Nusantarakini.com, Jamaica Hills –
Di hari-hari terakhir ini seharusnya bagi seorang Mukmin akan melahirkan perasaan kerinduan. Merindukan syurga, rindu Rasulullah, dan tentunya kerinduan terbesar adalah menatap wajah Ilahi kelak nanti.
Sungguh disebutkan bahwa dari sekian kesenangan ukhrawi kelak, tak ada lagi yang paling diimpikan oleh manusia Mukmin lebih dari menatap wajah sang Khaliq. Bahkan secara khusus “menatap wajahNya” ini disebut dengan “ziyadah”.
Al-Quran menggambarkan kegembiraan itu, menjadikan wajah-wajah ahli syurga bersinar memandang wajah Tuhannya. “Dan pada hari itu wajah mereka bercahaya. Mereka memandang wajah Tuhannya” (Al-Quran).
Untuk terwujudnya kerinduan itu diperlukan “mujahadah” penuh dalam Ibadah, seraya mengesampingkan sementara segala godaan nafsu duniawi.
Maka di hari-hari terakhir inilah hati dan jiwa, bahkan raga hamba-hamba yang beriman dengan sepenuhnya terdedikasikan kepada keharibaanNya. Betapa tidak, makan, minum, tidur, bahkan semua kesenangan dunia untuk sementara dikesampingkan demi mencari ridhoNya.
Secara khusus Allah mengingatkan mereka yang beri’tikaf: “dan jangan kamu melakukan hubungan (suami isteri) sedangkan kamu beri’tikaf” (Al-Quran).
Jika di hari-hari selain sepuluh terakhir larangan makan, minum dan hubungan suami isteri hanya di saat berpuasa di siang hari, justeru bagi hamba-hanba yang sedang mendedikasikan diri kepada Allah di sepuluh hari/malam terakhir secara gamblang dilarang melakukan hubungan itu. Ini mengindikasikan urgensi melawan godaan kesenangan dunia sementara.
Memang jika kita lihat secara dekat hal-hal yang menjadi penghalang antara seorang hamba dan Rabbnya, godaan dunia dengan segala ragamnya itulah yang terbesar. Ayat di Surah Al-Qiyaamah yang membicarakan tentang “melihat wajah Tuhan” (ilaa Rabbiha naadzirah) justeru didahului dengan peringatan: “Sayang sekali, tapi kamu terlalu mencintai al-aajilah (dunia). Dan acu terhadap urusan akhirat” (Al-Quran).
Oleh karenanya sekali lagi, cinta dunia berlebihan inilah yang menjadikan banyak orang terhalang dari kenikmatan terbesar ukhrawi kelak. Yaitu memandang wajah Tuhan, Dzat Yang Maha Mencipta.
Ibadah-Ibadah yang dilakukan di saat hati mampu mengesampingkan nafsu duniawi yang sementara ini juga menjadi lebih efektif dalam mendekatkan kita kepada Allah.
“Beruntunglah siapa yang mensucikan jiwa. Dan ingat kepada Allah dan sholat” (Al-Quran).
Pensucian jiwa yang disebutkan pada ayat di atas adalah kemampuan menjaga jiwa dari godaan nafsu duniawi yang disebutkan kemudian: “akan tetapi kamu terlalu melebihkan (tu’tsiruna) kehidupan dunia”.
Hari-hari sepuluh terakhir memang disiapkan oleh Allah SWT untuk hamba-hambaNya yang merindukan pertemuan denganNya. Pertemuan batin (spiritual encounter) sebelum pertemuan yang sesungguhnya di hari Akhirat kelak.
Sepuluh hari/malam terlahir juga sangat identik dengan “nuzul Al-Quran” (turunnya Al-Quran) di sebuah malam yang sangat istimewa. Qadarullah (Allah menghendaki demikian) malam itu tidak disebutkan persisnya. Menjadikan semua malam di hari-hari terakhir terasa sangat istimewa. Karena di semua malam akan diantisipasi sebagai malam “Al-Qadar” itu.
Yang saya ingin ingatkan kali ini adalah betapa istimewanya interaksi yang terjadi antara hamba-hamba dan Kalam Allah. Di hari-hari inilah Al-Quran menjadi bacaan yang dirindukan. Walau seharusnya tidak hanya di hari-hari ini. Tapi demikianlah kejiwaan hamba-hamba yang beriman di bulan ini, khususnya di hari-hari terakhir.
Dan bagi jiwa-jiwa yang mengimani Al-Quran membacanya bukan sekedar membaca. Tapi batinnya melakukan komunikasi dengan Sumber Al-Kalam yang al-Mu’jiz (sang penakluk).
Tentu hal pertama yang akan ditaklukkan Al-Quran adalah kebekuan jiwa-jiwa manusia. Dari jiwa yang keras, kering, bahkan mati menjadi jiwa yang lembut, subur dan hidup.
Di sinilah kerap kita lihat ayat-ayat yang berbicara tentang turunnya wahyu dikaitkan dengan turunnya hujan dari langit. Karena memang keduanya adalah sumber kehidupan. Wahyu menghidupi jiwa manusia. Sedangkan hujan (air) menghidupi alam materi manusia.
“Dialah Allah menjadikan bumi sebagai hamparan dan langit sebagai bangunan dan Dia yang menurunkan air dari langit. Dan dengan air itu Dia mengeluarkan untuk kamu dari perut bumi buah-buahan…” (Al-Quran).
Lalu pada ayat-ayat selanjutnya Allah mentitahkan kehebatan Kalamnya: “Dan jika kamu ragu dengan apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) maka datangkan satu surah yang sama dengannya….” (Al-Quran).
Bukti langsung bahwa kehidupan manusa tidak saja dengan air lahir yang diturunkan dari langit. Tapi juga dengan air (siraman) batin berapa Kalam Ilahi yang diturunkan di bulan suci ini.
Maka di akhir-akhir Ramadan ini mari menghidupkan jiwa-jiwa yang kering, membangunkan kembali fitrah kesucian kita agar hidup lebih bermakna. Dan dengannya di akhir Ramadan nanti kita memang punya hak mengklaim jika kita telah menang, dan berhak untuk merayakannya. Semoga!
Jamaica Hills, 7 Juni 2018
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. [mc]