Warkop-98

GANTI REZIM GANTI SISTEM: Capres-Capres dan Cawapres-Cawapres

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Bagi mereka yang sering ke Manca Negara, khususnya ke Amerika Serikat (AS), dan suka “kluyuran”  ke toko-toko buku, pasti paling tidak akan menemukan buku, katakanlah pocket book, yang berbicara tentang sejarah AS. Sekalipun hanya ditulis dalam satu-dua halaman, atau dalam Kata Pengantarnya; sekedar mau menunjukkan, bahwa seluruh cerita di dalam buku itu, adalah sebuah novel yang terjadi pada masa “baheulak” itu.

Hampir semua orang AS tahu “sejarah Amerika Serikat”, sejak zaman Wild West, tentang Perang Kemerdekaan, tentang Konstitusi, Demokrasi, Hak-hak Asasi, tentang Perang Saudara, Perang Dunia, Perang Dingin, Perang Bintang, tentang Presiden-presiden AS dan lain-lain zaman NOW.

Sampai di tingkat universitas, masih ada pelajaran Sejarah AS. Memang diberikan oleh School of Science and Humanities, tetapi semua mahasiswa dari fakultas lain bisa mengambilnya dengan mudah, bahkan ada yang diwajibkan mengambilnya. Di kita hanya ada sistem paket, tanpa individual study: tahunya hanya itu, tanpa lain-lain… Itu pun sudah sulit, karena mahal!

Bagaimana lalu dengan Indonesia?! Amerika Serikat baru merdeka dari Inggris tahun 1776. Sir Walter Raliegh, Komandan Angkatan Laut Inggris mendarat di Virginia pada 1584 sebelum jenudian Inggris menguasai AS.

Sedang sejarah Indonesia, dikenal dengan Nusantara, sudah ada sejak abad ke-5. Borobudur sudah menjadi tempat Sekolah Agama Budha yang murid-muridnya datang, antara lain, dari Cina dan Tibet. Lalu era Hindu muncul, antara lain, dengan Kerajaan-kerajaan Kediri dan Singasari, sebelum berdiri Majapahit pada 1293. Majapahit adalah Kerajaan merdeka yang wilayah lautnya meliputi Barat Australia sampai Timur Afrika. Lalu datang Kesultanan-kesultanan Islam pada 1500an, disusul dengan Jaman Penjajahan Asing dan Jaman Kemerdekaan.

Kita diajari Sejarah Indonesia itu, tapi tidak mendalam, sambil-lalu saja. Seharusnya tidak boleh begitu. Kenapa?! Agar kita, setiap manusia Indonesia, terlebih yang Indonesia Asli, mencintai Indonesia sepenuh hati dan mampu membawa Indonesia ke jalan (road map) Kejayaan. Sebab, memang Indonesia Negara Kepulauan dan Kelautan yang Jaya sejak dahulu kala, dan tiada keduanya di Dunia ini.

Sebelum orang-orang Indian di AS mengenal Kerajaan, masih menjadi bangsa nomad yang hidup liar, di Indonesia sudah ada Kerajaan. Buku “Negara Kertagama” tentang Indonesia di zaman OLD, sebaiknya disusun kembali dan diajarkan mulai tingkat Sekolah Dasar. Relief di Candi Borobudur dan lain-lain membuktikan Nenek Moyang kita telah mengenal bangsa-bangsa di Amerika Latin.

Salahsatu yang ingin saya kutip adalah Joyoboyo, Raja Kediri pada 1135-1157. Salah satu keahlian yang diberikan Allah SWT kepadanya adalah ramalannya ke masa depan Nusantara. Bahwa nanti akan datang 7 (tujuh) orang Ksatria yang akan memimpin Indonesia di zaman Kemerdekaan. Dimulai dari Soekarno dan berakhir pada Joko Widodo.

Joyoboyo hanya menyebut Tujuh Ksatria itu dimulai dari Satrio Kinunjoro Murbo Waseso, seorang pemimpin yang serba hebat dan pernah masuk-keluar penjara.

Disusul dengan Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, yaitu yang penuh kekayaan dan kekuasaan, tetapi jatuh karena ulahnya sendiri.

Lalu Satrio Jinumput Sumelo Atur Gawe Wirang, pemimpin yang mendapat kekuasaan karena diangkat, sekalipun hanya sementara tapi sempat membikin malu.

Lalu Satrio Lelono Topo Ngrame Wuto Ngiteri Jagad, pemimpin yang semaunya sendiri, suka bikin ulah dan sekalipun buta tapi sempat berkeliling dunia.

Lalu Satrio Piningit Hamung Tuwuh, pemimpin perempuan yang terus-menerus ingin berkuasa.

Lalu Satrio Pinilih Hamboyong Pambukaning Gapuro Gelar Klasa Tanpa Anglenggahi, pemimpin yang dipilih lewat pemilihan, yang seyogyanya membuka sejarah baru, tetapi apa yang diperbuatnya tidak berkenan di hati rakyat.

Disusul dengan yang terakhir Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu Ratu Tanpa Makuto, seorang yang awalnya dikira pemimpin yang punya keahlian oleh sebab petunjuk dari Yang Maha Kuasa, tapi ternyata hanya seperti raja palsu yang hilang kehormatannya.

Ceritanya habis sampai di situ. Ada beberapa versi dari Ramalan Joyoboyo itu, yang aslinya dalam bahasa Jawa Kuno diterjemahkan oleh Pujangga Sastra Jawa, Ronggo Warsito (1802-1873) dari Keraton Surakarta.

Salah satu versi adalah yang disampaikan di atas, konon datangnya dari Keraton Yogyakarta. Terlepas dari isinya dan pengartiannya dalam Bahasa Indonesia seperti di atas, Ramalan tersebut sangat istimewa, mengingat kaitannya yang erat dengan tujuh Presiden RI sejauh ini. Misalnya, memang tidak dijelaskan bahwa Soeharto memimpin selama 30 tahun lebih dan Habibie hanya 2 tahun kurang. Bahwa Habibie diangkat oleh Pak Harto, Gus Dur memang keluar negeri berkali-kali dalam waktu 2,5 tahun saja, manakala SBY menang lewat Pemilu. Tentang Ratu Tanpa Makutonya Jokowi bisa diartikan berbagai macam, di antaranya, pemimpin yang muncul dari rakyat biasa, seperti Petruk menjadi Raja, atau yang berbagai Keputusannya ditetapkan oleh Pihak Lain, atau Raja Palsu yang tidak dihormati lagi oleh rakyat.

Tetapi yang jelas, Jokowi adalah yang disebut terakhir. Tentu tidak berarti Indonesia hilang setelah Jokowi; atau Jokowi kehilangan kekuasaannya pada 2019, bahkan bisa juga sesudah 30 tahun seperti Soeharto. Tetapi terlepas dari itu semua, apa yang akan terjadi sesudah Jokowi berakhir kekuasaannya; mungkin pada 2019, 2018 ini, atau sekian tahun lagi?!

Sebenarnya ini adalah peristiwa yang luar biasa bagi Indonesia. Ke depan ini bukan lagi skenario Joyoboyo, seorang Raja Hindu, yang berlaku. Boleh saja Bung Karno percaya dengan Nyai Loro Kidul, Megawati suka melakukan ritual Hindu, SBY dipermandikan di Laut Selatan Pacitan, dan Jokowi suka bertapa di Gunung Merapi dan Merbabu. Ke depan tentunya Rakyat Indonesia harus rasional dalam memilih Pemimpinnya.

Bagaimana sekarang ini?! Sekarang ini banyak Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Bahkan lebih banyak Calon-calonnya daripada Partai-partai Politiknya. Situasi Pasca Jokowi KACAU dan menjadi TIDAK JELAS, karena Pola Pemilihannya TIDAK Jelas. Apakah seperti ketika Pak Harto mengambil-alih kekuasaan dari Bung Karno, yang lalu disusul dengan Calon Presiden Tunggal sampai tujuh kali, atau model Habibie yang dilantik sendiri oleh Soeharto tanpa Wapres, model Gus Dur dan Mega dimana Presiden dan Wakil Presiden dipilih terpisah, model Mega yang memilih sendiri Wapresnya, model SBY dan Jokowi kewat Pemilihan Langsung, atau ada model lain… seperti Pemilihan Soekarno-Hatta atau Pemilihan oleh MPR?!

Pola yang tidak jelas, serta segala kekacauan seperti yang diperlihatkan oleh para Capres dan Cawapres sekarang ini mewarnai Pemilihan Presiden Pasca Jokowi. Semua Calon berlomba untuk menunjulkan dirinya yang terbaik dan yang paling bisa menyelesaikan persoalan NKRI agar dipilih Partai. Yang tidak punya partai seakan-akan meminta-minta agar “diambil sebagai Calon”. Dan semua itu berlangsung di tengah-tengah gemuruhnya permainan uang: Siapa yang berani bayar mahal dialah yang mendapatnya. Dan juga di tengah-tengah manipulasi peraturan, termasuk threshold Legislatif dan Presidensial. Era Joyoboyo mestinya sudah harus berakhir.

Siapkah kita duduk bersama untuk menyusun bagaimana road map NKRI menuju kejayaan ke depan?! Menuju Cita-cita Proklamasi?! Menuju Masyarakat Indonesia yang Adil dan Makmur. Meninggalkan jejak-jejak penyelewengan selama ini. Meninggalkan model-model Kepemimpinan Palsu yang berkhianat terhadap Rakyat, Bangsa, Negara dan Tanah Air?!

Pilihlah Pemimpin macam Soekarno-Hatta yang sudah jelas langkah perjuangannya dalam memerdekakan Indonesia. Genitlah Soeharto sampai Jokowi… adakah mereka setimpal disejajarkan dengan Soekarno-Hatta?! Siapa di antara Calon-calon sekarang yang bisa disamakan dengan Dwi-Tunggal kita itu… dari Prabowo, AHY, TGB, Gatot, Yusril Ihza, Rizal Ramli, Tito Karnavian, Anis Matta, Muhaimin Iskandar, Ahok, Budi Gunawan, atau siapa saja?! Atau kita biarkan saja NKRI habis di tangan Jokowi?!

Mungkin akan lebih baik kembali dulu ke UUD45 Asli, agar tidak terperosok pada kegelapan seperti sekarang ini! Tidak perlu teriak-teriak “Aku yang terbaik!” Yang pada hakekatnya “belum ada yang kelihatan baik”. Sekarang ini adalah saat yang amat sangat penting dan gawat bagi hari depan dan nasib Bangsa Indonesia: Ada, tapi Terjajah, atau Terjarah Habis… pada saat musuh Asing dan Aseng serta para Pengkhianat di dalam negeri hanya mementingkan dirinya sendiri… sok-sokan mau menjadi pemimpin! [mc]

*Sri-Bintang Pamungkas, Akademisi Universitas Indonesia.

Terpopuler

To Top