Satire

Lagi-lagi Kelakuan Si Joko!

Nusantarakini.com, Surabaya –

Di suatu negeri yang katanya demokratis tapi lebih mirip sinetron panjang tak berkesudahan, hiduplah seorang mantan pemimpin bernama Joko. Sudah tak menjabat, sudah dapat pensiun, bahkan sudah punya akun podcast dan acara berburu rusa, tapi tetap saja… si Joko tak bisa lepas dari kebiasaannya: ikut campur.

Presiden Prabz yang baru saja naik tahta, tengah sibuk menata ulang kekuatan militer. Ia mencoba menyeimbangkan geopolitik, membangun aliansi, dan tentu saja… menaikkan harga BBM agar tampak bijak. Tapi, seperti biasa, muncullah Joko, tiba-tiba memberi wejangan di televisi nasional:

“Menurut saya, arah militer harus lebih fleksibel dalam menghadapi dinamika lintas samudra dan tekanan zona waktu.”

Zona waktu? Prabz mengernyit. Panglima tertawa. Rakyat geleng-geleng.

“Pak, itu maksudnya apa?” tanya wartawan.

“Ya, supaya tentara kita bisa siaga di semua jam, termasuk saat subuh. Negara-negara maju sudah menerapkan hal ini,” jawab Joko, percaya diri.

Katanya dulu dia paham rakyat, tapi makin ke sini makin mirip komentator bola yang sok tahu formasi padahal belum paham offside. Bahkan, isu nuklir pun disentilnya. Katanya Indonesia perlu mempertimbangkan kekuatan deterrent berbasis “kearifan lokal”.

“Kalau bisa nuklir kita berbasis bambu. Simbol budaya sekaligus senjata psikologis,” katanya, sambil pamerkan miniatur rudal bentuk angklung.

Orang-orang bingung, apakah ini satire, atau memang beliau mulai menua dengan gaya tak terduga.

Tapi Joko tetap eksis. Dari balik bayangan, ia hadir dalam setiap keputusan besar: mulai dari pembelian kapal selam, penunjukan duta besar, sampai urusan gaji hansip. Ada yang bilang dia seperti “roh penasaran demokrasi”—sudah tidak punya kekuasaan, tapi tetap gentayangan di ruang-ruang kekuasaan.

Presiden Prabz mulai stress. Ia memanggil dukun digital, mencoba menghapus jejak Joko dari algoritma negara. Tapi tak bisa. Nama Joko muncul di semua rekomendasi YouTube, iklan mie instan, bahkan di backsound tiktok pejabat.

Dan rakyat? Mereka mulai terbiasa. Setiap kali ada kegaduhan aneh di pemerintahan, mereka hanya saling pandang dan berkata:

“Ah, lagi-lagi kelakuan si Joko.”

Dukun Algoritma dan Panglima Rebahan

Presiden Prabz, yang awalnya tampak gagah saat kampanye dengan jargon “Negara Tegak Lurus tanpa Intervensi Masa Lalu,” kini mulai kehilangan arah. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada bayangan tua yang terus membisikkan strategi—meskipun kadang strategi itu hanya menyuruhnya menanam singkong di kantor pertahanan.

Atas saran penasihat spiritual istana, Prabz akhirnya memanggil Dukun Algoritma, seorang ahli metafisika digital dari Gunung TikTok. Dukun ini dikenal bisa mengatur alur trending, menghilangkan nama-nama tak diinginkan dari percakapan daring, dan memanipulasi opini publik hanya dengan membakar flashdisk dan membaca mantra dari caption Instagram.

“Dukun, saya ingin nama Joko hilang dari seluruh algoritma negara,” kata Prabz sambil menyalakan dupa berbentuk logo YouTube.

Dukun Algoritma mengangguk. Ia mulai menabur serbuk RAM di atas keyboard, mengetik mantra kuno:

> CTRL + ALT + PENGUSIR MANTAN

 

Namun tiba-tiba layar laptop menyala sendiri. Muncul notifikasi:
“Joko is live now. Talking about geopolitik spiritual.”

Dukun gemetar. “Maaf, Presiden. Tampaknya bayangan Joko tidak bisa dihapus. Ia telah disematkan oleh admin masa lalu.”

Prabz putus asa. Ia pun memanggil Panglima Rebahan, sosok kontroversial yang diangkat karena viral di reels: berjubah loreng tapi lebih sering terlihat selonjoran di sofa, main catur online sambil ngemil kerupuk.

“Apa solusi kita, Panglima?”

“Tenang, Pak. Kita serang secara taktis… dari kasur. Biar Joko kelelahan sendiri. Lagi pula, dia nggak ngerti NATO atau China Selatan. Dia cuma suka tampil.”

“Kalau rakyat bertanya?”

“Kita bilang saja itu ‘soft power berbasis kenyamanan nasional’. Trust me, saya lulusan Zoom Meeting Harvard.”

Akhirnya, negara tetap jalan meski kadang miring. Rakyat menonton drama politik seperti sinetron Ramadhan yang tak kunjung usai. Sementara itu, Joko terus berbicara, Dukun terus membaca komentar, dan Panglima tetap rebahan sambil update status:
“Stabilitas itu penting, tapi rebahan lebih utama.”

RAPAT DARURAT DI GRUP WHATSAPP NEGARA

Hari itu, suasana negara sedang tegang. Bukan karena perang. Bukan karena bencana. Tapi karena… si Joko bikin status.

“Militer negara ini butuh pemimpin yang punya visi, bukan sekadar tukang rebahan. #TeringatMasaLalu”

Status itu langsung viral, disambar 300 portal berita dan 17 influencer skincare. Istana panik. Maka dipanggillah rapat darurat via Grup WhatsApp Negara.

[Grup WA: Negara Maju Tapi Bekas]
Admin: Presiden Prabz
Anggota: Panglima Rebahan, Mbak Citra, Dukun Algoritma, Menteri Jaga Imago, dan tentu saja… Joko (masih numpang walau udah keluar dari kabinet).

 

08.02 – Presiden Prabz:

“Maaf pagi². Ini Joko bikin gaduh lagi. Siap² rapat via WA. Ngga sempat Zoom. Aku lagi di toilet.”

 

08.03 – Panglima Rebahan:

“Saya siap, Pak. Tapi bisa nggak rapat ini sambil selonjoran? Lutut saya keram.”

 

08.04 – Mbak Citra:

“Saya sudah buat 5 narasi:

1. Joko sedang nostalgia

2. Joko lelah, butuh healing

3. Akun Joko di-hack

4. Itu akun Joko KW

5. Semua salah admin
Mau pakai yang mana, Pak?”

 

08.05 – Dukun Algoritma:

“Saya sudah coba bakar dua modem dan baca mantra HTML, tapi Joko masih muncul di FYP. Bahkan algoritma TikTok tunduk padanya.”

 

08.06 – Joko (Last seen recently):

“Aku hanya mengingatkan. Negara butuh keseimbangan antara rebahan dan pergerakan. Dulu aku begini, begitu… (Read more)”

 

08.07 – Presiden Prabz:

“Pak Joko, Anda sudah pensiun. Bisa ndak, kasih kami ruang? Ini bukan negara cosplay. Ini sungguhan!”

 

08.08 – Menteri Jaga Imago:

“Saya usul: kita kirim undangan palsu rapat kabinet ke Joko. Lokasinya kita arahkan ke pulau terpencil. Biar dia sibuk sendiri.”

 

08.09 – Panglima Rebahan:

“Atau kita beri jabatan khusus buat Joko. ‘Mentor Halusinasi Negara’. Biar dia merasa penting, tapi tak bisa ngapa-ngapain.”

 

08.10 – Joko (Typing…)

“Saya dengar itu. Dulu saya tidak seperti ini, tapi lihatlah sekarang… (Read more)”

 

08.11 – Mbak Citra:

“Admin, tolong keluarkan beliau dari grup. Sebelum beliau buat polling ‘Kapan Saya Balik?’”

 

Rapat tak kunjung selesai. Presiden makin stres, Dukun kehabisan kuota, Panglima ketiduran. Sementara Joko terus aktif, entah bagaimana, bahkan muncul sebagai narasumber di TVRI dan YouTube paranormal.

Netijen? Mereka sudah tahu arah ceritanya. Maka muncullah meme baru:

“Negara ini bukan butuh presiden baru, tapi sinyal yang kuat untuk menghapus jejak mantan.”

CITRA NEGARA TERGELINCIR FILTER

Mbak Citra bangun pagi dengan perasaan resah. Bukan karena warganet marah, tapi karena filter “Glow Up Negara” yang biasa ia pakai di media sosial tiba-tiba error.

Instagram resmi pemerintah yang biasanya penuh warna pastel, senyum tulus, dan kutipan motivasi seperti:

“Rakyat bahagia adalah prioritas kami”

 

…mendadak berubah menjadi:

“Rakyat bahagia? Di negara mana tuh?”

 

Panitia pencitraan panik. Mbak Citra langsung ke ruang kendali media, tempat ratusan staf duduk di depan layar, sibuk menyensor komentar dan mengganti kata “krisis” jadi “turbulensi elegan”.

Namun hari itu semua sistem down. Bahkan AI yang biasa membalas komentar otomatis hanya bisa menjawab:

“Maaf, negara sedang overthinking. Silakan coba lagi nanti.”

 

Presiden Prabz pun datang dengan wajah kusut, masih pakai sandal hotel.

Prabz:

“Mbak Citra, kenapa citra negara kita hari ini kayak baru bangun tidur?”

 

Mbak Citra:

“Filter stabilitas sosial hilang, Pak. Diduga diretas oleh akun bernama @PakJoko_asli.”

 

Prabz:

“Joko lagi-lagi?!”
“Kemarin dia ngomong militer, sekarang image… besok mungkin dia ngatur playlist upacara.”

 

Panglima Rebahan datang sambil bawa bantal.

Panglima:

“Saya sudah investigasi via mimpi. Ada energi masa lalu yang belum selesai. Negara ini terlalu sibuk tampil cantik sampai lupa dandanin dapur rakyat.”

 

Semua terdiam. Bahkan Mbak Citra yang biasanya jago muter kata mulai kehilangan narasi.

Tiba-tiba, layar raksasa menyala. Muncul si Joko, LIVE dari lokasi tak dikenal, duduk di atas bukit sambil minum kopi.

Joko:

“Kalian terlalu sibuk tampil. Padahal yang dibutuhkan rakyat adalah rasa.
Negara ini bukan Instagram. Filter tidak bisa menutupi harga cabai dan ketakutan akan masa depan.”

 

Seketika grup WA Negara meledak. Netijen bikin hastag #CitraNegaraRetak. Bahkan bot pun ikut protes.

Ending scene:
Mbak Citra termenung di depan cermin. Ia melihat wajahnya—tanpa filter. Penuh kerutan, kelelahan, dan sedikit penyesalan. Tapi juga jujur.

“Mungkin, citra paling kuat… adalah citra yang tak dibuat-buat,” bisiknya pelan.

JOKO & PODCAST KUDETA SPIRITUAL
“Kekuasaan adalah ilusi… kecuali kau masih pegang grup WA.”

Setelah bikin kerusuhan lewat status, si Joko kini muncul dengan gebrakan baru: Podcast.

Judulnya: “Ngopi Bareng Bekas”

Tempat rekaman? Saung bambu. Sound engineer? Tuyul alumni media sosial. Tamu pertamanya? Dirinya sendiri.

Opening Podcast:

“Saya tidak sedang mengkudeta, saya hanya sedang mengingatkan. Kalau negara ini jalan di tempat, mungkin karena yang nyetir masih ngaca.”

 

Episode itu viral dalam 12 menit. Bahkan sebelum diunggah, rekamannya sudah di-leak oleh jin pencari konten. Topik utama: “Spirit Kepemimpinan & Kudeta Halus.”

Sontak, istana kebakaran jenggot—karena api unggun acara podcast Joko menyala lebih terang daripada visi pemerintah hari ini.

[Rapat Virtual Negara (lagi)]

Presiden Prabz:

“Saya ini pemimpin resmi, kenapa rakyat malah dengerin suara-suara dari saung?!”

 

Mbak Citra:

“Karena di saung itu ada feel, Pak. Di istana cuma ada pendingin ruangan dan narasi basi.”

 

Dukun Algoritma:

“Saya coba kirim energi penundaan, tapi sayangnya podcast itu sudah disakralkan 8 juta netijen.”

 

Panglima Rebahan:

“Saya usul, Pak. Biar seimbang… kita juga bikin podcast. Judulnya ‘Ngegagas dari Kasur’. Saya host-nya.”

 

Presiden Prabz:

“Lah itu makin ngaco. Podcast lawan podcast? Ini negara apa turnamen digital?”

 

Sementara itu di Saung Joko…
Sesi kedua podcast dimulai. Kali ini, Joko mengundang Bung Kerasukan—mantan aktivis yang berubah jadi influencer motivasi spiritual.

Joko:

“Apa makna kepemimpinan menurut Anda?”

 

Bung Kerasukan:

“Kepemimpinan itu ketika rakyat kelaparan, pemimpinnya ikut puasa… bukan malah posting makan steak.”

 

Netijen meledak. Quote itu jadi stiker WA, kaos oblong, bahkan sempat dipajang di baliho—lalu diturunkan dalam 2 jam karena dianggap “terlalu dalam dan membahayakan stabilitas selfie pejabat.”

Closing Podcast Joko (dengan backsound gamelan dan suara tonggeret):

“Kalau pemimpin sibuk menata citra, siapa yang menata luka rakyat?
Kudeta spiritual itu terjadi ketika nurani tak lagi berkuasa.”

 

EPISODE DITUTUP dengan satu potong komentar Netijen Agung:

“Yang kudeta itu bukan orangnya. Tapi kenangan akan dia. Dan itu lebih ngeri dari sekadar revolusi.”

PRABZ TERSESAT DI LOBI ISTANA
“Kekuasaan kadang bikin lupa… bahkan pintu kamar sendiri.”

Pagi itu, Presiden Prabz keluar dari ruang tidur VVIP-nya dengan niat mulia: cari kopi. Tapi entah kenapa, dia malah masuk ke lift yang jarang dipakai—Lift Warisan buatan tahun ’67. Sekali pencet, lift itu membawa Prabz ke… lantai misterius: Lobi Kepemimpinan.

Begitu pintu terbuka, Prabz bengong. Lobi itu luas, gelap, dan penuh patung-patung pemimpin masa lalu. Di pojok, ada tulisan samar:

“Siapa yang mengenali dirinya, akan menemukan arah pulangnya.”

 

Prabz:

“Opo iki… escape room politik?”

 

Ia mulai berjalan. Di tengah ruangan ada tiga pintu besar, masing-masing dijaga oleh makhluk aneh.

1. Pintu A: Dijaga Mbah Pragmatis, sosok tua yang selalu pakai jas, tapi sendalnya swallow.

2. Pintu B: Dijaga Ustadz Cuan, ustadz eks-konsultan pajak yang kini ceramah via NFT.

3. Pintu C: Dijaga Kunti Demokrasi, kuntilanak berwawasan politik yang dulunya ikut kuliah Filsafat UI.

 

Dialog interogatif:

Mbah Pragmatis:

“Kalau kamu pengen aman, pilih pintu A. Semua sudah diatur, tinggal jalani. Nggak usah mikir rakyat terlalu dalam.”

 

Ustadz Cuan:

“Masuk pintu B saja, Pak. Kita bisa bikin program spiritual nasional: “Zikir Untuk Ekonomi Naik.” Tiap subuh, rakyat disuruh zikir sambil QRIS.”

 

Kunti Demokrasi:

“Masuk pintu C kalau berani jujur, Pak. Tapi hati-hati… pintu ini cuma bisa dibuka oleh pemimpin yang tahu arti malu.”

 

Prabz bingung. Ia mencoba balik lewat lift, tapi tombolnya hilang. Tiba-tiba, muncul si Joko di layar hologram, duduk sambil makan pisang rebus.

Joko:

“Kamu tersesat, bukan karena jalan salah… tapi karena terlalu sering dipandu pencitraan.
Kadang, pemimpin harus nyasar dulu biar tahu arah sesungguhnya.”

 

Akhirnya Prabz nekat buka Pintu C. Pintu itu berat. Sangat berat. Tapi begitu terbuka, ia menemukan… ruang kecil dengan cermin besar. Di cermin itu, ia melihat dirinya—bukan sebagai presiden, tapi sebagai anak kecil yang dulu pernah ingin menolong orang miskin.

Ending Voice Over:

“Kadang, kekuasaan bukan soal siapa di atas. Tapi siapa yang masih bisa menunduk dan bilang: Maaf, saya lupa jadi manusia.”

BLUNDER DI ATAS NAMA RAKYAT

Setelah sekian babak silang pendapat, podcast panas, dan lobi-lobi absurd, nasib mempertemukan Joko dan Prabz di satu titik: Mimbar Keadilan Rakyat, panggung besar yang dibangun rakyat sendiri dari sisa papan reklame dan baliho yang dicabut paksa.

Di situ, jutaan rakyat berkumpul. Mereka tidak teriak. Tidak lempar batu. Mereka hanya diam… sambil menghidupkan kamera ponsel masing-masing. Di era sekarang, yang ditakuti bukan revolusi, tapi live streaming.

Joko naik mimbar lebih dulu.
Dengan gaya khasnya, ia berbicara penuh percaya diri:

“Saya tidak pernah salah. Saya hanya terlalu cinta negeri ini, sampai kadang lupa bahwa rakyat juga manusia, bukan hanya penonton popularitas.”

 

Rakyat diam. Ada yang upload ke TikTok. Caption-nya: “Cinta yang menyiksa.”

Prabz naik giliran.
Dengan dada membusung dan suara berat, ia berkata:

“Saya ini pemimpin sah. Kalau saya salah, itu karena beban berat dan tekanan global.”

 

Rakyat tetap diam.
Ada yang upload ke Instagram Reels dengan lagu latar “Lagi-lagi Kamu.”

Tiba-tiba, seorang bocah kecil naik ke panggung.
Namanya Raka, 12 tahun. Ia berdiri di antara dua tokoh besar itu. Ia buka tas sekolahnya, keluarkan dua buah rapor.

Satu untuk Joko.
Satu untuk Prabz.

Nilainya sama: D untuk Kejujuran. E untuk Empati. Dan T untuk Tanggung Jawab.

Raka berkata:

“Kami ini rakyat, bukan komoditas. Kami tidak butuh pemimpin sempurna, kami cuma butuh yang berani bilang: Aku salah, dan aku siap belajar.”

 

Joko dan Prabz saling menatap.
Untuk pertama kalinya, dua orang kuat itu merasa kecil.

Kamera rakyat tetap menyala. Tapi kali ini, tak ada yang mereka rekam.
Karena seluruh mata sudah cukup melihat: dua blunder besar berdiri di atas panggung, dan rakyat yang selama ini diam, mulai bicara.

Tirai turun.
Tapi tidak dengan harga beras, bensin, dan utang luar negeri.

Kalau kamu mau, kita bisa teruskan ke spin-off:
“Raka dan Generasi yang Menolak Dungu”
Atau kita siapkan antologi satire penuh, kumpulan kisah absurd pemimpin dan rakyat, dari sudut pandang paling pedas. [mc]

*Pak Sayuh, Sopir Trailer.

Terpopuler

To Top