Analisa

INDONESIA PASCA JOKOWI: Jatuhnya Rupiah dan Kemampuan Iptek 

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Semua mata uang, seperti halnya semua barang dan jasa, punya harga. Seperti Rupiah yang harganya 1/15,000 USD untuk tiap Rupiah. Atau Dollar AS yang harganya 15,000 Rupiah tiap Dollarnya. Tapi berbeda dari mata uang-mata uang lain, khususnya dari negara-negara besar.

Harga Rupiah, baik dalam Dollar maupun dalam mata uang lain tidak ajeg dan stabil, melainkan terus-menerus jatuh dari waktu ke waktu. Misalnya, kemarin harganya masih 1/14,000 $, sekarang sudah turun menuju 1/15,000 $. Dalam hal tersebut harga Dollar yang naik, yaitu dari 14,000 Rp/$ menjadi 15,000 Rp/$. Padahal mempertahankan harga mata uang itu penting sekali dalam perekonomian, terutama dalam perdagangan dan investasi antar negara, supaya ada kepastian untuk transaksi ke depan, serta sebagai ukuran yang menunjukkan kekuatan dan keberhasilan negara tersebut secara internasional dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya!

Penurunan harga atau nilai Rupiah itu sudah merupakan trend dari tahun ke tahun (time series). Semisal pada tahun awal 1980 nilainya masih 1,100 Rp/$, lalu pada pertengahan 1997 nilainya menjadi 2,450, pada 2004 mencapai 10,000-an, dan sekarang menuju 15,000 Rp/$. Pada masa Krisis Moneter 1997/98 harga Dollar pernah mencapai 15,000 naik ke 17,000 lalu turun ke 6,500 Rp/$ di zaman Habibie. Naik lagi menjadi 10,000 Rp/$ di zaman Gus Dur.

Dengan trend seperti itu,kalau tidak terjadi perubahan besar, seperti misalnya pergantian rezim, niscaya nilai Rupiah akan jatuh terus-menerus dari 15,000 menjadi 20,000 Rp/$ sampai tak terhingga. Hanya kalau ada pergantian rezim, dari Rezim Koplak sekarang ini menjadi Rezim Cerdas Bermartabat, maka nilai Rupiah bisa meningkat dan stabil, misalnya pada harga 2,000 Rp/$, seperti pada sebelum Krisis Moneter. Atau bahkan kebih rendah lagi 1,000 Rp/$ seperti di zaman Orba.

Kenapa nilai Rupiah jatuh terus?! Seperti halnya barang dan jasa, ambillah beras sebagai contoh, kalau jumlahnya banyak, maka harganya murah. Kalau sedang langka di pasar akibat paceklik, harganya menjadi mahal. Demikian pula, kalau dokter kita banyak dan pandai-pandai, maka biaya Rumah Sakit menjadi murah. Juga kalau Dollar sedang melimpah, harganya murah bisa 1,000 Rp/$. Sekarang ini sedang langka sekali dibanding dengan permintaan. Kita bisa mendapatkan banyak Dollar dari ekspor dan kehilangan banyak Dollar dari impor.

Sedang untuk mempertahankan nilai Dollar (yang juga berarti mempertahankan nilai Rupiah) agar stabil, maka kita (juga setiap negara!) harus mempunyai Cadangan Devisa (terutama Dollar dan mata uang negara-negara besar) yang cukup banyak. Sama seperti kita harus mempunyai Cadangan/Persediaan Minyak/Energi dan Cadangan Beras/Pangan dalam jumlah yang cukup banyak.

Nilai Rupiah kita jatuh terus-menerus, karena Indonesia tidak mampu menghasilkan Dollar dan tidak punya Cadangan Dollar yang cukup, bahkan seringkali terkuras habis. Ekspor kita sangat lemah, sedang impor kita tak terkendali.

Dengan demikian, nilai Rupiah kita itu tergantung pada arus masuk-keluarnya Dollar atau Devisa (mata uang asing). Nilai mata uang setiap negara juga tergantung pada jumlah Devisa yang keluar dan masuk seperti itu.

Tentang masuk dan keluarnya Devisa itu dapat dilihat dari Neraca Pembayaran atau Balance of Payments, yang terdiri dari tiga Akun, Akun Perdagangan Barang, Akun Jasa dan Akun Modal. Selama Orde Baru, Akun Perdagangan Barang kita masih positip atau surplus. Artinya Expor Barang kita lebih besar daripada Impor, terutama katena kita exportir minyak dan gas. Surplus itu sulit dipertahankan, karena minyak kita semakin habis dan produksinya dikuasai asing. Kemampuan Teknologi yang diwariskan Belanda tidak bisa dipertahankan oleh anak negeri. Juga karena kebijakan rezim yang lemah.

Di bawah SBY, Indonesia malah keluar dari OPEC, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak. Sedang ekspor Non-Migas juga terganjal oleh kemampuan Iptek. Sementara impor kita sangat besar terutama untuk barang-barang modal/mesin-mesin, bahan baku dan kebutuhan pokok lainnyw. Intinya, barang-barang hasil industri kita itu mahal dan kurang berkualitas, sehingga kalah bersaing dengan produk-produk asing. Bahkan di jaman Jokowi Akun Perdagangan Barang kita sudah negatip atau minus.

Terlebih-lebih amat negatip untuk Akun Jasa, seperti jasa pendidikan, kesehatan, dan jasa keahlian lainnya. jasa perbengkelan (overhaul pesawat terbang, kapal laut, dll). Sewa armada kapal untuk ekspor dan impor, asuransi dan jasa-jasa lain. Sepanjang sejarah Republik, Akun Jasa ini hampir tidak pernah positip. Sekalipun ada TKI dan TKW yang mengirim Devisa ke dalam negeri, tetapi banyak pula tenaga-tenaga Asing, termasuk ratusan ribu Aseng-aseng RRC yang bekerja di Indonesia sekarang ini, juga mengirim sebagian gajinya ke negara asalnya. Intinya Indonesia lagi-lagi tidak punya cukup Iptek sehingga tergantung pada asing. Seperti sekolah ke AS, Jepang dan Eropa, serta berobat ke Singapura dan lain-lain. Devisa kita terkuras. Bayangkan, 50 tahun kita memproduksi mobil dengan Engineering & Development Asing, tanpa bisa bikin mobil sendiri.

Belum lagi pembayaran bunga atas Utang Luar Negeri/ULN kita yang juga dianggap sebagai jasa atas modal. Semakin besar ULN, semakin besar pula Devisa berupa bunga utang yang harus dibayar keluar. Alhasil, jumlah Akun Perdagangan Barang dengan Jasa, yang disebut Akun Berjalan (current account), selalu negatip atau defisit dalam jumlah yang amat besar. Ini sudah terjadi sejak jaman baheula.

Intinya adalah, bahwa bertahun-tahun selama ini Indonesia tidak cukup punya Iptek, produktifitas tenaga kerja yang rendah, kualitas ilmu pengetahuan juga rendah, dan tidak punya cukup stock teknologi. Seperti halnya minyak bumi tadi, kemampuan mengolah minerba juga tidak ada. Bahkan bahan mentah harus diekspor keluar negeri, lalu sesudah diolah diimpor kembali; tentu dengan harga yang lebih mahal. Dan ekspor-impor itu pula dilakukan dengan menyewa kapal asing, karena kita tidak punya kapal. Para pemimpin dalam rezim-rezim kita selama ini tidak mampu mengelola sumberdaya manusia dan alam kita. Mereka tidak tahu bagaimana mengelola negara ini. Dan tentu terlalu banyak uang Negara yang dikorup. [mc]

Jakarta, 4 Juni 2018.

*Sri-Bintang Pamungkas, Akademisi Universitas Indonesia.

Terpopuler

To Top