Singapura Mengejar Mimpi, Indonesia Terbuai Mimpi?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Pada tanggal 14 September 2017, Muslimah Mdn Halimah Yacob dilantik sebagai Presiden Singapura yang ke-8 melalui suatu proses pemilihan yang sangat efisien, murah dan sederhana; tanpa hiruk-pikuk masalah suku dan agama, walaupun Singapura adalah negara yang sangat majemuk dan pluralis. Dan juga merupakan sejarah baru bagi bangsa Singapura dipimpin oleh seorang muslimah dari suku minoritas melayu yang hanya 13%, dan memimpin dalam satu negara dimana komunitas suku Tionghoa sebanyak 74% dan 9,8% suku India serta 3,2% suku-suku lainnya.

Hal ini tidak terlepas dari sifat negarawan dari pada elite politik Singapura yang berwawasan kebangsaan, dan mampu merajut kemajemukan bangsa ke dalam satu kesatuan Singapura. Serta sangat disadari bahwa setiap komponen bangsa adalah potensi yang dapat berkarya, berinovasi, bekerja untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat Singapura.

Para elite politik terutama dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Mr Lee Hsien Loong mampu memberi pencerahan kepada rakyatnya bagaimana cara berbangsa dan bernegara dalam suatu masyarakat yang pluralis dan berada antara negara-negara besar seperti Indonesia dan Malaysia yang mayoritasnya adalah Muslim.

Walaupun Singapura merupakan negara kecil yang hanya berpendudukan kurang dari 7 (tujuh) juta orang dan luasnya tidak lebih dari kota Jakarta adalah bekas jajahan Inggris, namun sistem dan cara berpolitikannya tidak terkontaminasi dengan ideologi Barat.

Dengan sistem dan tata cara pemilihannya yang cepat, murah dan efisien, sehingga menghasilkan struktur birokrasi yang efektif, bahkan mampu memanfaatkan kebesaran Indonesia dan Malaysia untuk kemakmuran Singapore; dan dapat maju menjadi kekuatan diregional Asia Tenggara, bahkan di Asia. Bahkan bangsa Singapura sudah berada di jalur ” Mimpi Rakyat Singapura.”

Sedangkan Indonesia masih terbuai dengan mimpi menjadi negara demokrasi terbesar kedua di dunia. Sehingga di dalam proses pemilihan kepala negara maupun kepala daerah, memerlukan waktu yang sangat panjang dan melelahkan dengan biaya yang sangat besar. Serta terkurasnya energi bangsa, sehingga menjadi sangat tidak efisien dan efektif.

Bangsa Indonesia terjebak di dalam ideologi demokrasi ciptaan Amerika Serikat (AS) dan negara barat. Tanpa disadari di dalam prosesnya justru muncul hiruk-pikuk provokasi agama, suku, penggiringan opini untuk sentimen suku tertentu, yang justru akan membawa perpecahan dan sangat menghambat kemajuan bangsa. Hal ini disebabkan karena gagal paham bahwa pluralisme adalah komponen-komponen kekuatan bangsa yang seharusnya dirajut untuk bersama-sama bekerja, berinovasi untuk membawa kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan.

Suatu sistem pemilihan yang sangat vugar dan terbuka, sehingga sangat memberi peluang untuk terciptanya politik pencitraan palsu dengan pemilik modal, baik yang di dalam negeri maupun pemilik modal dari luar negeri; yang tentunya memiliki kepentingan, baik politik maupun kepentingan ekonomi.

Hasil pemilihan yang begitu panjang dan melelahkan itu justru menghasilkan kohobitasi Presidensial yang disandera oleh koalisi multi partai di parlemen. Sehingga Presiden dan kabinetnya tidak efektif dengan progamnya, karena memerlukan konsensus dari legislatif dan eksekutif yang memerlukan imbalan politik, dan membuat bangsa ini tersendat-sendat dan terbuai dalam mimpi. [mc]

*Chandra Suwono, Pemerhati Ekonomi, Politik dan Budaya.