Warkop-98

Homo Deus: Akulah Fir’aun!

Nusantarakini.com, Jakarta –

Hari-hari ini kita saksikan kemajuan dunia bergerak tak henti, seharian tak cukup, ekstensi lebih bagus lagi menuju semalaman, detik ke detik, di seluruh pelosok negeri-negeri berpenghuni yang katanya hasil evolusi homo erectus menjadi homo sapiens ini, bahkan sudah ingin mencapai apa yang dikatakan Yuval Noah Harari dalam bukunya yang juga sebagai narasi besar kemanusiaan hari ini, Homo Deus, Manusia Tuhan, dengan narasi besar anti Iman itu: “Our Future will be shaped by the attempt to overcome death”. Homo Deus memang sebuah kemustian bila manusia ingin tetap eksis sebagai penguasa di dunia lewat evolusi kemanusiaan mutakhir, human brain, karena bagi Michio Kaku di bukunya berjudul The Future of the Mind, “Brain is the power being God”. Toh, Jared Diamond dalam bukunya The World Untill Yesterday menganggap masa depan agama hanyalah masalah evolusi otak akibat makin meningkatnya kecanggihan otak dalam mengenali penjelasan penyebab dan dalam membuat prediksi, sedangkan agama hanyalah produk sampingan kemampuan otak yang semakin canggih.

Jadi sudah waktunya kita tak lagi mementingkan agama bahkan Tuhan di masa kini dan masa depan karena “sulap” darwinisme telah membentuk realitas itu hanyalah masalah materialisasi sains, teknologi dan perputaran ekonomi-bisnis global, bahkan lebih dari itu mekanisasi interaksi kebudayaan masyarakat dalam ruang pluralisme, demokratisasi, sampai ujungnya free will kemanusiaan atas nama laissez faire untuk kebahagiaan duniawi. Inilah yang penulis sebut sebagai berhala-berhala dunia. Tak ada lagi itu bahasa Al Qur’an tentang perbedaan siang dan malam, siang waktumu berjuang sedang malam waktumu meredakan aktivitas fikir dan fisikmu, menuju penataan keseimbangan kosmologis diri sekaligus meningkatkan puncak religiusitas. Yang ada adalah siang dan malam semua untuk berjuang atas nama diri memuaskan kebahagiaan lewat penciptaan materialisasi teknologi yang berjalin kelindan dengan kepentingan kekuasaan, politik, ekonomi, bisnis, dan lainnya yang jelas semua untuk diri, boro-boro ummat apalagi Tuhan, karena kitalah Tuhan. Titik.

Maka menjadi penting Homo Deus membentuk berhala-berhala baru pula, yaitu uang yang direpresentasikan pada shift pabrik-pabrik mencetak kebutuhan umat manusia, bila perlu ada intranet, webcam, lembur ganda, asal akuntan dapat mencatat hasil kerja manager produksi dalam bentuk bottom line income dan bottom right side setoran untuk pemegang saham. Berhala posmodern kemudian mewujud pula pada Internet melalui backbone-backbone virtual-nya dihidupkan tanpa jeda kematiannya lewat penunjang kehidupan server, tower, sampai pada power-supply listrik tanpa henti, demi melayani hasrat manusia menjelajah dunia maya bukan hanya untuk pemuasan akumulasi rupiah, dolar, euro, dan mata uang manapun, disediakan pula untuk hasrat penuh kesemuan kecantikan, gagah, nikmat, atau apapun. ATM dan alat penggesek uang plastik berbentuk kartu sebagai penyimpan energi yang hari-hari ini juga sudah bergerak evolutif menuju cryptocurrency, berhala uang kemudian menghadirkan berhala turunannya. Ya, berhala turunan untuk memenuhi kebutuhan siapapun yang menghendaki transaksi bisnis, politik, hiburan, bahkan sampai ritual pengganti shalat malam, yaitu diskotik dan satanic party di manapun dengan sajian irama musik berdentum untuk dapat menjingkrakkan kaki, menggelengkan kepala, sembari mata merem melek, mulut minum TKW dan tak ketinggalan menyedot herbal ganja yang nantinya berubah nama jadi cimeng/rasta, dulunya ditanam dan diproduksi membantu ibu-ibu menahan sakit dalam melahirkan, kalau perlu ditiru sintetiknya apapun mereknya entah itu putaw, coke, atau butterfly, apapunlah asal dapat junkie, sedotan ke otak demi memuncakkan fly stone kalau perlu sampai jackpot.

Kalau ingin lebih menikmati puncak, karena kita adalah Tuhan Manusia, maka LGBT adalah kemustian sejarah, Lesbong, Gebong, Bisexong, dan Transexong adalah kenikmatan dunia tanpa batas.

Di sela-sela itu pula tempat-tempat ritual penyembahan berhala bagi para Tuhan Manusia tidak perlu lagi ruang formal, tetapi berubah wujudnya dalam ruang-ruang pertemuan informal yang memang menjadi lebih penting dilakukan di malam hari daripada di meja-meja kantor dan rapat formal, oleh para pembuat patung-patung berhala baru, yaitu penentu kebijakan negara, politisi, akademisi, pengaman negara (baik itu polisi maupun tentara), memenuhi undangan para cukong yang juga sudah ditemani oleh bankir bermental jabatan dan target bulanan untuk meningkatkan akumulasi bisnis. Tak ketinggalan ditemani malaikat kehancuran bernama economic hitman paling mutakhir perwakilan lembaga keuangan dunia sampai makelar ajaran yang baru lulus dari kampus ternama dengan menyandang pemimpin organisasi kepemudaan agamis/sekuler nasional yang juga telah berinteraksi secara internasional dengan para pemuda di negeri lainnya yang entah mereka punya perilaku sama atau tidak.

Mereka kumpulan Tuhan-Tuhan Baru bersama para Malaikat tertawa terbahak-bahak sambil menikmati hidangan dari negeri jiran, jepang, atau bahkan Italia, yang jelas ndak kelas kalau restorannya itu menyajikan tempe bacem atau sayur asem, apalagi nasi padang, karena itu hanyalah kelas basa basi yang dihidangkan di istana negara untuk menyenangkan para budayawan yang masih menginginkan supremasi majapahit, sriwijaya atau apapun itu, tetap hidup dalam kenangan, kalau perlu juga semua pakai batik sebagai simbol kebudayaan nasional, yang sekarang sudah digelontor negeri Cina Daratan dengan harga lebih murah.

Maka tak perlu menunggu terlalu lama, berhala administratif muncul dalam bentuk perijinan dari pemerintah daerah sampai pusat, baik HO, pertanahan, perindustrian, perkebunan, pertambangan, AMDAL, dan ganti rugi tipu-tipu semua telah disiapkan tim hukum, tim teknis sampai laporan keuangan oleh budak belian para Tuhan (wallahua’alam semoga tidak begitu) akuntan internal maupun Kantor Akuntan Publik berafiliasi Big Four, merapikan seluruh rancangan, tak terkecuali para poli(ti)si dan tentara jadi dewan komisaris, dan muncullah kelapa sawit, lubang-lubang galian pasca pertambangan, penebangan hutan, dan apapun, pokoknya satu, menghancurkan sekaligus mengganti semua tanaman aneka ragam menjadi satu ragam saja di hampir seantero pulau non Jawa. Tujuannya APBN terisi uang untuk bayar gaji PNS, bayar utang, bangun jalan, jembatan, bandara, dan yang bisa dibangun apa saja pokoknya mbangun. Kalau gak cukup uang, ya ngutang ke kawan Tuhan Baru lainnya di jalur Sutra Baru untuk bikin reklamasi, jalan kereta api, tambang minyak, dan entah apa lagi.

Rakyat bagaimana? Rakyat hanyalah budak tak bernyawa, zombie-zombie macam The Walking Dead, perlu dijauhkan dari berhala-berhala dalam bentuk kooptasi pikiran pada peran bisnis kecil saja gak papa. UKM itukan tahan goncangan ndak perlu khawatir krisis dan resiko bunga serta jatuhnya harga saham, cukup dikejar-kejar pajak, kalau perlu tutup rekening untuk menjarah harta mereka, sita, ancam, dan apapun asal rakyat membayar pajak. Sedangkan para Tuhan Baru beserta para malaikatnya, koruptor, antek Orde Baru, dan Cukong, termasuk pejabat negara, poli(ti)si, tentara, dan hitman lokal yang bisa menjarah negeri ini, sak anak cucunya termasuk penerus tradisi bisnisnya yang katanya ciri-cirinya berbusa-busa melakukan aktivitas bisnis dari bawah, plus lulusan MBA, atau Komunikasi Politik atau Bisnis, diamankan kepentingan pajaknya, bahkan kalau perlu ada RUU untuk tax amnesty.

Negeri ini memang tak berlebihan bila sudah memberhalakan Birokrasi maka semua harus berbasis “administrative evil”-nya Balfour, berulang dan dibentuk berdasarkan “ritual politeness”-nya Goffman, maka wajar bila di dalamnya “political decay”-nya Fukuyama akan menjadi “Bureaucracy’s Conspiracy Theory”-nya Graeber et al. untuk mempertahankan sistem dan menjatuhkan siapa dan apa saja.

Bukan hanya pajak, kalau perlu UU Pertambangan, Migas, BUMN, Pendidikan, UU apa saja, bukan hanya UU, bila perlu UUD 1945-pun harus didesain seperti kehendak para Tuhan Baru. Pancasila dan Pembukaannya mungkin saja itu tidak perlu diganti, karena itu kan bahasa bunga, bahasa basa basi yang diperlukan untuk menunjukkan negeri ini masih sesuai dengan para pejuang bangsa. Eh iya, ada sih tujuh kata harus diamputasi dari situ, itu saja sudah penjarahan habis atas amanat rakyat. Jadi? Pancasila dan Pembukaan, engkau hanya tinggal menunggu waktu untuk dijarah habis para Homo Deus. Lewat mana? Lewat demokrasi paling keren sedunia, pileg, pilkada, pilpres serentak demi menegaskan Tuhan Baru. Karena itu ulama sebagai representasi atau wakil agama di dunia lama cukup jadi kuda tunggangan, tidak boleh jadi Tuhan Baru, cukup jadi kuda saja. Mengapa? Ya karena para Tuhan Baru kan sudah memiliki “agama”.

Tuhan dan Malaikat Baru, penikmat dunia apa sebenarnya tak beragama? Tidak mungkinlah, negeri ini kan penganut basa-basi formalitas agama, bahkan Indonesia kan memang dihuni oleh 85-90% ummat Islam, dan sebagian sisanya beragama Katholik, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu, dan Kepercayaan. Jadi? Jelas negeri kita pasti dikelola oleh pola yang sama dari struktur statistik seperti itu. Artinya, Indonesia adalah negeri ber-Tuhan-kan mayoritas Allah SWT. Mereka, para Tuhan Baru kalau sudah musim Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Nyepi, dan semua gagasan tentang Ketuhanan selalu paling rapi, banyak nyumbang, getol mengadakan acara-acara formal yang penuh gebyar, malah kalau perlu jadi pemateri utama Kajian Ramadhan, Diskusi Puasa, Buka Puasa dan apalah kalau perlu disajikan di televisi.

Bulan Ramadhan full sebulan mereka perlu berbalut jenggot, sorban, baju gamis, dan wis to apa aja demi meyakinkan pemirsa memandang wajah mereka sebagai pengiman tertinggi, bahkan menjadi Nabi sekaligus Tuhannya. Agama sudah berevolusi diinjeksikan pada substansi kejahatan puncak dunia, Berhala. Berhala sekarang sudah tak lagi berbentuk lawan dari Agama. Dunia posmodernisme malahan berani melakukan face-off sistem kenabian Musa, Ibrahim, Isa, Muhammad, menjadi pengiman sekaligus pendosa, bertakwa sekaligus penjarah negeri.

Masih kuatkah kita kita? Apakah memang tak ada harapan lagi untuk kita dan menjadi pentingkah Qur’an Surat Al Kahfi: “Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk di sembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka?) Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.”? Apakah menggerakkan perubahan tak penting lagi, apalagi komitmen oral, energi, bahkan kehadiran membuat comfort zone deklinatif sampai titik nadir, bahkan hidup, harta dan materi dipertaruhkan? Apakah menggerakkan perubahan itu bagai Musa melawan Firaun, siap dengan tongkat kenabiannya, Ash-Soya, yang wajib siap plus ikhlas di-kadal-in pada tiap aksi basa basi bahkan niat selfish “berbulu” ummat, harus siap dianggap bermimpi, dilecehkan, bahkan ditinggal kawan, sekaligus sasaran tembak lawan?

Singosari, Rajab menjelang Ramadhan 1439 H-Akhir Maret 2018

 

Dr. Aji Dedi Mulawarman, Ketua Yayasan Rumah Penelaah dan Dosen Universitas Brawijaya

Terpopuler

To Top