Internasional

ISNA Convention dan Representasi Indonesia

“Yang ingin saya garisbawahi kali ini adalah di balik kebanggaan saya hadir sebagai pembicara, juga ada rasa sedih dan kecewa. Terlebih lagi sebagai seorang Muslim yang hadir dengan wajah atau minimal merasa mewakili sebuah bangsa Muslim terbesar dunia. Kesedihan itu karena dari dua puluhan ribu yang hadir di perhelatan akbar itu, hampir tidak ada warga Muslim asal Indonesia atau keturunan Indonesia. Di Pertemuan Chicago ini hanya ada 4-5 orang. Di antaranya sebagai vendor atau ikut bagian di bazar ISNA convention.”

Nusantarakini.com, Chicago – 

Tidak dapat diingkari bahwa Islam di Amerika dan Barat secara umum menjadi perhatian tersendiri di dunia Islam. Tentu selain karena faktor duniawi, bahwa Amerika dan Barat merepresentasi kemajuan material, teknologi, bahkan nilai-nilai yang dianggap berwajah humanis (Demokrasi misalnya), minimal pada tataran persepsi. Juga karena dalam beberapa dekade terakhir Islam di Amerika dan dunia Barat semakin berkembang. Ada semacam harapan sebagian dunia Islam bahwa kebangkitan Islam justeru akan datang dari arah Barat. Allahu a’lam. Biar Allah dan waktu yang akan membuktikan.

Yang pasti fenomena-fenomena yang ada memang mengarah kepada harapan itu. Contoh mutakhir adalah keputusan Walikota New York untuk mendeklarasikan bahwa suara azan keluar gedung adalah hak Komunitas Muslim yang dijamin oleh UU. Persis hak Kristiani dan Yahudi mengeluarkan suara “lonceng” dan “trompet” dari rumah-rumah ibadah mereka di waktu-waktu ibadah. Bedanya waktu ibadah mereka hanya sekali seminggu. Sementara umat Islam beribadah lima kali sehari semalam. Karenanya sementara ini diperkenankan sekali seminggu, di hari Jumat. Dan setiap Magrib selama Ramadan.

Bagi Komunitas Muslim di Amerika ini bukan sesuatu yang ideal. Karena azan lima waktu adalah praktek agama yang sejatinya dilindungi oleh UU. Namun di sisi lain kelonggran ini sangat disyukuri. Bagi kami ini bukan sekedar azan. Tapi pengakuan akan hak yang sama dengan Komunitas yang selama ini dikenal sebagai mainstream Amerika (Judio-Kristen). Apalagi jika hal ini dibawa ke ranah Dakwah, pastinya disadari bahwa segala sesuatu memerlukan langkah-langkah strategi panjang. Kesabaran dalam berdakwah menjadi pilar penting keberhasilannya.

Organisasi-Organisasi Nasional Muslim Amerika

Sebagaimana di Indonesia ada banyak organisasi-organisasi Islam nasional, yang terbesar di antaranya adalah Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Di Amerika juga banyak organisasi-organisasi Islam yang berskala nasional. Sebagaimana di Indonesia organisasi-organisasi ini menjadi pelaku terdepan dalam pengembangan Dakwah dan Islam di Amerika. Di antara organisasi Islam besar Amerika, sebutlah misalnya ISNA (Islamic Society of North America), ICNA (Islamic Circle of North America), MAS (Muslim American Society), CAIR (Council on American-Islamic Relations), MPAC (Muslim Public Affairs Council), dan banyak lagi.

Semua organisasi tersebut memiliki keunikan dan spesifikasi perjuangan yang berbeda, namun punya tujuan yang sama (common goal). Yaitu memastikan bahwa Islam dan Komunitas Muslim terus maju, berkembang, kuat dan melakukan peranan signifikan dalam kehidupan sosial, bahkan berbangsa dan bernegara di Amerika.

Kita ambil saja tiga organisasi Muslim Amerika yang paling besar dan paling “rooted” (berakar) di kalangan Komunitas Muslim Amerika Utara (AS dan Kanada). Yaitu ISNA, ICNA dan MAS. Ketiga organisasi ini, dan sebenarnya banyak juga lainnya, memiliki ikatan semangat dan kerja yang dekat. Bahkan tokoh-tokoh nasionalnya didapati memainkan dua tiga kaki di organisasi-organisasi itu.

Walaupun demikian, ISNA (Islamic Society of North America) atau Masyarakat Islam se-Amerika Utara) adalah organisasi Islam tertua di Amerika Utara. Minimal sebagai organisasi Islam yang berskala nasional dan diakui oleh sebagian besar warga Muslim Amerika. ISNA didirikan di tahun 60-an. ISNA adalah lompatan dari MSA (Muslim Student Association). Walau MSA tetap eksis bahkan semakin berkembang, para alumninya kemudian memutuskan untuk mendirikan ISNA ini. Kira-kira ISNA adalah rumah para senior dan alumni MSA atah asosiasi pelajar Islam di Amerika Utara.

Di akhir pekan Hari Buruh (Labor Day) ini ISNA kembali mengadakan pertemuan tahunannya di Chicago. Minimal 20,000 umat Islam dari seluruh negeri berkumpul di kota yang dikenal dengan Windy City (kota berangin) ini. Yang menarik dari pertemuan masyarakat Muslim Amerika ini adalah keragaman yang ada. Memang masih didominasi oleh Muslim asal Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika. Namun hampir semua latar belakang Muslim Amerika dan dunia terwakili di perhelatan ini.

Para Ulama dan tokoh yang hadir sebagai narasumber juga sangat ragam. Kita mengenal wajah-wajah lama seperti Dr. Jamal Badawi, Sheikh Hamzah Yusuf, Imam Siraj Wahhaj, Imam Zakir Syed, Dr. Yasir Qadhi, Imam Omar Selaeman, Ingrid Mattson, Dalia Mojahid, adiknya Yasmin Mojahed dan banyak lagi. Beberap sesi non agama diisi oleh narasumber non Muslim. Bahkan dalam isu-isu pemerintahan ada kalangan birokrasi, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif.

Representasi Wajah Muslim Indonesia

Saya sangat bersyukur bahkan ada rasa bangga dalam hati. Dalam beberapa tahun ini saya diundang untuk hadir sebagai salah seorang narasumber di sesi-sesi utama pertemuan ini. Selama ini yang sering mengundang saya adalah ICNA-MAS Convention. Kebetulan masjid kami, Jamaica Muslim Center, di New York dan ICNA Markaz (kantor nasionalnya) bertetangga. Jadi mereka cukup mengenal saya bahkan sering mengundang sebagai pembicara di acara-acara maupun untuk khutbah di Markaz mereka.

Berbeda dengan ICNA/MAS, kemungkinan faktor utamanya mengundang saya sebagai narasumber karena kedekatan dengan tokoh-tokoh nasional mereka yang menjadi wajah publik Muslim Amerika. Imam Majid misalnya, salah seorang mantan Presiden ISNA, saat ini menjabat sebagai salah seorang anggota di Commission on International Religious Freedom. Juga Dr. Saeed Syed yang sangat dikenal di kalangan birokrat di Capitol Hill maupun White House. Juga karena Direktur Program ISNA saat ini adalah juga alumni International Islamic University Islamabad, Pakistan seperti saya.

Yang ingin saya garisbawahi kali ini adalah di balik kebanggaan saya hadir sebagai pembicara, juga ada rasa sedih dan kecewa. Terlebih lagi sebagai seorang Muslim yang hadir dengan wajah atau minimal merasa mewakili sebuah bangsa Muslim terbesar dunia. Kesedihan itu karena dari dua puluhan ribu yang hadir di perhelatan akbar itu, hampir tidak ada warga Muslim asal Indonesia atau keturunan Indonesia. Di Pertemuan Chicago ini hanya ada 4-5 orang. Di antaranya sebagai vendor atau ikut bagian di bazar ISNA convention.

Seringkali kita dengarkan keinginan bahkan ambisi bangsa ini untuk lebih dikenal dan punya akses global. Kenyataannya keinginan itu seringkali hanya mimpi-mimpi indah yang terbawa dalam lamunan yang panjang. Di berbagai perhelatan lintas Komunitas yang saya hadiri di Amerika hampir tidak terlihat wajah bangsa dan negara Muslim terbesar dunia itu.

Ternyata hal ini sekaligus menjadi salah satu jawaban dari kegalauan panjang saya selama ini. Kenapa Muslim Indonesia masih saja belum punya akses dan masih minim memainkan peranan di kancah global? Bahkan diakui atau tidak, ada pandangan sebelah mata dan pertanyaan yang tak terucapkan oleh orang lain di luar sana. “Apa iya Muslim Indonesia juga bisa?”

Jawaban itu ternyata: “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu bangsa hingg bangsa itu merubah dirinya sendiri.”

Semoga kita tersadarkan! [mc]

Chicago airport, 3 September 2023

*Shamsi Ali, Diaspora Muslim Indonesia di AS.

Terpopuler

To Top