Nusantarakini.com, Jakarta –
Rakyat terbanyak dari bangsa Indonesia adalah orang Islam. Itu fakta, bukan fiksi. Orang Islam punya pedoman perjalanan dalam hidupnya, yaitu Al-Qur’an. Al-Qur’an ini fungsinya penunjuk jalan supaya tidak tersesat. Sebab hawa nafsu yang dicekokin setan tidak pernah absen untuk menyesatkan manusia.
Nah, Muqaddimah UUD 1945 itu sebenarnya penunjuk jalan bernegara supaya tidak tersesat oleh hawa nafsu penguasa yang silih berganti. Di situ jelas, tujuan bernegara itu mau kemana, dasarnya apa. Dasarnya ketuhanan yang maha esa, alias tauhid seperti yang dipahami orang Islam yang menjadi penduduk terbesar Indonesia.
Namun apa yang terjadi di lapangan hari ini? Muqaddimah UUD 1945 ini hanya dijadikan barang antik. Tidak jelas bagaimana pelaksanaannya. Padahal selain sebagai petunjuk dasar bernegara, juga menjadi spirit dasar bagaimana negara harusnya dikelola dan dijalankan disebabkan ia adalah rumusan kolektif para pendiri bangsa yang terbukti. Bukan rumusan perseorangan.
Sekarang yang jadi pedoman bukan Muqaddimah UUD 45 ini, tapi korporatokrasi yang datang dari dunia antah berantah yang tidak punya legitimasi historis dan sosial sedikitpun. Tapi karena dia yang berkuasa, maka korporatokrasi inilah yang riil berlaku. Apa akibatnya bagi rakyat?
Rakyat kehilangan arah dan disorientasi. Hidup bernegara pasrah dalam dikte para koruptor dan pemilik kapital saja. Akibatnya fatal sekali. Negara dan keselamatan rakyat dalam keadaan bahaya. Bahaya dalam kesesatan dan anarki.
Solusinya kembali ke rakyat sendiri di bawah pimpinan dan arahan orang-orang bersih dan sadar. Bukan rakyat yang di bawah sirep dan ajian pelet para penguasa korup yang bersekutu dengan pemilik kapital.
Di titik ini, rakyat berhak mengoreksi jalannya negara mereka, mengapa jadi disesatkan begini seenak-enaknya oleh para penguasa korup. Bila perlu, rakyat bangkit dan melakukan perlawanan total demi kehidupan mereka yang lebih baik di masa datang di dalam rumah mereka, negara Indonesia yang telah didirikan mati-matian, dari generasi ke generasi, dari generasi Fatahillah, Diponegoro, Tjokroaminoto, Soekarno, hingga generasi Sri Bintang, Jonru, Asma Dewi, Bambang Tri, Tamim Pardede dan seangkatan mereka yang pantang menyerah terhadap lenyeleweng-penyeleweng tujuan bernegara.
Mengorganisasikan diri dan aksi siar perlawanan musti lebih keras dan sistematis lagi.
~ Butet Sipelebegu