Nusantarakini.com, Jakarta –
Jumat, 20 Oktober 2017 Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Kepolisian RI melaksanakan Seminar Sekolah bertema “Harmonisasi Paradigma Kebijakan Institusi Untuk Mendorong Pertumbuhan Ekonomi.” Pembicaranya Menteri Keuangan Sri Mulyani Inderawati, Gubernur BI Agus D Martowardoyo, Rhenald Kasali, dan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian. Bersama Theo Toemion, saya diundang sebagai penanggap. Pola acaranya sendiri nyaris bukan seminar, tapi lebih ke panel diskusi. Ira Koesno sebagai moderator lebih awal memberi kesempatan kepada para pembicara untuk saling menanggapi. Baru kemudian kepada Theo, Ichsanuddin Noorsy dan seorang kepala desa. Dari keseluruhan materi sajian, salah satu yang menarik adalah pernyataan Kapolri yang merujuk prediksi lembaga konsultan asing dan lembaga lain bahwa Indonesia berpeluang menjadi negara dominan.
Terkait hal tersebut, Pengamat ekonomi dan politik Ichsanuddin Noorsy berpendapat bahwa pernyataan Kapolri adalah mustahil. Sebabnya dalam perspektif regional dan internasional, Indonesia mempunyai pijakan politik luar negeri bebas aktif.
“Dalam kedigdayaan pemikiran politik internasional era Sokarno, misalnya, Indonesia lebih menempatkan diri membangun keseimbangan hubungan politik dan ekonomi dengan Amerika Serikat, Uni Soviet (yang sekarang Rusia), dan RRC. Semua negara yang baru merdeka di medio abad 20 mengakui cemerlangnya daya nalar pemimpin Indonesia tentang prinsip-prinsip hidup berbangsa dan bernegara dan dalam pergaulan internasional setara saling menghormati tanpa mendominasi. Buahnya adalah Gerakan Non Blok,” ungkap Ichsanuddin Noorsy dalam keterangannya kepada Nusantarakini.com, Jakarta, Ahad (21/10/2017).
Menurut Noorsy, jika merujuk ekonomi konstitusi dan kata Pembukaan UUD 1945, pemikiran dan konsepsi kenegaraan Indonesia bahkan mendahului pemikiran Barat tentang pentingnya pembangunan harkat martabat manusia yang tidak melulu berbasis materialisme.
“Barat malah melanjutkan pemikiran dasar kapitalismenya pada awal 1974-1982 di saat Barat sendiri harus menjawab situasi perekonomian internasional yang dirundung inflasi dan gejolak harga minyak. Satu generasi kemudian, setelah kalah dalam perang industry manufaktur, Barat menyadari bahwa pemikiran strategis mereka tentang model pembangunan ekonomi ternyata melahirkan polarisasi sosial, sebagaimana tema World Economic Forum pada pertemuan Februari 2017,” bebernya.
Persatuan Bangsa Bangsa pun, lanjut Noorsy, menyadari betapa perilaku pasar bebas pada sektor keuangan dan perdagangan telah menggerus etika kemanusiaan. Karenanya dalam perspektif sustainable development goals mereka menilai penting tegaknya etika.
Manurut Noorsy, “Ethics in action,” kata Profesor Jeffrey D Sachs dan kawan-kawan yang memotori gagas pembangunan berkesinambungan dalam tumpuan dasar tabungan dan investasi global. Konsep pemikiran ini telah diadopsi 193 negara guna mengakhiri kemiskinan, melindungi kerusakan planet bumi, dan mencapai kesejahtreraan untuk semua pada 2030.
“Saya sendiri memiliki pemikiran alternatif terhadap hal ini yang sudah saya presentasikan di berbagai lembaga pemerintahan dan perguruan tinggi,” ujarnya.
Lebih lanjut Noorsy menerangkan, justru pada 2030 itulah Indonesia diprediksi menjadi negara dominan dalam perekonomian bersama dengan negara lain menurut Price Waterhouse Cooper. Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun mengutip kajian Profesor Sait Yilmaz dari Departemen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional Universitas Yeditepe, Turki bahwa ekonomi Indonesia akan terus meningkat dan mempengaruhi dunia. Sementara Gubernur Bank Indonesia (BI) mengakui tentang stagnannya perekonomian Indonesia dengan menggunakan istilah pertumbuhan terjaga pada level 4,8 hingga 5,01 persen sejak 2015-2017.
“Disadari bahwa yang dieskpor tetap bahan-bahan mentah yang berarti tidak berubah sejak era penjajahan, inflasi yang rata-rata 5,39 persen, dan arus modal yang masuk dalam bentuk pembelian obligasi negara dan portofolio investasi lainnya,” kata Noorsy.
Noorsy juga mengutip pendapat Gubernur Bank Indonesia Agus D Martowardoyo, “Lebih besar daripada foreign direct investment,” dimana dia memberikan solusinya adalah dengan reformasi struktural. Agus mengungkapkan kelemahan ekonomi Indpnesia dalam bahasa yang lembut, yang dari rasa bahasa tidak “klik” dengan pikiran dan perasaan kebanyakan orang Indonesia.
“Karena itu saat saya memasalahkan pertumbuhan yang stagnan merujuk pendapat Robert J Shiller pemenang nobel ekonomi 2013, Gubernur BI Agus lebih menyalahkan situasi perekonomian global karena harga-harga komoditas yang menurun dan pemulihan ekonomi yang berjalan tidak pasti,” ucap Noorsy.
“Jawaban Gubernur BI Agus ini malah relevan dengan pertanyaan saya kepada Menkeu tentang perekonomian global yang mengarah pada situasi proteksionisme. Sebagai Menkeu yang berjuang meliberalkan perekonomian, Sri Mulyani Inderawati tidak menjawab bagaimana seharusnya Indonesia menghadapi kebijakan AS yang proteksionis (deglobalisasi) dan Inggris yang keluar dari Uni Eropa sebagai bukti nasionalisme warga Inggris. Menkeu Sri Mulyani malah menjawab pertanyaan saya tentang tingginya biaya infra struktur dengan kalimat, bukan pekerjaan mewah-mewahan. Ini disebabkan kesenjangan infrastruktur Indonesia yang tinggi dibanding negara-negara Asean lain. Luhut Binsar Panjaitan yang menjadi pembicara kunci dalam seminar itu mengatakan, Pemerintahan Jokowi ingin menurunkan biaya transportasi yang mencapai 14 persen lebih dari struktur biaya. Pembangunan infrastruktur ditujukan untuk meningkatkan daya saing Indonesia,” sambung Noorsy menjelaskan panjang lebar.
Dalam hal ini Noorsy melihatnya dalam masalah pembiayaan. Menurut data Bappenas, kata dia, pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya Rp5.519,4 triliun selama 2015-2019. Maka dalam setahun dibutuhkan biaya sekitar Rp1.380 triliun. Data BI menunjukkan bahwa PDB kita Rp12.406 triliun. Maka belanja infrastruktur pertahun adalah 11,12 persen.
“Inilah yang membuat saya melihat betapa ambisiusnya kebijakan ini di saat pertumbuhan ekonomi relatif stagnan. RRC yang demikian baik indeks infrastrukturnya hanya membiayai pembangunan infra struktur tidak lebih dari besarnya laju pertumbuhan ekonominya. Logikanya, besarnya belanja infrastruktur sebesar tingginya pertumbuhan ekonomi yang komponen produk domestik brutonya lebih dominan dikuasai domestik, bukan dikuasai perusahaan-perusahaan asing,” jelasnya.
Noorsy menjelaskan, logika komponen produk domestik bruto inilah yang sesungguhnya melatar belakangi kekuatiran Gubernur BI tentang defisit neraca berjalan. Memang sejak 2011 hingga kini defisit neraca berjalan terus terjadi antara minus 1,8 – 2,9 persen. Kondisi ini mengarahkan kita melihat bagaimana ketahanan eksternal ekonomi Indonesia. Lagi-lagi data BI menunjukan bahwa ketahanan eksternal ekonomi Indonesia sebenarnya rentan. Menurunnya modal masuk non utang, meningginya persentase ekspor terhadap utang luar negeri, bahkan meningkatnya rasio jumlah utang luar negeri terhadap PDB tetap menggambarkan fundamental makro Indonesia yang rapuh.
Sebagai pembicara kunci, Menko Maritim dan ESDM Luhut B Panjaitan mengatakan utang luar negeri masih aman. Noorsy yang berpendapat berbeda. Data BI per Oktober 2017 menampilkan, utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 340,543 miliar atau Rp4.546,25 triliun dengan rasio terhadap PDB 34,42 persen dan rasio terhadap ekspor 174,08 persen. Rasio-rasio ini memang menurun dibanding bulan-bulan sebelumnya.
“Tunggu dulu, ini tidak berarti tetap aman. Data yang berbeda dengan data Kemenkeu itu juga menunjukkan bahwa pinjaman dalam mata uang dolar AS mencapai US$228,820 miliar, atau mencapai 67,2 persen terhadap total utang luar negeri. Maka saat pemerintah kekurangan dana untuk membangun infra struktur dan memang 60 persen diharapkan swasta berpartisipasi sebagaimana pernyataan Menko Maritim, jelas kebijakan strategis itu membuahkan tidak berubahnya struktur perekonomian Indonesia. Yakni swasta yang menguasai sumber daya strategis, mendominasi cabang-cabang produksi yang penting, dan jalur-jalur distribusi. Bukan hanya itu, pajak-pajak pun digunakan untuk membayar utang dan bunga,” beber Noorsy.
Menko Maritim Luhut B Panjaitan, lanjut Noorsy, memang meminta agar kita tidak berpandangan negatif. Kapolri pun berpendapat agar kita tidak berpandangan pesimis.
“Bagi saya, berpandangan kritis jauh lebih penting. Apalagi ternyata Seminar Sekolah itu tidak menjawab akar persoalan: keserasian, keserasian, keseimbangan pola pikir pembangunan yang merujuk pada konstitusi 1945. Pada rujukan ini saya setuju pada Kapolri agar dalam penegakkan hukum Kepolisian RI bebas dari kooptasi politik. Mudah-mudahan kita menjadi lebih baik sepanjang kita tidak mengutamakan kepentingan sendiri-sendiri,” terang Noorsy memungkasi. [mc]