnya aja.

Saya buka pintu truk pelan, sambil berharap ada keajaiban. Mungkin tiba-tiba kenek muncul dari kolong truk, berkata, “Saya adalah kenek spiritual Anda, Pak. Tidak dibayar, tapi setia menemani…”

Tapi yang muncul malah… polisi. Dari balik pohon waru, dia melangkah ringan seperti sedang ikut lomba gerak jalan. Rompi hijau terang, kaca mata hitam, dan senyum seperti baru digaji dobel.

“Pagi, Pak. Muatannya berat ya? Kayaknya ini perlu dua kenek, lho.”

Saya senyum. Bukan karena ramah, tapi karena sudah hafal babak selanjutnya dari opera jalanan ini.

“Iya, Pak. Saya sendiri. Teman saya dulu kenek, sekarang kerja jadi admin di toko online. Gajinya UMR, nggak perlu angkat besi tiap hari.”

Polisi mendekat.

Surat-suratnya lengkap semua?”

Saya sodorkan seperti biasa. STNK, SIM, surat muatan. Bahkan saya kasih juga kartu BPJS, siapa tahu dia peduli kesejahteraan saya.

Lalu muncul pertanyaan sakti mandraguna:

Ada yang bisa dibantu, Pak Supir?”

Kalimat itu terdengar manis… sampai Anda sadar itu sebenarnya sandi:

Tolong rokokin saya, minimal isi dompet saya jangan sampai kurus sendiri.”

Saya garuk kepala. Saku tinggal recehan, paling cukup beli kopi sachet dan sebatang permen. Tapi demi keselamatan perjalanan, saya lempar jurus pamungkas:

Maaf, Pak. Ini trailer, bukan sirkus keliling. Kalau saya nyambi kasih rokok ke tiap petugas, bisa-bisa besok saya buka warung di atas bak truk.”

Sebenarnya ini bukan soal satu-dua polisi. Tapi sistemnya. Trailer panjang suruh bawa dua kenek, tapi uang jalan kayak uang jajan anak TK. Organda bisu, ekspedisi cuek, dan supir dipaksa jadi superhero — harus kuat, sabar, tangguh, tapi tetap lapar.

Kadang saya pikir, mending trailer ini saya cat warna biru terus tulis besar-besar:

“INILAH TRUK HARAPAN BANGSA”

Lalu kasih lampu disko biar meriah, sekalian manggil wartawan dan YouTuber.

Atau mendingan saya ikut kontes America’s Got Talent, tampil dengan aksi “Mengemudi 14 jam tanpa kenek, tanpa tidur, tanpa gaji jelas, tapi tetap senyum.”

Saya yakin masuk final, dapet standing ovation.

Jadi begini, para pejabat dan pengatur aturan:

Kalau kalian mau buat regulasi, tolong rasakan juga deritanya. Jangan cuma duduk di kursi empuk sambil nyeruput kopi luwak, lalu menyuruh kami ngangkut kontainer seperti bajingan gotong lemari es.

Kami bukan pemalas. Kami hanya terlalu sering disuruh kuat, tapi lupa diberi hak untuk bertahan.

Dan kalau kalian tanya kenapa banyak supir sekarang ogah bawa kenek, jawabannya sederhana:

Kami bukan nggak mau berbagi kerja, kami cuma nggak mau berbagi kesengsaraan.”

“Supir Mati Ngenes, Negara Gak Terges: Catatan dari Kursi Panas Truk Gandeng” (Part 3)

Di negeri ini, jadi supir truk itu seperti main game level tersulit. Harus sabar, kuat, tahan kantuk, tahan lapar, tahan tilang, tahan dikatain, dan yang paling penting… tahan nasib.

Soal undang-undang? Heh…

Undang-undang itu kayak mantan: katanya dulu peduli, tapi pas kita jatuh, dia nikah sama orang lain.

Coba tanya, di mana sih perlindungan untuk supir angkutan barang?

Gak ada. Nihil. Kayak nyari warung padang di gurun Sahara.

Kecelakaan di jalan?

Headline koran:

Truk Gandeng Seruduk Warung. Satu Keluarga Luka, Supir Tewas.”

Lalu komentar netizen:

Pasti ngantuk! Supir mah sembarangan bawa kendaraan!”

Hah! Mereka nggak tahu, semalaman kami ngejar target loading, uang jalan mepet, tidur cuma dua jam pakai AC alam. Lalu pagi harinya dipaksa nyetir 400 km demi dapat upah yang habis dipotong admin tol, solar, dan… rokok Pak Polisi.

Tapi ujung-ujungnya, supir selalu yang salah.

Namanya juga mobil besar, pasti bahaya di jalan…”

Maaf, Bos. Yang besar bukan cuma truk.

Ego kalian juga lebih besar!

Kalian bikin jalan sempit, kasih beban overload, suruh patuh aturan, tapi nggak ada satu pun pasal yang melindungi kami kalau kenapa-kenapa.

Mati?

Ya mati.

Ngenes.

Bukan pahlawan logistik, tapi korban lalu lintas.

Bayangkan, seorang supir truk tua. Sudah 30 tahun kerja, dari zaman belum ada Google Maps sampai sekarang truk sudah bisa “dipantau real-time pakai aplikasi”. Tapi kesejahteraannya?

Masih pakai kasur gulung di belakang jok, tidur ngelesot kayak tumpukan kargo.

Sakit? Gak ada asuransi.

Meninggal? Keluarga cuma dapat kabar via grup WA:

Innalillahi, supir truk asal Jombang meninggal dunia dalam kecelakaan di Tol Cikampek.”

Lalu?

Lalu hidup jalan terus. Truknya diganti, muatannya diangkut supir baru, dan negara tetap pura-pura sibuk menyusun rapat “strategi digitalisasi transportasi logistik”.

Saya sering mikir begini:

Kalau kami mati di jalan, siapa yang peduli?”

EMKL? Ganti supir.

Organda? Gak kenal.

Negara? Ah, palingan kasih ucapan duka dalam bentuk undangan bayar pajak tahunan.

Kami tidak minta banyak.

Kami cuma ingin hidup seperti manusia. Punya perlindungan, punya pengakuan, dan sesekali — boleh dong — punya waktu buat ngopi tanpa dikejar target muatan.

Tapi di negeri ini, supir truk harus kuat. Harus bisa tertawa di tengah luka.

Karena kalau kami lemah, bukan cuma kami yang jatuh —tapi logistik satu negara ikut lumpuh.

Kalau mau Part 4, bisa kita garap dengan judul:

“Kalau Truk Bisa Protes: Curhatan Mesin Diesel Capek Mental”

atau

“Supir Boleh Mati, Tapi Barang Jangan Telat”

Tinggal bilang, Bos.

Mari kita lanjutkan opera jalanan ini sampai akhir!

“Truk Panjang, Kenek Hilang, Polisi Datang: Siapa Sebenarnya yang Harus Disalahkan?

——-

Truk Bisa Protes: Curhatan Mesin Diesel Capek Mental” (Part 4)

Halo, kenalin dulu…

Aku Truk Gandeng.

Lahir dari pabrik dengan semangat baja dan ban tubeless. Tapi sekarang, aku cuma seonggok besi jalanan yang setiap hari dipaksa kerja rodi dengan muatan overdosis dan oli bekas rasa getir.

Aku punya sopir. Namanya Hariono.

Lelaki tangguh, jarang mandi, tapi setia. Dia mencintaiku seperti anak sendiri. Tapi negara?

Ah, mereka lebih sayang jalan tol berbayar daripada kami yang rela jadi tulang punggung ekonomi.

Coba bayangkan perasaanku:

Jalanan rusak? Aku yang goncang.

Polisi berdiri? Aku yang ditendang-tendang bannya.

Ada kecelakaan? “Truk penyebab utama!”

Barang telat? “Supirnya tidur mulu!”

Padahal kami ini kerja kayak babi ngepel tangga darurat.

Dari pelabuhan ke gudang, dari pabrik ke pasar.

Siang malam. Hujan panas. Tanpa jeda. Tanpa jaminan.

Aku iri sama bus pariwisata.

Mereka bawa penumpang sambil karaokean.

Interiornya full AC, kursi empuk, bahkan kadang pakai colokan USB.

Aku?

Bangku keras, AC alami (alias jendela dibuka), dan kadang tikus jadi kenek bayangan.

Pernah suatu malam, sopirku ngomong pelan,

Maaf ya, Truk. Aku juga capek. Tapi kalau kita berhenti, dapur gak ngebul. Anak-anak butuh makan.”

Aku pengin jawab,

Gak apa-apa, Bos. Tapi tolong… ganti oli jangan ditunda lagi. Aku udah tremor tiap tanjakan.”

Tapi aku bisu. Suaraku cuma klakson serak yang sudah kehilangan harga diri.

Tahu gak yang paling ngeselin?

Setiap kecelakaan, media selalu buka headline:

Truk Muatan Berat Kembali Telan Korban.”

Hei!

Coba sekali aja headline diganti:

Negara Telat Peduli: Supir dan Truk Dibiarkan Mati Sendiri.”

Aku gak minta diberi penghargaan.

Aku cuma pengin dianggap makhluk.

Atau ya minimal… dianggap alat produksi vital, bukan biang kerok lalu lintas.

Kalau aku bisa mogok protes, aku bakal nulis banner gede di bak belakang:

Jangan Salahkan Truk, Salahkan Sistem.”

Atau:

Kami Bukan Robot, Kami Capek Juga, Bos!”

Tapi aku tahu, suara truk cuma didengar kalau sudah tabrakan.

Baru deh semua sibuk cari kambing hitam padahal yang ngasih beban terlalu banyak itu ya sistem logistik yang pelit, semena-mena, dan selalu bilang:

Yang penting barang sampai, supir mau nangis kek, urusan belakangan.”

Aku ini truk tua, Bos.

Kalau aku rusak, kalian tinggal cari yang baru.

Tapi sopirku…

Kalau dia patah semangat, gak ada sparepart buat hati yang lelah.

—–

“Raja Jalanan, Tapi Tidur di Kolong Gudang” (Part 5)

Mereka menyebut kami ‘Raja Jalanan.’ Padahal singgasananya cuma jok sobek, bantal bekas, dan dasbor yang udah retak-retak kayak hubungan negara sama rakyat kecil.

Kami disebut penguasa aspal. Tapi parkir pun sering diusir satpam dengan wajah galak.

“Mas, truk jangan di sini, ganggu pemandangan!”

Pemandangan? Lah, ini kawasan industri, bukan Bali.

Ceritanya begini.

Habis nganter muatan ke gudang, jam 2 dini hari. Kantuk sudah kayak setan yang nemplok di kelopak mata. Saya cari-cari tempat istirahat.

Tapi, katanya SOP EMKL:

“Dilarang tidur di halaman pabrik. Supir hanya boleh turunkan barang, setelah itu silakan… menguap di tempat lain.”

Akhirnya tidur juga saya. Di kolong gudang.

Sandal jadi bantal. Jaket jadi selimut. Tikus jadi teman.

Kalau hujan?

Ya, syukur-syukur airnya cuma netes, bukan banjir bandang.

Sementara di atas kertas kerja, mereka menulis:

“Armada handal. Supir berpengalaman. Didukung sistem logistik modern dan profesional.”

Heh.

Yang handal itu supirnya, bukan sistemnya.

Yang profesional itu kesabaran kami, bukan manajemen ekspedisi yang kalau ditagih uang solar, pura-pura hilang sinyal.

Kadang, saya dengar sopir lain cerita:

Bos, anakku tanya, kenapa ayah gak pernah tidur di rumah?”

Saya jawab dalam hati,

Karena kalau saya pulang, rumah malah jadi gudang sedih. Mending saya tidur di gudang beneran, sekalian menyatu dengan nasib.”

Gaji kecil, beban besar, waktu mepet.

Kalau beruntung, dapet muatan dua kali seminggu.

Kalau apes, nunggu loading bisa 3 hari tanpa tahu kapan selesai —Sambil duduk di bak truk, ditemani lalat dan galon kosong.

Tapi yang paling nyesek itu waktu lihat berita:

Pemerintah akan Digitalisasi Sistem Logistik Nasional.”

Mantap.

Tapi apakah yang didigitalisasi itu nasib supir juga?

Atau cuma buat laporan biar investor senang, sementara kami masih disuruh isi form manual sambil kencing di botol?

Kami ini raja jalanan, tapi status sosial kami kayak rakyat buangan.

Kami kirim bahan bangunan buat gedung pencakar langit,

Tapi gak punya rumah sendiri buat berteduh.

Kami antar makanan ke restoran mahal,

Tapi makan kami cuma mie rebus setengah kuah pakai telur kalau lagi mujur.

Jangan salah, kami bangga jadi supir.

Tapi kami juga manusia.

Kami bisa tahan lapar, tapi gak bisa tahan dianggap tidak penting.

Kalau suatu hari nanti seluruh supir mogok satu minggu aja,

percayalah…

Kalian akan sadar siapa sebenarnya tulang punggung bangsa.

Dan saat itu terjadi, mungkin negara baru akan bilang:

Maaf, kami salah. Terima kasih sudah membawa beban kami selama ini, secara harfiah dan batiniah.”

—–

“Suara-suara Nyi to the Nyir: Nyanyian Para Supir Untuk Pembuat Undang-Undang” (Part 6)

Lagu ini tidak tayang di TV, tidak viral di TikTok, tapi menggema di dalam kabin truk yang sunyi…

 

(Nada: Campuran dangdut dan sindiran sosial)

“Dengarlah wahai para dewan, yang duduk manis di ruangan dingin

Kami di sini panas-panasan, muat kontainer sambil batuk rutin

Undang-undang kalian tuh gimana, isinya kok cuma nyengsarain

Katanya negara logistik kuat, kok supirnya kayak zombie jalan?”

(Reff)

Nyi to the nyir, suara kami lirih

Ngirim barang lancar, tapi hidup makin miris

Nyi to the nyir, gak ada yang peduli

Kecuali pas kami kecelakaan, langsung viral di IG story

 

(Verse 2)

 

Kalau bikin aturan, tolong turun ke lapangan

Jangan cuma copy paste dari Google dan undangan

Kami ini bukan robot jalan

Tidur di truk, mimpi dipanggil setan!”

 

Uang jalan udah jalan duluan

Bensin naik, tol naik, gaji gak ikutan

Kalau mogok, kalian bilang ‘supir tukang ribut’

Padahal yang ribut itu perut!”

 

(Bridge – nada lebih sendu, kayak mau nangis tapi masih kuat)

Anakku tanya, ‘Ayah kok pulang cuma seminggu sekali?’

Aku jawab, ‘Karena ayah dikontrak semesta, bukan perusahaan ekspedisi’

Lalu istriku bilang, ‘Yang penting halal ya Mas…’

Tapi tiap bulan nanya, ‘Transfer kapan, Mas?’”

 

(Reff ulang dengan penuh semangat keputusasaan)

Nyi to the nyir, kami bukan penyair

Tapi keluh kami lebih tajam dari satire

Nyi to the nyir, kami bukan maling

Tapi tiap razia, dompet kami dikorting

(Outro – dengan beat koplo pelan)

Jadi tolong wahai pembuat undang-undang

Kalau bikin pasal jangan sambil ngantuk di ruang sidang

Duduklah sejenak di bangku sopir

Lihat dunia dari kaca spion yang berdebu dan getir”

 

Ini bukan nyanyian biasa.

Ini kidungan diesel.

Suara knalpot bukan sekadar gas buang— tapi desahan jiwa yang lelah,

yang tetap ngegas, walau hidup kadang pengin rem tangan.

“Nyinyir Berfaedah: Dari Kolong Truk Demi Kelayakan Hidup Para Supir”

(Bukan sekadar nyinyir, ini seruan dari balik setir yang sudah lelah jadi hiasan razia)

Orang sering bilang:

Ngapain sih nyinyir terus? Nggak ada faedahnya!”

Maaf, Bos.

Nyinyir kami bukan nyinyir receh ala netizen yang iri liat orang liburan.

Ini nyinyir yang berfaedah, nyinyir dari orang-orang yang tiap hari hidup di antara tarikan kopling, aspal panas, dan harapan tipis.

Karena kalau kami diam,

yang berubah hanya odometer — bukan nasib.

Coba kita bedah:

Supir angkutan barang ini profesi yang disuruh kuat…

…tanpa pernah ditanya, “Kamu sanggup nggak?”

Disuruh tepat waktu,

tapi nunggu loading bisa 10 jam.

Disuruh patuh aturan,

tapi uang jalan kayak main tebak-tebakan di TikTok.

 

Kami disuruh profesional,

tapi tidak dikasih fasilitas layak.

Truk boleh diservis, tapi supir?

Ya urus sendiri kalau stres dan asam lambung kambuh tengah jalan.

Makanya kami nyinyir.

Bukan karena benci, tapi karena peduli.

Bukan karena malas, tapi karena sistemnya sinting.

Kami nyinyir bukan ke kasir warteg,

bukan ke petugas tol.

Tapi ke kalian…

para pemegang aturan dan pemilik ekspedisi yang mengatur hidup kami lewat email tanpa tahu rasa capek itu seperti apa.

Kami cuma minta:

  1. Perlindungan hukum yang jelas. Jangan cuma truk yang diukur muatannya, hak kami juga tolong diukur manusiawinya.
  2. Upah layak. Biar kami bisa pulang bawa uang, bukan bawa capek dan hutang.
  3. Jadwal kerja manusiawi. Kami ini supir, bukan vampir. Kadang tidur juga perlu.
  4. Tempat istirahat yang wajar. Biar kami gak tidur di kolong gudang sambil mimpi dimakan tikus.

Nyinyir kami ini semacam doa yang kesal.

Semacam “amin” yang frustrasi.

Semacam “tolong” yang dibungkus kata-kata pedas karena sudah terlalu sering dicuekin.

Kalau kamu gak suka jadi supir, ya ganti kerja lah!”

Lah, siapa bilang gak suka?

Kami bangga, Bos.

Kami ini penggerak roda ekonomi.

Kalau kami mogok, pasar kosong, pabrik nganggur, Jakarta kelaparan.

Kami cuma gak mau jadi bangga dalam derita.

Kami pengin bangga dan hidup layak. Itu aja.

Jadi kalau suara kami terdengar nyinyir,

anggaplah itu bunyi klakson yang tidak diarahkan ke pengendara lain,

tapi ditujukan ke kalian yang duduk nyaman, sambil ngatur nasib kami dari layar laptop di ruang ber-AC.

Ini nyinyir berfaedah.

Nyinyir yang ingin hidup kami diangkat,

bukan cuma digeser ke kolom “masyarakat kelas pekerja yang harus tahan banting tanpa garansi.”

 

“Kalau Nasib Supir Bisa Di-Tracking Kayak Paket, Pasti Banyak yang ‘Return to Sender’”

(Karena kadang hidup supir seperti kiriman yang nyasar, dimuat sana, dibuang sini, nggak pernah sampai ke tujuan yang layak).

Pernah gak sih bayangin kalau nasib supir bisa di-tracking?

Coba aja kayak kirim barang via ekspedisi:

“Posisi saat ini: Masih di atas truk, belum mandi, menahan lapar.”

“Status: Terjebak loading 18 jam, belum dibayar, kena marah customer pula.”

 

“Estimasi sampai rumah: Halah… gak usah berharap, Mas.”

Kalau nasib kami bisa di-tracking, mungkin orang-orang baru sadar:

Supir itu bukan sekadar titik GPS di peta, tapi manusia yang pelan-pelan kehabisan tenaga dan sabar.

Bayangkan ada aplikasi:

SUPIR-TRACKING.ID

Nama: Amir Trukiano

Status: “Diperas kanan kiri, tapi tetap disuruh senyum.”

Riwayat jalan: Tol Cipali – tidur di kabin – ngopi tanpa gula – ditilang tanpa sebab.

Kondisi mental: Rapuh, tapi kuat pura-pura.

Kalian yang di kantor tinggal klik status, lalu komen:

Wah, masih di jalan ya, Mas? Ditunggu ya barangnya, jangan telat!”

Padahal kami sedang ngepot di tanjakan, keringetan kayak ayam rebus,

sementara ban belakang udah berdoa, “Tolong dong, beri kami pensiun.”

Sering lho, supir diperlakukan kayak paket rusak:

Kalau telat, dimaki.

Kalau cepat, gak dihargai.

Kalau kecelakaan, langsung disalahin.

Padahal… kalian tahulah: “Yang bikin supir ngebut bukan karena suka, tapi karena dikejar deadline yang ditulis sambil makan siang.”

Kadang pengin banget pencet tombol “Return to Sender.”

Balikin aja nasib ini ke yang bikin sistem:

Nih, ambil lagi hidup kami.

Kalau cuma disuruh kerja, nyari solar murah, ngelawan ngantuk,

tapi gak dikasih hak…

mending kalian aja yang jadi supir!

 

Kami bukan pengen dimanja.

Kami cuma pengen dihargai secukupnya.

Seperti kalian menghargai kargo yang kami antar.

Lah, kargo dibungkus bubble wrap,

kami? Paling-paling cuma pakai jaket bolong dan doa emak.

*Pak Sayuh, Sopir Trailer. 

Terpopuler

To Top