Ekonomi Cukup vs Ekonomi Tak Pernah Cukup-cukup

Nusantarakini.com, Jakarta –

Paradigma 1>>0 dan Paradigma 0>>1

Pada 2015, saya mengikuti diskusi buku “Ekonomi Cukup”, milik Radhar P Dahana (RDP). Hadirlah pembahasnya HS Dillon dan Sri-Edi Swasono. Intinya, ekonomi yang hadir dan bekerja hari ini adalah ekonomi yang rakus dan kejam. Kerana itu, perlu ada tesis baru. Oleh RDP, diajukanlah Ekonomi Cukup, ekonomi yang tidak rakus, dan cukup. Kira-kira Ekonomi Qonaah, dalam istilah agama Islam.

Sayangnya mereka tidak membahas, mengapa Ekonomi tidak pernah cukup-cukup. Dari mana asal masalahnya? Semua itu sebenarnya berpangkal dari PEMAKLUMAN SECARA MUTLAK TERHADAP PERSAINGAN. Di forum itu saya melihat bagaimana asas persaingan itu muncul dalam unjuk wicara orang-orang yang hadir. Cirinya jelas. Selalu menjurus, aku begini, aku sudah lakukan ini, aku..aku…aku.

Persaingan memang diperlukan, tapi bukan suatu ASAS MORAL. Sekarang, semua sudut dunia, menyatakan eksplisit atau implisit: PERSAINGANLAH YANG MENGHIDUPKAN DUNIA, PERSAINGANLAH YANG MEMBUAT PERTUMBUHAN, PERSAINGANLAH SEGALANYA.

OK, persaingan diperlukan, tapi tidak mutlak. Sementara bila persaingan adalah mutlak, maka akan ada pihak yang berkuasa secara rahasia dan lalim, yang mengatur dan mengeksploitasi persaingan antar manusia. Di situlah kekejaman dimulai, tanpa pernah bisa dilihat, tapi bisa dirasa dan diraba. Cobalah pelajari, bagaimana sistem uang kertas diciptakan dan diatur dan dibagi-bagi sedemikian rupa. Semua orang tampak memang bersaing memperebutkan dan mengumpulkan uang, tapi mereka tak sadari bahwa mereka sebenarnya tengah bermain di suatu permainan yang diatur oleh bandar.

SEMUA ITU pada akhirnya berpangkal pada cara dan paradigma kehidupan manusia. Hari ini yang mewabah ialah ILLA ANA, LA (selain aku, tidak ada). Dari paradigma inilah mereka bangun kehidupan dan permainannya. Ini mirip 1>>0. Akulah yang ada, yang lain kosong, nol.

Untunglah sebagian dari kita telah diajari Tuhan bahwa paradigma hidup yang benar ialah 0>>1, yaitu, LA ILAHA ILLALLAH, tiada tuhan, kecuali Allah. Kecuali Allah, tidak ada eksistensi yang lain pun. Eksistensi makhluk mutlak bergantung pada Allah. Tidak ada aku, kecuali Allah. Inilah paradigma dan DASAR KEYAKINAN SEORANG PENGIKUT MUHAMMAD.

POLA PIKIR 0>>1 INI adalah warisan termahal dari para Nabi-nabi kepada umat manusia. Karena inilah anti tesis dari sistem kehidupan yang terbangun dewasa ini. Orang yang tercelup dengan Pola Pikir 0>>1, tidak pernah risau bahwa hidupnya tak disorot orang, karena mereka memang tidak memerlukan persaingan. Mereka bermaksud membangun dunia, dengan kerjasama yang murni dan tulus, bila perlu tak usah namanya diukir dalam sejarah, bukan win-win solution, apalagi membangun dunia dengan asas ZERO SUM GAME untuk dirinya sendiri dan kemegahan dirinya sendiri. Itulah spirit para Nabi. Mereka tak sudi dirinya dibuat patung, karena memang bukan itu maksud mereka membangun dunia.

Sayang sekali, di Indonesia, khususnya di Jakarta, Pola Pikir 1>>0 (aku yang ada, yang lain nol) ini telah lama maujud sedemikian rupa hingga berkembang dalam bahasa dan kode-kode komunikasi khas pola pikir ini, yaitu bahasa gue-lu yang beredar di percakapan sehari-hari orang dan di dunia iklan. Apalagi sekarang, semakin menggila dengan banyaknya sarana selfish dan selfie, maka bersimaharajalelah pola pikir 1>>0 ini.

Kita masih ingat perkataan Syetan ketika Tuhan mengutarakan hendak menjadikan Khalifah di dunia dari bahan tanah. Spontan Syetan tidak suka, karena merasa api, bahan baku dirinya, lebih hebat dari tanah lempung. Maka bersainglah ia sepanjang masa dengan bodoh, lalim dan tanpa lelah. Mudah-mudahan bukan persaingan macam syetan ini yang meracuni kehidupan dunia dewasa ini. Mudah-mudahan.

Syahrul E Dasopang/Pemred EkonomiKa