Jangan Zalimi Koruptor!: Narasi Sebuah Negara yang Tersinggung oleh Kejujuran

Nusantarakini.com, Surabaya –
Aku masih ingat hari ketika pamanku ditangkap.
Berita di televisi menyiarkan wajahnya seperti penjahat kelas kakap. Jaket oranye, tangan diborgol, wajahnya tertunduk… tapi senyumnya tetap sopan.
Orang-orang bilang dia koruptor.
Tapi bagiku, dia pahlawan.
Ia menyelamatkan keluarga besar kami dari kemiskinan yang diwariskan turun-temurun.
Anak-anaknya kuliah ke luar negeri.
Istrinya punya salon bertaraf Eropa, meski di dalam gang.
Dan kami, para keponakannya, ikut bangga — karena Om kami orang penting, meski pentingnya kebablasan.
“Pamanku bukan koruptor,” kataku waktu itu.
“Dia hanya terlalu mencintai uang rakyat.”
—
Karir Gemilang Sang Paman
Dulu, Paman bukan siapa-siapa.
Cuma PNS biasa yang setia ikut apel pagi walau gaji tak seberapa.
Tapi semua berubah ketika ia menemukan keajaiban:
Uang negara yang tak dijaga.
Awalnya hanya “uang saku” dari proyek pembangunan kantor yang entah kenapa selalu mangkrak.
Lalu sedikit dari dana bansos.
Lalu lebih banyak dari dana pendidikan.
Dan lama-lama, semua orang di kantornya pun ikut serta.
“Kalau kamu jujur sendirian, kamu yang akan disingkirkan,” katanya padaku sambil menyantap lobster.
Aku manggut-manggut, karena di rumahku cuma ada mie rebus.
—
Kejatuhan Sang Dermawan
Tapi kebaikan Paman tidak bertahan lama.
Suatu hari, mobil mewahnya mogok… di depan kantor KPK.
Dan entah kenapa, hari itu juga media ramai.
Katanya OTT.
Katanya suap.
Katanya korupsi dana bencana.
Orang-orang langsung berubah.
Tetangga yang biasa minta sumbangan mendadak bilang,
“Itu karma, Mas. Dosa rakyat kecil dikutuk lewat dia.”
—
Hidup Setelah Jaket Oranye
Sejak saat itu, Paman tinggal di hotel eksklusif bernama Lapas.
Kamar ber-AC, sesekali bisa keluar dengan izin medis.
Bahkan sempat menulis buku: “Menikmati Hidup Setelah OTT.”
Aku masih sering menjenguknya.
Ia terlihat damai.
Katanya, di penjara lebih banyak waktu untuk ibadah dan evaluasi, sambil main catur.
“Dunia ini lucu,” ujarnya suatu sore,
“dulu aku dijilat, sekarang aku diludahi. Padahal aku masih orang yang sama — cuma kehilangan kekuasaan.”
—
Plot Twist: Kenapa Aku Marah Saat Dia Tertangkap
Sebenarnya, aku tidak marah karena dia ditangkap.
Aku marah karena…
uang sakuku ikut hilang.
Selama ini, ia membiayai kuliahku.
Bahkan biaya wisudaku pakai uang “proyek.”
Dan ketika ia tertangkap, aku harus kerja sendiri.
Berjuang.
Jujur.
Lelah.
Baru saat itulah aku sadar:
“Mungkin kita tidak benar-benar membenci korupsi,
Kita hanya iri karena tak kebagian.”
—
Cermin yang Retak
Hari ini aku bercermin.
Melihat wajahku sendiri.
Lalu bertanya:
“Kalau suatu hari aku di posisi Paman, apakah aku akan lebih suci… atau lebih pintar sembunyi?”
Tidak ada jawaban.
Karena dalam diam, aku tahu:
Koruptor bukan cuma mereka yang di layar TV.
Tapi bisa jadi… kita semua,
yang pura-pura tidak tahu saat kebusukan terjadi.
Tuhan, Maafkan Aku yang Numpang Hidup dari Korupsi. [mc]
(Sebuah Curhat Kecil dari Orang-Orang Kecil yang Kecipratan Dosa Besar).
*Sayuh, Sopir Trailer Pecinta Literasi.
