Nusantarakini.com, Jakarta –
Apa yang dialami Neno Warisman di Pekanbaru dan Ratna Sarumpaet di Pangkal Pinang bukan hal baru. Sejak zaman Soeharto sudah ada, bahkan lebih bengis dan kejam. Ratna yang old crack seperti SBP pasti tahu, karena dia sudah mengalami berkali-kali di zaman Soeharto.
Tapi tidak ada yang lebih sadis dan kejam dibanding dengan apa yang dialami oleh Marsinah, aktivis buruh perempuan dari Sidoarjo. Marsinah dibunuh dengan badan dan kemaluannya ditusuk-tusuk, hanya karena memimpin buruh berunjukrasa dan mogok–sesuatu yang dijamin Pasal 28 Konstitusi.
Di jaman itu “lalat hijau” yang melakukannya, bukan “wereng coklat” seperti sekarang. Wartawan Bernas, Yogyakarta, Udin, juga mengalami hal yang sama: dibunuh. Sampai saat ini kasus-kasus pembunuhan itu tidak pernah terdengar masuk pengadilan.
SBP mengalami beberapa kali dikerjai juga, diantaranya di Yogya, ketika SBY masih Danrem. Ruangan LBH Yogya tempatnya memberikan ceramah sudah dikepung oleh panser-panser dan anak buah SBY. Juga banyak mobil polisi yang ikut membantu. Maksudnya mau membubarkan, tapi karena tidak tahu tema ceramah akhirnya ikut masuk mendengarkan. Tapi, karena telinga menjadi merah, akhirnya ceramah dibubarkan juga!
Lain waktu, Pilot pesawat yang membawa SBP diminta untuk memarkir di tempat VIP Bandara Adi Soetjipto. Sehingga, puluhan mahasiswa penjemput kecele. SBP sendiri dijemput jeep polisi untuk dibawa ke Kampus tempat seminar dengan pengawasan ketat. Selesai Seminar diantar pulang lagi ke Bandara.
Di Makasar lain lagi. Sesudah dikepung ratusan petugas gabungan TNI dan Polri, listrik dimatikan. Khawatir ada yang main badik, SBP dilarikan dengan sepeda motor pulang ke Asrama HMI. Kejadian yang mirip berlangsung di Palu, Surabaya, Bandung dan lain-lain.
Akhirnya SBP diadili pula, sesudah diumpat dan diserapahi para jenderal, termasuk Panglima ABRI. Dituduh menghina Soeharto, lalu masuk bui. Sebelum Soeharto tersungkur jatuh, penculikan dan penghilangan Pemuda dan Mahasiswa oleh TNI juga marak. Dan sampai sekarang yang hilang belum ditemukan pula, kecuali 4 Mahasiswa Trisakti yang terbunuh.
Di zaman Habibie, 16+1 mahasiswa dan pemuda tewas ditembak di Kasus Semanggi 1+2. Lalu belasan Pemuda Pam Swakarsa hilang pula nyawanya. Semua perkara itu hilang begitu saja. Sungguh pengecut!
Di zaman Mega dan SBY belasan mahasiswa masuk bui dengan tuduhan menghina Presiden. Belum jera pula dengan sifat represifnya, Rezim SBY membubarkan Kongres Golput di Yogya, Solo dan Bandung. Bersama puluhan peserta Kongres, SBP disekap di Poltabes Yogya selama 8 jam. Di Solo dihadapkan dengan puluhan Polisi Poltabes bersenjata laras bersama anjing-anjingnya.
Belum terhitung dibunuhnya puluhan terduga teroris, baik dengan pelor maupun bom. Ditangkapnya pula aktivis yang membakar baliho bergambar SBY-JK. Tapi dari situ Pasal-pasal Penghinaan kepada Presiden justru berhasil dicabut pada 2006. Setahun kemudian Pasal Kebencian kepada Pemerintah dicabut pula dalam Kasus Unjukrasa di Banda Aceh. Ternyata masih ada yang berpikir waras.
Sekarang Rezim Jokowi dengan Pasukan Wereng Coklatnya mengulang lagi arogansi dan bengisnya aparat bersenjata. Masa dari Ormas-ormas yang awalnya dibentuk Soeharto untuk Program Adu-Domba dalam Konflik Horisontal pun mulai disemarakkan lagi. Tentu pelanggaran HAM dan pembunuhan masal ini semua harus diakhiri.
Akhirnya semakin besar masa rakyat yang anti-pati kepada Rezim yang selalu memperalat aparat bersenjata keluar dari fungsi dan tugas yang sebenarnya. Seperti terjadi pada Soekarno dan Soeharto, akhirnya Jokowi juga akan merasakan kejatuhannya oleh masa rakyat. Pasal 28 UUD45 sungguh sakti: “Kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat, baik lisan maupun tulisan dan lain-lain dijamin oleh undang-undang…”
Pasca Jokowi, jabatan Kapolri harus dihapus. Seiring dengan Otonomi Provinsi, jabatan tertinggi Polri adalah Kapolda yang dikoordinir oleh Gubernur. Lalu dibentuk badan-badan di tingkat Negara, seperti Badan Keamanan Nasional, Badan Penyelidik Negara dan Badan Polisi Rahasia. Tentu Densus88 dihapus pula! [mc]
*Sri-Bintang Pamungkas, Aktivis Senior, Mantan Politisi.