‘Highlight’ Hancurnya PLN

Nusantarakini.com, Magelang –Sesuai pengakuan John Perkins dalam bukunya “The Confession Of an Economic Hitman” yang bermakna “pengakuan seorang perusak ekonomi” (dalam bidang kelistrikan) mulai 1975 dan berkantor di PLN Distribusi Bandung, menurut pengakuannya dalam strategi “merusak” PLN , ybs membuat prediksi pertumbuhan kelistrikan yang “over optimistic” sampai 20%. Sehingga karena takut kekurangan listrik maka mulai 1980 an PLN terpaksa mengakomodir kehadiran konsep IPP (“Independent Power Producer”) seperti GE (General Electric/AS), Siemens, EDF (Electric Defrance, Perancis), Kanshai, Mitsubishi Jepang dst. Dengan diantaranya menerapkan klausul TOP (“Take Or Pay”) yaitu suatu ketentuan “kerja tidak kerja” minimal 70% stroom IPP harus dibeli PLN .

Dan terbitlah UU No 15/1985 ttg Ketenagalistrikan, tetapi PLN masih sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan System “Single Buyer”. Sehingga Negara masih eksis dalam Sektor Ketenagalistrikan.

Selanjutnya secara Ideologi Ekonomi, yaitu semula kelistrikan masuk dalam pasal 33 ayat 2 UUD 1945 dan dianggap sebagai “Infrastruktur” dengan KPI (“Key Performance Indicator”) yang perhitungan biaya operasinya dihitung secara kemanfaatan atau “Benifit Cost Ratio” (BCR), kemudian di rubah secara komersial dengan ukuran “untung/rugi”.

Dan selanjutnya terbitlah LOI (“Letter Of Intent”) pada 31 Oktober 1997, yang diantaranya tidak menghendaki Negara mengoperasikan BUMN Strategis Pelayanan Publik (antara lain PLN), sehingga selanjutnya terbitlah “The Power Sector Restructuring Program” (PSRP) dimana PLN Jawa-Bali harus dijual/diprivatisasi ke Aseng/Asing. Dan PLN Luar Jawa-Bali diserahkan PEMDA. Yang selanjutnya kondisi tersebut disebut sebagai program “Liberalisasi Sektor Ketenagalistrikan” !

Guna mempercepat Liberalisasi Perdagangan (yg didalamnya ada Liberalisasi Sektor Ketenagalistrikan) maka diperlukan Amandemen UUD 1945 dan segera diterbitkannya UU Sektor seperti UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan.

Guna mewujudkan PSRP serta UU Ketenagalistrikan diatas, Menteri Keuangan Bambang Subianto pada tgl 24 April 1999 berkirim surat ke Presiden ADB Tadano Chino minta bantuan keuangan sebesar AS$ 400 juta untuk menerbitkan UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dimaksud. Dengan rincian AS$ 380 juta biaya penyusunan RUUK dan AS$ 20 juta biaya “Capacity Building”.

Selanjutnya dengan biaya ADB diatas terbitlah UU No 20/2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun mengingat isi UU tsb akan terjadi “Unbundling” dan harus terjualnya/privatisasi PLN, maka SP PLN mengajukan “Judicial Review” ke MK. Dan MK membatalkan secara total UU No 20/2002 ttg Ketenagalistrikan tersebut pada 15 Desember 2004 dng No 001- 021-022/PUU-I/2003. Dan dihidupkan lagi (dengan Naskah Akademik yang sama yaitu PSRP) dengan UU No 30/2009 ttg Ketenagalistrikan yang baru. Namun karena Naskah Akademiknya sama dengan UU No 20/2002 (Almarhum) maka pasal2 “Unbundling” nya dibatalkan lagi oleh MK dng putusan No 111/PUU-XIII/2015 tgl 14 Desember 2016.

Namun dengan “pongah” nya DIRUT PLN Dahlan Iskan, saat JR UU No 30/2009 didepan MK mengatakan bahwa untuk mengelola PLN tidak diperlukan UU (Inilah “mindset Liberal seorang Dahlan Iskan yg bertentangan dengan Panca Sila dan Konstitusi itu). Dan sejak saat itu ybs membuat pembangkit IPP PLTU Embalut (milik pribadi) di Kaltim, dengan tarip listrik tertentu diajukannya ke PLN selaku pemilik IPP itu. Dan dia juga yg menyetujui selaku DIRUT PLN (“jeruk makan jeruk”) sehingga harga bisa dibuat suka2 ! Disamping itu ritail PLN Jawa-Bali dijualnya ke Tommy Winata, James Riady, Aguan dst (yg besar2/whole sale market), sedang yang “recehan” dijualnya dng System Token lewat pabrik Taipan 9 Naga dengan penjualan lewat Alfamart dll.

SUDAH BERLANGSUNG LISTRIK LIBERAL (MBMS) DI JAWA-BALI.

Dengan dijualnya seluruh Ritail di kawasan Jawa-Bali, maka sebenarnya Dahlan Iskan telah menghidupkan lagi UU No 20/2002 ttg Ketenagalistrikan yg telah dibatalkan MK pada 2004 diatas. Atau telah menciptakan kondisi Liberal Kelistrikan Jawa-Bali. Artinya kalau kelistrikan Jawa-Bali sesuai UU No 15/1985 ttg Ketenagalistrikan masih berstatus “Single Buyer”, maka dengan pelanggaran Konstitusi oleh Dahlan Iskan, saat ini kelistrikan Jawa-Bali sebenarnya sudah dalam kondisi “Multy Buyer and Multy Seller” (MBMS) System. Dan sebenarnya tarip listrik sudah sepenuhnya dikuasai Kartel Listrik Swasta.

Sehingga sebenarnya (sesuai analisa Sidang MK) tarip listrik saat ini sudah 3-4x lipat saat ini ! Namun karena di tutup dengan subsidi Pemerintah yang sebenarnya sudah ratusan triliun (contoh, LK PLN 2020, Kelistrikan masih harus disubsidi Rp 200,8 triliun, Repelita Online 8 Nopember 2020), maka tarip listrik seolah olah masih normal.

PROGRAM HSH (HOLDING/SUB-HOLDING).

Makanya jangan heran saat ini diberlakukan Program HSH. Ini semua dipaksa diberlakukan guna menghilangkan beban subsidi ratusan triliun tiap tahunnya. Setelah HSH selesai dan PLN Jawa-Bali di bubar kan, PLN Luar Jawa-Bali diserahkan PEMDA, maka akan terjadi kenaikan tarip secara Liberal akibat MBMS, dan akan langsung dibebankan ke Konsumen dalam kenaikan tarip minimal 4 x lipat !!
Dan akan ditagih langsung oleh Kartel Liswas karena PLN saat demikian sudah bubar !! [mc]

Magelang, 11 Desember 2022.

*Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.