Pilkada DKI

Farouk Alwyni Sesalkan Kenaikan PBB DKI Yang Sangat Memberatkan Kelas Menengah

Nusantarakini.com, Jakarta –

Sebagaimana diketahui, saat ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mengkaji kenaikan pungutan pajak seperti pajak air tanah, pajak parkir gedung, dan, yang telah di naik-kan pajak bumi dan bangunan (PBB). Rencana kenaikan pajak tersebut tidak terlepas dari target Pemprov DKI yang ingin mengerek pendapatan pajak dari Rp 36,125 triliun menjadi Rp 38,125 triliun pada tahun ini.

Akan tetapi, menurut Farouk Abdullah Alwyni, pengamat ekonomi, kenaikan pungutan PBB 2018 perlu dikaji ulang. Pemprov DKI musti cermat mempertimbangkan dampak jangka menengah dan panjangnya terhadap masyarakat. Sebab menurut Farouk, sejak tahun 2014, Jakarta telah mengalami kenaikan tarif PBB yang fantastis, bisa mencapai lebih dari 500% (yang kemudian banyak di di ikuti di daerah-daerah yang lain).

Saat itu Pemprov DKI Jakarta beralasan kenaikan itu -PBB 2014- dilakukan karena sebelumnya tidak pernah ada kenaikan PBB. “Tapi alasan ini tidak akurat jika mereview pergerakan kenaikan PBB di tahun-tahun sebelumnya,” nilainya.

Persoalannya sekarang, setelah meningkat sedikit di tahun 2015, 2016, dan 2017, Pemrov. DKI baru-baru ini kembali meningkatkan tariff dengan nilai yang lumayan, antara 10%-15%. “Kenaikan ini berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat Jakarta karena alokasi dana yang perlu dikeluarkan meningkat sedemikian rupa. Pihak yang paling dirugikan dalam hal ini adalah kelas menengah,” ujarnya.

Ketika orang semakin tua, penghasilannya semakin turun, PBB malah semakin mahal dan mencekik. “Di sini negara bukannya membawa maslahat bagi masyarakat malah membawa mudharat. Persoalannya adalah PBB ini tidak hanya membebani masyarakat Jakarta tetapi juga berbagai kota di Indonesia umum-nya,” sebutnya dengan nada sesal.

Farouk Abdullah Alwyni yang juga merupakan Chairman Cisfed ini tidak menutupi penyesalannya atas kebijakan gubernur Anies ini. “Seharusnya sebelum menaikkan kembali PBB di tahun 2018 ini, Gubernur DKI Jakarta yang baru perlu mereview kembali kebijakan kenaikan PBB yang sangat tidak logis di tahun 2014,” sarannya.

Di satu sisi pencabutan pemberian potongan atau diskon PBB sebesar 50% untuk lapangan golf adalah hal yang patut di apresiasi karena diskon besar untuk lapangan golf adalah sangat tidak proporsional mengingat pihak yang menikmati permainan golf adalah orang-orang yang sangat mampu, sedangkan di sisi lain sangat sulit bagi  anggota masyarakat biasa untuk mendapatkan potongan PBB sebesar 50%.

Tetapi di sisi lain Gubernur DKI yang baru bukannya mengoreksi kesalahan kenaikan PBB yang bombastis di tahun 2014 malahan justru menaikkan kembali PBB di tahun 2018 ini.

“Pada esensinya, kelas menengah perkotaan adalah korban utama dari PBB yang terus meningkat,” nilainya.

Pungutan PBB yang semakin tinggi membebani para pemilik rumah di dalam kota (khususnya daerah Jakarta Pusat). Belum lagi Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta memberikan stigma yang tidak etis, yakni dengan dengan menempelkan tanda besar di depan rumah warga yang tidak mampu membayarkan tagihan PBB-nya. (gift)

Terpopuler

To Top