Analisa

Analisis SBP: Pasca Jokowi 2017 (Seri 2)

Nusantarakini.com, Jakarta –

Jadi, Trisakti Jokowi yan Pertama, kiranya adalah Gerakan Kebangkitan PKI. Para simpatisan gerakan itu mengadakan Pertemuan di YLBHI, rencananya pada 16-17 September 2017 ini, membahas tema tentang Pembelaan terhadap para Keluarga dan Simpatisan PKI dalam Peristiwa G30S 1965, dengan menyebut dirinya sebagai Korban Orde Baru.

Kontan, ribuan masa Anti Komunis, di dalamnya ada Jenderal-jenderal mantan TNI-AD di zaman Orde Baru, menggeruduk Kantor YLBHI untuk membubarkan pertemuan tersebut. Pertemuan hari pertama itu akhirnya dilarang Polda Metro Jaya dg alasan belum ada pemberitahuan. Tentu alasan Polda itu salah besar, karena bukan “pemberitahuan” atau “ijin” dari Polri yg menjadi masalah, tetapi “PKI”-nya! PKI dan segala kegiatannya melalui Tap MPR memang dilarang sejak 1966; dan mulai 1998 termasuk sebagai Kejahatan terhadap Keamanan Negara.

Tentulah Jokowi dianggap yang paling bertanggungjawab dalam soal ini, karena Gerakan Kebangkitan PKI ini justru muncul kembali dalam periode Jokowi. Jokowi pun dikaitkan dengan Gerakan Cinaisasi, atau Gerakan Pro-Cina Anti-Pribumi. Kiranya ini menjadi Trisaktinya Jokowi yang kedua.

Tidak lama setelah dilantik, masih di tahun 2014, Jokowi menyampaikan rencananya membangun infrastruktur berupa Tol Laut dan Poros Maritim di Konferensi APEC di Bejing. Jokowi pun ikut menjadi pendiri Bank Pembangunan Infrastruktur Internasional bersama RRC. Indonesia pun mendapat gelontoran ribuan trilyun USD dari RRC. Sampai sekarang tidak kurang dari USD 50 milyar; belum lagi dana talangan berupa Turn-Key Projects.

Rupanya Tol Laut dan Poros Maritim Jokowi ini dianggap sesuai dengan Program RRC, One Belt One Road (OBOR), dalam rangka membangun “Jalan Sutera Laut” untuk menguasai Laut Cina Selatan, dari Pantai Asia Tenggara, Asia Selatan sampai Pantai Afrika Timur.

Gelontoran Utang Luar Negeri dari RRC ini ternyata diikuti oleh Program Migrasi Orang-orang Cina RRC yang disebut sebagai buruh. Buruh-buruh Cina Migran itu, selain mengerjakan proyek-proyek infrastruktur dengan dana pinjaman RRC, juga dipersiapkan untuk menjadi buruh yang bekerja di pabrik-pabrik yang mereka kerjakan. Termasuk menjadi petani-petani untuk sawah dan perkebunan yang mereka buat dengan cara menguasai tanah-tanah Negara dan lahan-lahan pertanian penduduk. Semua dilakukan di depan hidung dan mata kepala Jokowi.

Proyek-Proyek infrastruktur yang didengung-dengungkan itu ternyata sebagian besar adalah berupa pelabuhan-pelabuhan laut dan proyek-proyek pengeboran minyak dan penggalian minerba. Proyek-proyek pelabuhan Tol Laut itu adalah sebagai batu loncatan atau entry points masuknya Cina-Cina migran RRC ke Indonesia. Sekaligus dengan proyek-proyek lainnya adalah untuk menguras kekayaan alam Indonesia dan mengangkutnya ke RRC lewat pelabuhan-pelabuhan itu. Semua proyek dan utang-utang itu adalah untuk kepentingan RRC.

Terbetiklah berita, bahwa pada 15 Februari 2015, Waperdam Liu Yandong dari RRC dalam ceramahnya di FISIP-UI telah menyampaikan rencananya tentang Pertukaran Pemuda RRC dan RI sebanyak 10 juta. Tentulah itu bukan pertukaran “Dua Pihak” melainkan “Satu Pihak” RRC. Bagaimana semua “perjanjian” dengan RRC ini terjadi tidak ada yang tahu. Yang jelas DPR tidak bergeming, karena sejak Jokowi naik, DPR selalu diobok-obok. Pada awalnya dibentuk DPR tandingan, lalu dihancurkan citranya sebagai Wakil Rakyat dan korup. DPR digelontori dengan milyaran uang dan kasus-kasus kejahatan mereka, sehingga tidak punya waktu untuk menilai dan mengendalikan ulah Jokowi. Sehingga semua rencana Jokowi yang tidak berpihak kepada Rakyat, Bangsa dan Negara, bahkan Agama Islam, dan melanggar Konstitusi, bisa lolos dengan mudah. Dasarnya memang DPR adalah hasil dari demokrasi prosedural dan transaksional.

Jokowi tidak peduli dengan pengangguran yang ada di Indonesia, tapi malahan mengimpor buruh dari RRC. Buruh yang direncanakan mencapai sepuluh jutaan itu, bahkan dipersilahkan untuk menetap di Indonesia dengan fasilitas yang sudah dipersiapkan, seperti visa gratis di semua Konsulat, KTP seumur hidup dan rumah atau apartemen serta upah tinggi. Pada awalnya Jokowi tidak mengaku adanya migrasi besar-besaran itu, dengan mengatakan mereka adalah turis. Dari beberapa kasus yang terungkap, orang-orang RRC yang disamarkan sebagai buruh migran itu sangat mungkin adalah penjahat-penjahat penghuni penjara dan kam-kam kerja paksa di RRC; dan tentara-tentara merah komunis yang menyamar. Seakan-akan pihak Imigrasi, Dalam Negeri, Ketenagakerjaan dan TNI semua menutup mata terhadap kenyataan yang ada. Mereka tidak sadar, bahwa para Duta Besar Negara-negara Asing memperhatikan sepak terjang mereka. Sungguh memalukan!

Seorang tokoh aktivis dan pergerakan, Ki Gendeng Pamungkas, yang mengungkapkan Cinaisasi yang dimiripkannya dengan Penjajahan Mafia Cina terhadap NKRI, ditangkap, ditahan dan sekarang diadili dengan tuduhan menyebar kebencian. Masih banyak lagi aktivis yang mengalami nasib sama gara-gara menyampaikan kritik dan peringatannya terhadap bahaya Cinaisasi. Apabila sepuluh juta Cina benar datang di era Jokowi, maka orang-orang Cina bisa menjadi suku nomor dua sesudah suku Jawa dengan jumlah 13%, dibanding suku Sunda yang turun dari 11% menjadi 9% dan suku Jawa yang turun dari 45% menjadi 43% penduduk.

Aktivis-aktivis lain yang memberikan kritiknya terhadap Xong “Ahok” Wansie serta menggalang kekuatan untuk membendungnya menjadi Gubernur DKI-Jakarta, ditangkap dengan tuduhan yang dibuat-buat, termasuk tuduhan Makar Palsu terhadap Jokowi, lalu diadili dan dipenjara. Demikian pula perempuan dan Ibu-ibu Aktivis yang menggalang kekuatan Ulama dan Pemeluk Islam, pada akhirnya ditangkap dan ditahan, karena menjadi penyebab kekalahan Ahok dalam Pilkada di DKI Jakarta, dan dipenjarakannya Ahok selama dua tahun karena menista Islam. Akibat dendam Ahok dan para Ahokers ini, bahkan seorang Ulama Besar dalam garis keturunan Rasulullah terpaksa harus mengasingkan diri bersama keluarganya ke luar negeri, karena tuduhan yang dibuat-buat oleh pihak Polri.

Belum lagi Terhitung puluhan ribu penduduk Pribumi dari Keluarga Miskin Jakarta yang sempat digusur Calon Gubernur Gagal Xong “Ahok” Wansie. Jadi, Cinaisasi tidak hanya menunjukkan kepedulian rezim Pro-Cina Jokowi kepada Cina-cina RRC, tetapi sekaligus menunjukkan Anti-Pribumi dg cara menggusur dan memiskinkan mereka. Belasan ribu Kepala Keluarga yg rumahnya dihancurkan dengan alat-alat berat serta dijaga oleh panser-panser TNI dan Polri beserta ratusan personil mereka yang lengkap dengan senjata laras itu, entah mengungsi di mana; di bawah terik matahari dan dinginnya angin dan hujan. Belum lagi memikirkan anak-anak mereka, sekolah mereka, ketika bapak-bapak mereka kehilangan pekerjaannya.

Sementara para Taipan Cina Mafia hidup di istana-istana dan menguasai Keuangan, Perdagangan dan Industri, serta para Pejabat piaraan.mereka. Sangat mirip dengan Orang-orang Palestina yang menjadi merasa asing di tanah-airnya sendiri akibat migrasi yang berubah menjadi agresi Yahudi Israel. Keadaan ini menimbulkan dendam kesumat yang mendalam, yang tidak pernah terlintas di benak Jokowi. Yang pada waktu Pilpres 2014 selalu menjanjikan Angin Surga agar bisa dipilih.

Ribuan hektar, bahkan jutaan hektar tanah dan hutan Indonesia sudah dikuasai hanya oleh beberapa gelintir Mafia Cina dari kelompok imigran di masa lalu dan sejak masa Belanda. Mereka masih belum puas, maka dimunculkanlah pula Proyek Reklamasi dengan membangun 17 pulau seluas lebih dari 4000 hektar di Pantai Utara Jakarta. Reklamasi ini, yang dibangun para Taipan Sedayu, Podomoro, Ciputra dan lain-lain, selain menghacurkan kehidupan ribuan keluarga nelayan, juga ditujukan untuk menampung para Imigran Cina dari RRC dan Cina-cina Hoakiauw Taipan dari mana saja.

Pembangunan Kota Baru Meikarta seluas 80 ribu hektar di Kabupaten Bekasi yang dilewati Kereta Api Cepat Cina Jakarta-Bandung. Proyek Kota Cina Meikarta tanpa ijin oleh Taipan Kelompok Lippo ini, yang menggusur sawah pengairan dan ribuan para Kepala Keluarga Petaninya, adalah juga suatu bentuk kesewenang-wenangan terhadap Pribumi. Mirip dengan Pribumi Cleansing, yang selangkah lagi menjadi seperti yang terjadi di bekas Negara Yugoslavia terhadap warga Bosnia-Herzegovina, atau di Rakhine terhadap suku Rohingya di Myanmar.

Tidak heran kalau orang menghubungkan Jokowi dengan Oey Hong Liong yang menurut seorang Sejarawan Cina Tradisional, Tan Soe Djie, adalah nama asli Jokowi. Tuntutan masyarakat untuk memeriksa DNA Jokowi, tentu tidak terlepas dari keinginan membuktikan, bahwa bapak asli Jokowi adalah Orang Cina Asli yang berkiblat pada Negara Komunis RRC, dan bahwa Bapak angkatnya adalah tokoh komunis Boyolali. Sehingga menjadi terang semakin menggeloranya Gerakan Pro-Cina Anti-Pribumi di era Jokowi. [erche]

*Sri Bintang Pamungkas, Akademisi Universitas Indonesia.

Terpopuler

To Top