Warkop-98

Pigai: Kasus Meliana, Personil dan Instrumen Intelijen Keamanan Lemah!

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Meliana, seorang warga Tanjung Balai divonis 1,5 tahun di Pengadilan Negeri Medan atas kasus penistaan agama. Kasus Meliana tak lain merupakan salah satu bukti lemahnya intelijen keamanan.

Kerusuhan pada Sabtu 29 Juli 2016 tidak akan terjadi jika penanggung jawab keamanan mampu membendung rantai komunikasi dan mengorganisir kekuatan internal aparat keamanan di Kota Tanjung Balai. Apalagi peristiwa tersebut terjadi 6 hari sebelum kerusuhan. Bisa dibayangkan ada rantai informasi yang mengandung kebencian SARA selama satu minggu tidak bisa dideteksi oleh aparat intelijen.

Saya bertanya kepada penanggungjawab intelijen keamanan di Tanjung Balai, bahkan saya minta dia memperlihatkan handphone (HP) yang ternyata memiliki HP Nokia jadul. Bagaimana bisa deteksi informasi kalau instrumental kepolisian tidak dimodernisasi dan SDM tidak ditingkatkan kualitasnya. Pengrusakan rumah ibadah di Tanjung Balai terjadi karena kurang sigapnya polisi. Tanjung Balai merupakan sebuah kota terkecil di Sumatera Utara sehingga bantuan keamanan dari kabupaten tetangga seperti Asahan jika saat itu sangat diperlukan.

Saya menemukan fakta bahwa terjadi distorsi informasi yang dilakukan dan disebarkan oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab.

Distorsi informasi tersebut dilakukan sebagai upaya provokasi untuk memancing amarah kelompok tertentu. Provokator itu ingin agar suatu kelompok membenci kelompok lain. Aksi perusakan Wihara dan Klenteng di Tanjung Balai yang jumlahnya mencapai 15 buah.

Sesunguhnya peristiwa tersebut bermula saat Meliana menyampaikan keberatan mengenai suara azan dari Masjid Al-Makshum yang berlokasi di depan rumahnya. Meliana menilai suara azan itu lebih keras dibandingkan waktu sebelumnya.

Dia menyampaikan keluhannya itu karena ayah Uwo, Kasidi, adalah nadzir masjid. Meliana berharap keberatannya itu disampaikan kepada pengurus masjid. Keberatan Meliana disampaikan Uwo kepada adiknya, Hermayanti (40) dan diteruskan kepada Kasidi.

Pada 29 Juli, usai salat magrib berjamaah sekitar pukul 19.00 WIB, Kasidi menyampaikan keberatan Meliana itu kepada pengurus dewan kesejahteraan masjid, Dailami, disaksikan beberapa jemaah masjid. Setelah menerima informasi itu, mereka berkunjung ke rumah Meliana untuk mengklarifikasi.

Pada saat klarifikasi itu, terjadi perdebatan antara pengurus masjid dengan Meliana. Debat itu mengundang keingintahuan warga sekitar.

Pengurus masjid lalu kembali ke masjid yang kemudian disusul suami Meliana. Dia meminta maaf atas adanya perdebatan istrinya dengan pengurus masjid.

Setelah salat isya sekitar pukul 20.00 WIB, ternyata jumlah massa di sekitar rumah Meliana bertambah banyak. Kepala kampung setempat memutuskan agar permasalahan tersebut diselesaikan di kantor Kelurahan. Kedua belah pihak yang berselisih berkumpul di sana.

Namun, isu yang beredar pada saat itu berubah. Ada warga etnis Tionghoa yang melarang azan, mematikan speaker masjid, sehingga jumlah massa yang mendatangi rumah Meliana dan kantor kelurahan semakin bertambah banyak.

Sekitar pukul 21.00-23.00 WIB, terjadi mediasi dan dialog terkait permasalahan tersebut. Mediasi dilakukan di kantor kelurahan Tanjungbalai Kota I, kantor Kepolisian Sektor Tanjungbalai Selatan, kantor Kepolisian Resor Tanjungbalai.

Hasil mediasi, Meliana dan keluarga telah meminta maaf atas ucapannya yang keberatan dengan suara azan di Masjid Al-Makhsum yang dinilai terlalu keras.

Tak disangka, pada pukul 23.00 WIB, massa yang terus bertambah dan diperkirakan mencapai seribu orang melampiaskan kemarahannya dengan melakukan penyerangan, pengrusakan, dan pembakaran terhadap rumah milik Meliana dan rumah ibadah di kota itu. Kejadian itu berlangsung hingga pukul 03.00 WIB, Sabtu dini hari.

Sesungguhnya, keberatan yang disampaikan Meliana tidak dimaksudkan untuk menyebar kebencian etnis dan agama. Apa yang disampaikan oleh Meliana, merupakan kata-kata yang tidak memiliki tendensi negatif dan tidak didasarkan pada rasa kebencian terhadap agama tertentu. Tetapi ada oknum-oknum tertentu yang membelokan informasi seakan-akan kebencian etnis dan agama. Masyarakat sangat mudah terpancing karena adanya turbulensi sosial dan politik nasional oleh karena perilaku pongah yang diperlihatkan oleh Ahok dan Jokowi berpengaruh sampai ke masyarakat lapisan bawah.

Meskipum peristiwa telah berlalu, namun sampai saat ini yang dibutuhkan adalah pemerintah pusat, Pemprov Sumatera Utara dan Pemkot Tanjung Balai untuk melakukan reintegrasi sosial antaretnis dan antaragama. Reintegrasi menjadi urgen karena mengingat kerusuhan berbau SARA di Tanjung Balai sudah beberapa kali terjadi, yaitu, pada tahun 1979, tahun 1989, dan tahun 1998. Proses reintegrasi sosial harus dipimpin oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai tokoh masyarakat dan tokoh agama di Tanjung Balai. Sebelumnya juga pernah konflik antara Melayu dan suku Aceh di Tanjung Balai. Jadi memang Tanjung Balai ini wilayah yang rentan konflik etnik dan agama.

Saya melakukan olah TKP berkali-kali dan mendatangi setiap pelaku dan korban, berbagai elemen masyarakat dan saya belum pernah menemukan seorang wanita keturunan Tionghoa ini pantas dihukum. Namun hari ini, Hukuman terhadap Meiliana dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (21/8). Majelis menyatakan perempuan itu telah melakukan perbuatan yang diatur dan diancam dengan Pasal 156A KUHPidana.

Apakah benar Meliana ini salah? ataukan dia seorang wanita yang menjadi korban amukan akibat kebencian yang akut atas perilaku ponga yang diperlihatkan Ahok dan Jokowi?

Apakah betul dengan apa yang dikatakan Hakim bahwa Meliana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Lantas, menjatuhkan kepada terdakwa pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan dikurangi masa tahanan.

Saya tetap meyakini dengan apa yang saya lihat, dengar, rasakan dan dengan berpegang teguh pada prinsip kebenaran dan dugaan hati nurani, bahwa Meliana adalah hanyalah seorang warga negara kecil keturunan Tionghoa yang menjadi korban kebencian atas perilaku pongah yang dipertontonkan Ahok dan Jokowi sehingga menimbulkan friksi yang tajam antar etnis dan agama di negeri tercinta ini. I love You Meliana! [mc]

*Natalius Pigai, Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Meliana, Tanjung Balai, 2016.

Terpopuler

To Top